Share

06

Author: kotak kuning
last update Last Updated: 2021-06-06 17:07:33

***

Langit yang mendung membuat cahaya matahari masuk menyelinap kecil-kecil dari balik awan. Pagi ini adalah salah satu pagi baru yang sedikit banyak menenangkan hati Liza, dia merasa sudah menyelesaikan permasalahan awalnya sebelum nanti dirinya-Mamanya mengalami hal yang tidak mengenakkan sebagai akibat dari pernikahannya dengan Randi-Papa. Liza memulai paginya dengan cukup awal hari ini, menyelesaikan cucian, membantu menyiapkan sarapan, juga berberes untuk dirinya sendiri.

“Za, cuciannya taruh di ember aja!” Sahut Ibu-Neneknya mengingatkan. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun, menjemurnya sekarang mungkin hanya akan menambah pekerjaan saja.

“Iya, Bu!” Liza menuruti perkataan Ibunya, kemudian setelah sarapan dia segera mandi dan berpakaian.

Sudah sekitar dua minggu sejak dia meminta putus dengan Randi. Bahkan untuk laki-laki bebal sepertinya, dihina dengan tiga paragraf berantai pasti sudah membuatnya kapok untuk mendekati Liza-Mama lebih jauh lagi. Dengan begini Liza hanya perlu mencari Ayahnya dan memulai kehidupan bahagia yang seharusnnya.

Liza berjalan melewati rumah tetangga untuk sampai ke jalan raya dan naik angkot. Cuaca yang malas seperti memaksa orang-orang untuk bersiap lebih awal. Nenek yang biasa menyiram bunga tidak terlihat di halaman rumahnya, om-om yang biasa sudah ribut dengan renovasi rumah juga sepertinya belum muncul.

Dia naik angkot seperti biasa, kemudian turun dan masuk kelas seperti kebanyakan anak yang biasa pula. Liza tumbuh menjadi anak periang dan disukai banyak orang, sedangkan di sisi lain, perlahan Randi mulai menjadi berandalan yang sesungguhnya. Perubahan sikap Randi terus saja membuat Liza-Rani semakin paham dan percaya kalau Randi adalah Calon Papanya.

“Mau bagaimana pun aku harus menghentikan itu. Pokoknya jangan sampai terjadi.”

“Hmm? Kenapa, Za?” Tanya salah satu temannyaa.

Liza tak sadar kalau emosinya meluap hingga bicara tanpa kontrol, padahal seharusnya dia bicara dalam hati saja. Liza sedang belajar bersama dengan teman-teman barunya di kelompok baru. Sepertinya itu adalah kelompok ke empat dengan gabungan orang-orang paling absurd dan aneh. Ada yang ke sekolah hanya bermain gitar, bermain game, jarang masuk, ada yang semangat belajar, juga ada yang otaknya penuh cinta.

“Ah enggak, nggak kenapa napa.”

“Eh eh mau nanya dong, soal yang ini nyelesainnya gimana, ya?”

“Oh ini?” Liza menjelaskan runtutan cara menjawab salah satu soal matematika yang ditanyakan temannya dengan malas. Sejak tadi hujan sudah turun dengan malu-malu, rintik-rintik halus yang lambat, membuat Liza dan beberapa temannya menguap berkali-kali.

“Eh, Zaaa. Sadar nggak sih? Akhir-akhir ini banyak yang merhatiin kamu?”

“Hmm? Enggak, biasa aja kayaknya.”

“Lagi lagi nih. Padahal kamu cantik banget loh, Za. Pinter lagi!”

“Nggak minat cari pacar gitu?”

“Engg- kayaknya enggak dulu deh, aku mau langsung cari calon suami.”

“Waaah dewasa banget.”

Teman-temannya salah paham dengan jawaban Liza. Bukannya dia benar-benar tidak tertarik dengan urusan percintaan, hanya saja belakangan ini dia sedang fokus mencari calon suami mama-Ayahnya sendiri. Apa jadinya kalau nanti Ayahnya mundur karena bertemu Liza saat sedang berpacaran dengan orang lain?

