Setelah merasakan tekanan yang tak habis-habis atas perbuatan Papa tirinya, Rani menjadi frustasi dan berpikir untuk bunuh diri. Tetapi bukannya dikirim ke alam baka, Rani malah berpindah ke tubuh Mamanya di masa lalu. Bagaimana cara Rani menangani situasi ini? Apa yang akan dia lakukan selanjutnya?
View More“MAA! UDAH DONG MAA! AKU NGGAK BISA LIAT MAMA KAYAK GINI TERUS!”
Wanita itu berteriak kacau.
Suaranya terdengar serak dan tak mengenakkan. Boleh jadi karena tadi di tempat kerjanya, dia habis adu mulut dengan koleganya yang bebal dan tak mau diatur. Tapi apa boleh buat, kerabat dekat pimpinan punya kelas yang jelas berbeda darinya.
Biasanya wanita itu tidak sering memperlihatkan emosi, tetapi mungkin hari ini adalah puncak kesialannya.
Keputusasaan dan kekecewaan tergambar jelas dari teriakan menyedihkan itu.
Wanita itu bernama Rani Anggraini, kepala keluarga, dua puluh delapan tahun. Dia tinggal bersama Mamanya di sebuah rumah setelah suami kedua, Papanya kabur meinggalkan mereka dengan kesan yang begitu menjijikkan. Rani sendiri tak habis pikir bagaimana pria busuk nan kasar itu bisa menarik perhatian Mamanya delapan belas tahun lalu.
Rani benar-benar sedang sial hari ini.
Wanita berlari ke kamar, membanting pintu, lalu menangis dengan keras, dia tidak tahan dengan pemandangan yang terus saja harus disaksikan setiap harinya. Semua karena Papa, lelaki brengsek yang sudah menghancurkan keluarga mereka— membuat Mamanya terkena stroke kemudian pergi dengan meninggalkan hutang yang tak terkira. Belum lagi Papanya masih sempat membawa lari perhiasan Mama. Bahkan kalau dibandingkan dengan rentenir yang selalu datang ke rumah mereka tiap bulannya, Rani jelas-jelas beranggapan kalau Papanya jauh lebih tidak punya adab.
Rani mengacak-acak lemari, melempari pakaiannya, kemudian menguarkan secari kertas berisi pesan-pesan terakhir dan catatan untuk orang yang akan merawat Mamanya nanti— Surat Wasiat. Surat itu sudah Rani simpan sejak beberapa bulan terakhir untuk ‘keadaan darurat’. Tetapi karena rasa sayangnya terhadap Mama sangat lah tinggi, Rani terus saja menahan diri. Hanya saja, sepertinya kekang yang menahan perasaan di hati Rani sudah hancur.
Rani keluar kamar dan berjalan ke dapur, ia meletakkan surat wasiat yang ia ambil tadi di atas meja makan. Sebelumnya setelah pulang kerja, Rani sudah merapikan kamar dan memasak makanan untuk makan siang. Tetapi Mamanya menolak makan, Mama Rani hanya ingin makan kalau mantan suaminya yang brengsek itu kembali dan mendekapnya dulu. Rani bertanya-tanya dalam hati, entah apa yang sudah ditawarkan bajingan itu saat melamar Mamanya dulu.
“Omong kosong.” Dengusnya kecil.
Air matanya mengalir perlahan, jatuh membasahi pipinya yang membulat. Rani teringat saat Mamanya mengatakan kalau dia sangat suka wajahnya yang tersenyum, menggemaskan puji Mamanya. Rani benci mengakui fakta bahwa Mamanya sangat bodoh, tetapi ia menyayanginya lebih dari apapun yang dia punya.
“OMONG KOSOOOONGG!!!”
Rani menyayat pergelangan tangannya dengan pisau, membuat darahnya keluar bercucuran. Beberapa detik berlalu, perlahan Rani mulai merasa mengantuk dan kemudian tumbang.
Untuk sekejap Rani penasaran entah karena hormon di otak, atau pengaruh emosi yang membuatnya tidak terlalu merasakan sakitnya kematian. Rani pun membatin dalam hati.
“Eh, apa adrenalin ya namanya?”
“Ah sudah lah.”
“Lagi pula aku akan mati.”’
“Tapi siapa yang akan merawat Mama nanti, ya?”
“Semoga ada orang baik yang mau mengurusnya.”
“Maaf, Ma. Aku bukannya ingin jadi anak durhaka.”
“Aku cuma, capek.”
“Nah iya, cuma capek.”
“Ahh, Mama!”
“Masih saja mau pakai gaun itu? Memangnya tidak sayang kalau pemberian Ayah nanti rusak?”
“Ah, aku baru saja berhalusinasi, ya?”
“Hahaha.”
