Share

Mengurus Arvin Yang Mengamuk

Kiya berdiri dengan kedua tangan melipat di dadanya , memandang ke arah lelaki yang akan menjadi pasiennya. Dia melihat Arvin yang masih terus mengamuk, menyakitinya sendiri bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Biar kan saja dia mengamuk, nyonya jangan beri dia makan dan minum," ujar Kiya dengan tegas. Dia melihat Arvin terus mengamuk dan merasa bahwa memberikan makanan dan minuman mungkin akan membuat kondisi Arvin semakin parah.

Namun, Nyonya Ratih lebih berfokus pada keadaan kesehatan Arvin. Dia berkata, "Tapi Arvin harus minum obat."

Kiya merasa bahwa memberikan obat mungkin akan sulit saat Arvin masih dalam keadaan marah seperti ini dan merasa kesulitan untuk merawatnya. Namun, dia memberikan bantal yang tergeletak di lantai dan dengan lembut memasangnya di bawah kepala Arvin.

"Percayalah, tuan tidak akan mati sekarang. Cukup biarkan dia mengamuk dan jangan beri dia makan dan minum obat sekarang, Nyonya," jawab Kiya dengan penuh kehati-hatian.

Kiya terus memandang Arvin dengan perhatian dan masih melipat kedua tangannya di depan dadanya. Dia bertanya dengan tenang, "Masih mau marah? Ngamuk? Lanjutkan sampai Tuan lelah. Kiya akan menunggu sampai akhir."

Namun, Arvin nampak kesal dan bingung melihat sosok asing di dekatnya. "Siapa kamu?" tanyanya dengan nada tinggi, bingung melihat orang yang tak dikenal di sekitarnya.

"Tak perlu pusing siapa saya mau dipanggil juminten atau jimin  sekalipun saya tidak peduli, tugas saya adalah membantu Anda dalam melakukan aktivitas sehari-hari," jawab Kiya dengan tenang, mencoba memberikan rasa tenang dan mendukung kepada Arvin.

"Jangan kebanyakan ngimpi bisa ku panggil jimin. Loe perempuan?", tanyanya pada Kiya.

Kiya tertawa kecil sambil menjawab pertanyaan Arvin dengan santai, "Laah, Tuan. Liatnya seperti apa? Rambut saya panjang, hidung saya mancung, tapi kedalam saya datang bulan tiap bulan. Masa iya Tuan kira saya laki-laki."

Tawa Kiya sempat membuat beberapa asisten rumah tangga dan asisten Tuan Arvin tersenyum tipis sambil tertunduk, memendam tawa mereka. Arvin sendiri gugup, merasa canggung dengan pernyataannya tadi.

Merasa perlu mengalihkan perhatian, Nyonya Ratih, ibu rumah tangga yang sedari tadi diam menyimak, akhirnya memberi aba-aba agar semua keluar meninggalkan Arvin dan Kiya. "Udah keluar, kalian biarkan suster mengurus Arvin," ucap Nyonya Ratih dengan suara pelan.

Kiya melihat Arvin diam dalam beberapa menit, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Namun, tiba-tiba saja Arvin memecah keheningan dengan teriakan marah yang tidak jelas. Dia melontarkan kata-kata kekecewaan yang cukup mengagetkan Kiya.

Kiya khawatir dengan perubahan suasana hati Arvin.  Diatiba saja  amarah dan frustrasi, dan tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.

"Semua wanita sama saja! Dia penghianat! Main perasaan orang! Gua benci pernikahan!" Arvin berteriak dengan suara lantang dan menghantam meja dengan tangannya.

Kiya merasa terkejut ketika Arvin tiba-tiba marah dan memaki-maki tentang wanita. Arvin kelihatan marah besar dan tampak tidak bisa mengontrol emosinya.

"Semua wanita banyak masalah. Mereka hanya bermain-main dengan perasaan lelaki. Ada banyak kasus perilaku buruk pada wanita saat ini," ucap Arvin dengan nada tidak setuju pada wanita.

"Semua wanita penghianat, tidak ada cinta yang tulus." ucap Arvin dengan nada sumbang. Ia merasa kecewa karena pacarnya telah meninggalkannya untuk orang lain. Arvin merasa meremehkan wanita dan merasa takut untuk percaya lagi.

Arvin terus mengulang-ulang perkataannya dengan suara teriakan yang keras. Dia merasa begitu kecewa dan marah yang meletup-letup. Namun, waktupun terus berlalu. Arvin merasa letih dan memutuskan untuk diam dalam waktu yang cukup lama.

Pada saat itu, Arvin membiarkan suasana hatinya tenang. Dia membiarkan dirinya merenungi kembali kejadian yang menyebabkan perasaannya hancur dan kecewa. Namun, Kiya tetap berada di sisinya, memberikan dukungan yang dibutuhkannya.

Setelah beberapa waktu berlalu, Arvin akhirnya merasa lebih santai. Dia menarik nafas panjang dan memandang Kiya dengan senyum di wajahnya.

Keheningan dari Arvin, Kiya menyadari bahwa ia masih belum merasa lebih baik. Dia mencoba mencari cara untuk membantunya melepaskan semua perasaannya.

"Apakah sudah merasa lebih baik? Jika belum, teriaklah sampai Tuan Arvin puas." Ucap Kiya dengan lembut sambil mengambil tisu yang ada di nakas.

Arvin masih tetap diam tak menjawab. Kiya kemudian mendekati Arvin dan memperhatikan dengan teliti. Tangan Kiya dengan luwesnya membersihkan keringat yang ada di wajah Arvin dan lehernya.

Tiba-tiba pintu terbuka dan muncul seorang wanita tua dengan sebuah troli makanan. Wanita itu kemudian memperlihatkan makanan yang telah ia bawa untuk Arvin.

"Sus, makan siang untuk Tuan Muda," ucap wanita tua itu dengan lembut sambil memberikan makanan pada Arvin.

Arvin mengucapkan terima kasih dan memperlihatkan senyumnya yang sudah mulai kembali. Karena disertai anjuran dokter, Arvin siap untuk memperbaiki kesehatannya dan memperhatikan apa yang ia makan.

"Tuan, makan siang dulu ya, habis itu minum obat dan istirahat," perintah Kiya dengan suara menenangkan.

Arvin merasa patuh pada perintah Kiya. Ia mengambil makanan yang disajikan dan memulai makan siangnya dengan lahap. Ternyata makanan yang disajikan oleh wanita tua itu sangat lezat dan bergizi. Arvin merasakan bahwa ia semakin membaik dari sebelumnya.

Arvin masih merasa sangat sedih dan tertekan oleh keadaannya yang berat. Dia merasa tidak memiliki harapan dan hanya ingin menyerah saja. Tapi, Kiya tahu bahwa dia harus berbicara dengan Arvin dan membantunya.

"Hush...jangan bicara seperti itu, Tuan. Kamu pasti bisa melewati semua ini dan akan menjadi sehat seperti sediakala," ucap Kiya dengan suara lembut, sambil meletakan jari di bibir Arvin.

Arvin masih tenang di tempat tidurnya, merasa sangat terpuruk. Dia buru-buru menggelengkan kepalanya dengan menolak, "Nggak mau, nggak peduli."

Namun, Kiya tidak akan menyerah begitu saja. Dia tahu bahwa Arvin sangat membutuhkan dukungan dan semangat dalam waktu yang sulit seperti ini. Ia mencoba mencari cara yang tepat untuk membantu Arvin merasa lebih baik.

"Tuan harus berusaha untuk bertahan. Kamu memiliki seseorang yang peduli dan siap membantu, jadi jangan putus asa," kata Kiya dengan hati-hati.

Kiya membantu Arvin duduk, membantu Arvin bersandar pada tumpukan bantal supaya dia merasa lebih nyaman. Arvin mengambang sepertinya tidak dapat menjalankan dirinya dengan baik, akibat kondisinya yang lemah.

Kemudian, Arvin meminta bantuan sekali lagi pada Kiya, "Bantu aku mau duduk, ya?"

Kiya mengangguk dan menggandeng Arvin dengan lembut, membantu Arvin untuk duduk dengan perlahan. Mereka bergerak dengan hati-hati dan penuh perhatian.

Sebuah pertanyaan tiba-tiba diutarakan oleh Arvin terhadap Kiya pada saat ia menyuapkan Arvin. Pertanyaan yang keluar dari bibir Arvin sempat membuat Kiya sedikit terkejut, namun ia tetap berusaha dengan sabar menjawab pertanyaan itu.

"Berapa kau dibayar oleh mami? Emang kamu kuat mengurus aku? Aku hanya ingin diurus oleh lelaki," tanyanya lagi.

Kiya menyadari bahwa Arvin belum sepenuhnya memahami alasan mengapa Kiya hadir di dekatnya. Oleh karena itu, Kiya pun menjelaskan bahwa Yayasan-lah yang mengirimkannya untuk merawat Arvin.

"Yayasan yang mengirim Kiya ke sini. Jika Tuan merasa malu, tidak perlu khawatir. Kiya akan tetap merawat dan mengurus Tuan sepenuh hati. Tetaplah sabar dan tenang," jawab Kiya dengan lembut.

Arvin tersenyum tipis sambil mengunyah makanannya, lalu tiba-tiba saja ia membuang sisanya di hadapan Kiya di lantai.

"Nggak enak! Sejak kapan Mbok Marini masak nggak enak?" tanya Arvin dengan nada yang kasar sambil melirik Kiya.

Kiya terlihat sedikit terkejut dan sedih melihat Arvin membuang makanan di depannya. Namun, ia tetap tenang dan mencoba meredakan suasana dengan menjawab pertanyaan Arvin.

"Kiya tidak tahu, Tuan. Kiya hanya menyuapkan makanan seperti yang diminta oleh nyonya ratih," jawab Kiya dengan wajah yang sabar.

Wajah Arvin terlihat seolah-olah tidak menyukai kehadiran Kiya di sekitar dirinya. Meskipun Kiya telah bersabar dan mengungkapkan kebaikan hatinya secara berulang-ulang, Arvin tetap tidak bergeming dan lebih memilih untuk menunjukkan kekhawatiran dan ketidakpuasan yang ada dalam dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status