“Eh, Zaa! Tuh liat, anak basket. Nathan dari tadi ngelirik kamu dari luar loh. Nggak mau disapa aja?” Kata salah satu temannya sambil menyentil bahu Liza. Di luar sana terlihat ada seorang laki-laki yang berdiri bersama temannya memandangi Liza tanpa berkedip.

“Nathan, ya?” Liza teringat sebagian kepingan memori lama.

***

“Ayah Ayah!”

“Iya Ranii? Kenapaa?”

“Sini sini dulu, foto bentar sama Ayah, sama teman Ayah juga.”

“Anakku belum sekolah aja bacanya udah lancar banget!”

“Anakku udah bisa naik sepeda. Ngebut lagi!”

“Anakku—“

***

Di sekolah ini ada berapa Nathan ya?”

“Hmm? Kurang tahu juga, sih. Di kelas ini aja ada satu. Mungkin di sekolah ada lima atau tujuh? Pasaran, sih.”

“Hahhahahaha!”

“Kenapa, Za? Udah nyantol aja sama Nathan yang anak basket.”

“Belum, kok.”

“Waaah belum tuh katanya. Berarti ada kesempatan nih.”

“Tapi sayang, Za. Yang ngejar lo kan bukan Nathan doang.”

Nathan adalah nama depan Ayah Rani, calon suami Liza-Mamanya di masa depan. Rani tidak pernah tahu nama lengkap Ayahnya. Selain dulu dia yang masih kecil tidak pernah mencoba mencari tahu, Papanya juga sudah membuang semua dokumen yang berhubungan soal Ayahnya dulu. Randi di masa depan terlihat begitu membenci sosok Nathan.

Beberapa hari terakhir, Liza sudah menemukan dua orang teman akrab yang kebetulan juga pulang searah. Seringkali mereka bertiga pulang bersama naik angkot. Tetapi hari ini hujan turun dengan derasnya, membuat banyak orang ingin cepat-cepat pulang dan tidak ingin mampir dulu. Akibatnya angkot-angkot yang biasanya harus berkeliling mencari penumpang, kali ini sudah penuh duluan. Liza dan dua orang temannya yang dari tadi menunggu angkot lewat terlihat sudah pasrah.

“Duhh, ini gara-gara Bu Nizmi ngasih materinya kelamaan.”

“Iya, padahal dia paling sering nyinggung soal disiplin waktu.”

“Sendirinya enggak padahal.”

“Hahahahahaha.”

“Liza, Anggi, mau ke rumah aku dulu?” Ajak Nabila salah satu teman baru Liza.

“Kamu pas naik angkot turunnya emang duluan, sih. Tapi keburu kalau kita lari dari sini? Makin kehujanan yang ada.” Liza mencoba memikirkan tawaran Nabila.

“Enggak basah banget kok. Kalau naik angkot kan emang harus lewat jalan raya. Nah kita lewat jalan tikus aja. Sebenarnya rumah aku juga nggak jauh dari sekolah.”

Liza menimbang-nimbang tawaran Nabila, tetapi sebelum ia bisa mengutarakan pendapatnya, Anggi sudah lari duluan.

“Liza, Nabil, ayo buruan!”

“Eh eh iya. Ayo, Za!”

Liza yang tertinggal terpaksa berlari mengikuti dua temannya itu. Sayang sekali di tengah jalan hujan semakin lebat dan membuat mereka malah basah kuyup. Kembali ke sekolah juga tidak ada akan sempat, mereka pun berlari lebih cepat di bawah titik-titik air yang jatuh serentak.

“Huuuh, sampaii.”

“Wah basah banget nih. Kalian langsung masuk aja. Aku mau ambilin handuk dulu.” Kata Nabila sambil mencari handuk, kemudian dia kembali dan membuat minuman hangat.

“Kalau basahnya kayak gitu mendingan kalian langsung mandi, deh. Takutnya kan demam.”

“Yaudah, aku masuk duluan, ya?” Pinta Anggi sambil membuka pintu kamar mandi.

“Kamu nanti juga, Za. Nanti aku bawain baju ganti. Pakai pakaian basah gitu nggak nyaman pastinya, kan?”

“Mmhm.” Jawab Liza sambil mengangguk.

“Hujannya masih deras, ya?”

***

Setelah mereka bertiga selesai mandi dan berganti pakaian, mereka berkumpul di kamar Nabila untuk belajar. Meskipun niatnya begitu, pada akhirnya meraka juga akan bergosip sambil menunggu hujan reda. Nabila sudah memasukkan baju teman-temannya ke pengering pakaian. Liza sungkan kalau-kalau terpaksa pulang dengan pakaian harian pinjaman Nabila. Tetapi hujan yang semakin deras memaksa mereka untuk mengambil pilihan.

“Za, Anggi, malam ini mau nginap aja nggak?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perbaiki Hidup Mama!   21

    ***Kembali ke realita, meskipun kilas balik yang kemarin terhitung kasar sebagai fiksi dan yang ini juga fiksi.Keseluruhan karya ini benar-benar hanya fiksi, tentunya.Liza baru saja mendengar cerita Gilang mengenai kencan pertamanya dengan Chaca. Gadis itu kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Za. Mau nebeng aja?""Kenapa, kak? Tumben?""Aku lagi ada keperluan di kampus sih.""Ooh.""Jadi gimana? Mau nggak?"Liza menimbang-nimbang soal tawaran Gilang. Tak ada salahnya ia menerima kebaikan kakaknya kali ini, toh ia juga bisa menyimpan ongkos berangkat pagi ini"Yaudah sana buruan. Mandi aja belum dasar kambing!""Yeuu bawel."***Ketika jam istirahat kedua selesai, Liza makan bertiga dengan Nabila dan Anggi di kantin."Kak Gilang baru ngedate yaa..."Gumam Liza sambil memainkan bekalnya dengan sendok, tanpa sadar kalau teman semejanya bisa mendengar gumamannya

  • Perbaiki Hidup Mama!   20

    ***“Aw!” Liza mengaduh karena tak sengaja menabrak Gilang pagi ini.“Mabok, po? Untung gelasku nggak jatuh.” Ucap Gilang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.Liza mengusap dahinya, kemudian menggosok-gosok matanya.“Kenapa? Bulu mata jatuh? Jangan digosok-gosok gitu dong, elah.”Gilang memegang tangan Liza, menjauhkannya dari mata gadis itu, lalu meniupnya perlahan.“Apaan sih main sembur-sembur aja!”“Daripada matanya digosok-gosok gitu.”“Aku bukannya kelilipan gegara bulu mata.”Liza menyadari kalau dia sudah tidak begitu menjaga jarak dengan kakaknya. Tinggal serumah selama beberapa bulan ditambah fakta bahwa mereka berdua adalah saudara di dunia ini, membuat Liza terpaksa harus beradaptasi.“Terus? Masih pusing?”Liza mengangguk perlahan, kemudian berbalik dan menuju dispenser untuk mengambil segelas air.&

  • Perbaiki Hidup Mama!   19

    ***Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, saat di mana orang-orang sudah mulai kembali lagi beraktivitas setelah istirahat sejenak saat jeda senja tadi.“Kami pulang dulu, ya, Zaa!”“Tante, titip salam buat Liza nanti ya? Masih tidur tuh dia.”“Iyaa.”“Kebo tuh, emang.”Nabila dan Anggi pulang bersama dengan motor Anggi, mengikuti Gilang yang mengantar Chaca di depan. Mereka menyusuri jalanan hingga akhirnya sampai ke rumah Nabila dan Chaca.“Ya udah, ya, Bil! Sampai ketemu besok!” Ucap Anggi berlalu setelah menurunkan Nabila di depan pagar.“Aku masuk duluan, ya, Kak!”Nabila meninggalkan kakaknya Chaca dan Gilang, sepasang kekasih yang sedang berduaan di depan pagar rumah mereka. Chaca sudah turun dari motor, sementara Gilang sedang duduk menyamping ingin melihat Chaca masuk ke rumah sebelum ia pergi.“Gilang...”Wanita m

  • Perbaiki Hidup Mama!   18

    ***Di sebuah rumah kecil yang dulunya sempat hangat, hiduplah seorang anak bersama orang tuanya. Anak itu cukup jahil untuk ukuran gadis kecil yang masih bersekolah di taman kanak-kanak. Dia sering usil terhadap temannya, berkelahi dengan anak laki-laki, sukanya memanjat pohon, bermain pedang-pedangan, dan semacamnya. Pokoknya gambaran gadis feminin yang lekat dengan make up atau permainan memasak dan boneka benar-benar jauh darinya. Bahkan pagi ini, gadis itu baru saja dimarahi oleh Papanya karena sudah mengusili teman di kelasnya.“Rani. Kenapa kamu usilin Wawan?” Tanya Papanya mengintrograsi ketika mereka sudah sampai di rumah.“Dia nggak mau main sama aku.” Jawabnya sambil mengelayutkan tangannya di belakang, kemudian memutar kepalanya ke samping dan ke bawah.“Lihat Papa kalau kita lagi bicara!”“I-iya, Pa...”“Wawan kamu apain aja?”“Mainannya aku ambil...”

  • Perbaiki Hidup Mama!   17

    ***Tiiit.... tiiiiit.....Brmmm.... brmmmmm.....Suara klakson dan bunyi kendaraan yang saling berisik bersahutan memenuhi jalanan terminal. Keringat bercampur debu membuat kulit menjadi lengket dan gerah, ditambah lagi dengan keadaan sumpek dari hiruk piruk perkotaan. Keadaan ini seringkali memicu stress bagi orang yang baru saja sampai ke kota, urbanisasi, orang-orang yang berpindah ke daerah ramai dengan tujuannya masing-masing.Tetapi bagi mereka selama beberapa tahun tinggal di sana, bahkan tidur di samping perlintasan kereta api ketika besoknya adalah hari penting di mana seluruh karirmu dipertaruhkan, itu semua sudah biasa. Mungkin hanya mereka dengan hak-hak khusus bisa tinggal di mansion mahal atau sebuah kamar apartemen yang begitu luas untuk ditinggali sendiri.Tidak ada yang bisa benar-benar mengatur hidupmu, tidak ada yang bisa mengekang dirimu. Kau selalu bisa bersembunyi dibalik tameng pribadi yang kau ciptakan sendiri. Kau bisa saj

  • Perbaiki Hidup Mama!   16

    ***Goresan pensil dan suara lembaran kertas halus-halus mengisi keseriusan ruangan 10 x 8 meter itu. Meskipun pada awalnya terkesan antusias dan ramai, mereka ternyata cukup serius dalam melakukan kegiatan klubnya. Dua jam telah berlalu, akhirnya agenda dadakan menggambar itu selesai. Anak-anak yang tergabung sebagai anggota klub seni begitu bergembira dengan kedatangan Nathan sebagai model untuk mereka gambar.Tapi tidak dengan seorang gadis yang duduk di paling belakang itu, kertas besar yang disangga oleh sandaran kanvas miliknya sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada guratan pensil atau bekas hapusan sama sekali, bersih seperti baru.「Padahal bisa difoto aja kan, sih?」Dengusnya dalam hati karena sebal, orang-orang itu begitu heboh karena seorang Nathan saja.「Memang apa spesialnya dia?」「Astaga, Zaaaa. Sadar. Dia calon ayahmu. Tanpanya kamu nggak bakal lahir di dunia ini. Kalau ada yang perlu disalahkan atas berbagai kesialan yang menimp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status