“Padahal aku ingin—“
“Maafkan aku, Mama”
***
***Kembali ke realita, meskipun kilas balik yang kemarin terhitung kasar sebagai fiksi dan yang ini juga fiksi.Keseluruhan karya ini benar-benar hanya fiksi, tentunya.Liza baru saja mendengar cerita Gilang mengenai kencan pertamanya dengan Chaca. Gadis itu kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Za. Mau nebeng aja?""Kenapa, kak? Tumben?""Aku lagi ada keperluan di kampus sih.""Ooh.""Jadi gimana? Mau nggak?"Liza menimbang-nimbang soal tawaran Gilang. Tak ada salahnya ia menerima kebaikan kakaknya kali ini, toh ia juga bisa menyimpan ongkos berangkat pagi ini"Yaudah sana buruan. Mandi aja belum dasar kambing!""Yeuu bawel."***Ketika jam istirahat kedua selesai, Liza makan bertiga dengan Nabila dan Anggi di kantin."Kak Gilang baru ngedate yaa..."Gumam Liza sambil memainkan bekalnya dengan sendok, tanpa sadar kalau teman semejanya bisa mendengar gumamannya
***“Aw!” Liza mengaduh karena tak sengaja menabrak Gilang pagi ini.“Mabok, po? Untung gelasku nggak jatuh.” Ucap Gilang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.Liza mengusap dahinya, kemudian menggosok-gosok matanya.“Kenapa? Bulu mata jatuh? Jangan digosok-gosok gitu dong, elah.”Gilang memegang tangan Liza, menjauhkannya dari mata gadis itu, lalu meniupnya perlahan.“Apaan sih main sembur-sembur aja!”“Daripada matanya digosok-gosok gitu.”“Aku bukannya kelilipan gegara bulu mata.”Liza menyadari kalau dia sudah tidak begitu menjaga jarak dengan kakaknya. Tinggal serumah selama beberapa bulan ditambah fakta bahwa mereka berdua adalah saudara di dunia ini, membuat Liza terpaksa harus beradaptasi.“Terus? Masih pusing?”Liza mengangguk perlahan, kemudian berbalik dan menuju dispenser untuk mengambil segelas air.&
***Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, saat di mana orang-orang sudah mulai kembali lagi beraktivitas setelah istirahat sejenak saat jeda senja tadi.“Kami pulang dulu, ya, Zaa!”“Tante, titip salam buat Liza nanti ya? Masih tidur tuh dia.”“Iyaa.”“Kebo tuh, emang.”Nabila dan Anggi pulang bersama dengan motor Anggi, mengikuti Gilang yang mengantar Chaca di depan. Mereka menyusuri jalanan hingga akhirnya sampai ke rumah Nabila dan Chaca.“Ya udah, ya, Bil! Sampai ketemu besok!” Ucap Anggi berlalu setelah menurunkan Nabila di depan pagar.“Aku masuk duluan, ya, Kak!”Nabila meninggalkan kakaknya Chaca dan Gilang, sepasang kekasih yang sedang berduaan di depan pagar rumah mereka. Chaca sudah turun dari motor, sementara Gilang sedang duduk menyamping ingin melihat Chaca masuk ke rumah sebelum ia pergi.“Gilang...”Wanita m
***Di sebuah rumah kecil yang dulunya sempat hangat, hiduplah seorang anak bersama orang tuanya. Anak itu cukup jahil untuk ukuran gadis kecil yang masih bersekolah di taman kanak-kanak. Dia sering usil terhadap temannya, berkelahi dengan anak laki-laki, sukanya memanjat pohon, bermain pedang-pedangan, dan semacamnya. Pokoknya gambaran gadis feminin yang lekat dengan make up atau permainan memasak dan boneka benar-benar jauh darinya. Bahkan pagi ini, gadis itu baru saja dimarahi oleh Papanya karena sudah mengusili teman di kelasnya.“Rani. Kenapa kamu usilin Wawan?” Tanya Papanya mengintrograsi ketika mereka sudah sampai di rumah.“Dia nggak mau main sama aku.” Jawabnya sambil mengelayutkan tangannya di belakang, kemudian memutar kepalanya ke samping dan ke bawah.“Lihat Papa kalau kita lagi bicara!”“I-iya, Pa...”“Wawan kamu apain aja?”“Mainannya aku ambil...”
***Tiiit.... tiiiiit.....Brmmm.... brmmmmm.....Suara klakson dan bunyi kendaraan yang saling berisik bersahutan memenuhi jalanan terminal. Keringat bercampur debu membuat kulit menjadi lengket dan gerah, ditambah lagi dengan keadaan sumpek dari hiruk piruk perkotaan. Keadaan ini seringkali memicu stress bagi orang yang baru saja sampai ke kota, urbanisasi, orang-orang yang berpindah ke daerah ramai dengan tujuannya masing-masing.Tetapi bagi mereka selama beberapa tahun tinggal di sana, bahkan tidur di samping perlintasan kereta api ketika besoknya adalah hari penting di mana seluruh karirmu dipertaruhkan, itu semua sudah biasa. Mungkin hanya mereka dengan hak-hak khusus bisa tinggal di mansion mahal atau sebuah kamar apartemen yang begitu luas untuk ditinggali sendiri.Tidak ada yang bisa benar-benar mengatur hidupmu, tidak ada yang bisa mengekang dirimu. Kau selalu bisa bersembunyi dibalik tameng pribadi yang kau ciptakan sendiri. Kau bisa saj
***Goresan pensil dan suara lembaran kertas halus-halus mengisi keseriusan ruangan 10 x 8 meter itu. Meskipun pada awalnya terkesan antusias dan ramai, mereka ternyata cukup serius dalam melakukan kegiatan klubnya. Dua jam telah berlalu, akhirnya agenda dadakan menggambar itu selesai. Anak-anak yang tergabung sebagai anggota klub seni begitu bergembira dengan kedatangan Nathan sebagai model untuk mereka gambar.Tapi tidak dengan seorang gadis yang duduk di paling belakang itu, kertas besar yang disangga oleh sandaran kanvas miliknya sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada guratan pensil atau bekas hapusan sama sekali, bersih seperti baru.「Padahal bisa difoto aja kan, sih?」Dengusnya dalam hati karena sebal, orang-orang itu begitu heboh karena seorang Nathan saja.「Memang apa spesialnya dia?」「Astaga, Zaaaa. Sadar. Dia calon ayahmu. Tanpanya kamu nggak bakal lahir di dunia ini. Kalau ada yang perlu disalahkan atas berbagai kesialan yang menimp
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments