Share

Perempuan Dalam Kotak Warisan Nenek
Perempuan Dalam Kotak Warisan Nenek
Penulis: Deschya.77

Kotak Kusam

"Aku tidak akan menjualnya, paman!"

Suaraku menggema di dalam restoran ini, sebenarnya aku sendiri malu dengan suara keras yang aku keluarkan. Tapi aku sudah tidak sabar dengan perbincangan saat ini. Aku meninggalkan sosok pria paruh baya yang tadi mengobrol denganku. Sudah tidak ada hal lain yang ingin aku bicarakan dengannya lagi.

"Deffa, Aku juga punya hak atas rumah itu! Kamu jangan serakah! Jangan mentang-mentang kamu cucu pertama, jadi merasa berhak atas semuanya!"

Teriakannya menghentikan langkahku, aku pun berbalik untuk kembali menghampirinya.

"Paman tidak malu meminta hak? Selama ini Paman kemana saja saat nenek jatuh sakit? Aku tidak serakah, tapi aku hanya menjalankan wasiat Nenek yang sudah menitipkan rumahnya untukku, jadi Paman tidak punya hak sama sekali atas rumah itu."

"Bagaimana bisa aku tidak memiliki hak? Aku masih anak kandungnya, dan yang pasti aku lebih memiliki hak dari pada kamu!"

Teriakannya yang tidak tahu malu, membuatku semakin geram untuk menanggapinya. Kalau saja dia bukan orang tua, pasti sudah kuhajar karena batas kesabaranku habis. Melihat semua pandangan pengunjung tertuju pada kami, akupun ingin segera menyudahi pembicaraan ini.

"Tolong jangan terlihat lebih menyedihkan dari sekarang Paman. Kalau Paman masih punya hati nurani, tolong terima saja keputusan nenek. Dengan begitu aku akan lebih bermurah hati kepada Paman setelah ini."

Setelah mengatakannya, aku kembali meninggalkan orang itu tanpa mendengarkan dan memperdulikan jawabannya lagi. Aku benar-benar sangat marah dibuatnya. Jika tahu pertemuan ini hanya untuk memancing emosi, aku tidak akan sudi untuk datang.

Bagaimana bisa selama ini dia tidak pernah memperdulikan ibunya sendiri, dan kini setelah ibunya meninggal dia meminta warisan tanpa rasa malu. Orang tadi adalah pamanku, anak kedua dari almarhumah nenek dan adik dari almarhum papa.

Benar, saat ini aku hanya seorang diri. Papa dan mama yang meninggal karena kecelakaan sejak aku kecil, dan Nenek yang merawatku setalahnya, kini akhirnya juga meninggalkanku karena penyakitnya.

Dan saat ini aku sedang kembali diuji dengan kehadiran paman, yang selama ini tidak pernah menengok nenek selama bertahun-tahun. Tapi saat nenek sudah tidak ada, dia datang untuk meminta hak. Aku tidak tahu dia orang yang tebal muka, atau orang yang benar-benar tidak memiliki muka.

Aku kembali ke rumah tempat tinggalku bersama nenek, keadaan saat ini membuatku sangat merindukan beliau. Walaupun orang tuaku memberikan warisan yang begitu besar, tapi aku tumbuh besar bersama nenek. Aku tidak akan sanggup untuk melepaskan rumah ini, apalagi rumah ini penuh dengan semua kenangan kami bersama.

Aku melangkahkan kakiku menuju kamar nenek, dan setelah sampai aku duduk di atas tempat tidurnya. Aku melihat foto kami yang ada di atas nakas samping tempat tidur, aku yang saat itu masih kecil terlihat jelas tertawa bahagia dalam pelukan nenek.

"Nenek sudah tidak sakit lagi kan diatas sana? Pasti Nenek sudah bahagia sekarang tanpa rasa sakit. Entah sampai kapan, tapi aku akan tetap menjaga dan merawat rumah ini Nek. Jadi tetaplah bahagia disana tanpa mengkhawatirkan aku lagi."

Air mata yang sudah aku tahan sejak kepergian nenek, kini tumpah begitu saja tanpa henti. Hatiku benar-benar sakit kehilangan satu-satunya orang, yang selama ini menjadi tempat untukku kembali. Nenek sudah merangkap seperti papa dan mamaku, beliaulah yang merawat dan mendidikku hingga kini.

Aku mengusap air mataku, dan berjalan ke arah rak buku yang selalu nenek rawat dengan rutin. Nenek selalu menyimpan buku-buku lamanya dengan sangat baik, dulu sewaktu aku kecil nenek selalu menceritakan sebuah buku untukku sebelum tidur.

Waktu itu aku pernah bertanya untuk apa buku-buku lama masih disimpannya, dan nenek selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Beliau menjawab kalau disetiap buku yang sudah dibaca, akan menjadi suatu kenangan dan bukan hanya untuk pajangan semata.

"Buku-buku itulah yang sebelumnya pernah menghibur kita, setelah selesai dibaca bukan berarti buku itu kehilangan fungsinya bukan? Hanya melihat bahwa kita pernah membaca dan mengingat kembali isinya, itu juga bisa menjadi hiburan kembali untuk diri sendiri."

Begitulah jawaban nenek waktu itu, dan aku yang waktu itu masih belum mengerti, hanya mengangguk-anggukkan kepala. Walaupun sampai sekarang aku belum benar-benar mengerti apa yang dimaksud oleh nenek, tapi aku sedikit paham karena sebuah buku akan tetap menghibur kita jika kita merawatnya bukan.

Aku melihat ada sebuah kotak yang menarik perhatianku, tanganku meraihnya dari rak bagian paling atas. Kotak ini sangat berdebu, mungkin karena setelah nenek sakit bagian atas lemari jarang aku bersihkan. Waktu itu aku sudah mencurahkan semua waktuku untuk nenek, dan hanya pulang untuk membersihkan rumah seadanya.

Untunglah waktu itu aku sudah memiliki perusahaan penerbit sendiri yang cukup sukses, dari bermodal warisan kedua orang tuaku, aku mencoba membuka perusahaan itu dulunya. Jadi ketika nenek sakit aku bisa fokus untuk merawatnya, dan aku sudah tidak perlu memikirkan soal pekerjaan, karena semua sudah aku pasrahkan kepada orang kepercayaanku.

Aku membawa kotak yang aku ambil tadi, dan meletakkannya di atas tempat tidur. Aku mencoba membersihkan bagian yang berdebu, karena tanganku menjadi sangat kotor saat berusaha membukanya. Aku mengusapnya hingga sudah benar-benar bersih, tapi tiba-tiba kotak itu membuka dengan sendirinya dan mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Karena terkejut aku tidak sengaja menjatuhkan kotak itu , dan menutupi mataku dari cahaya menyilaukan.

Hingga beberapa saat cahaya itu akhirnya mulai memudar, aku mencoba membuka mataku secara perlahan karena menyesuaikan cahaya yang tadi masuk begitu terang. Dan disaat mataku sudah terbuka sepenuhnya, aku sangat terkejut saat melihat apa yang ada dihadapanku saat ini.

Seorang wanita cantik bak malaikat, dengan pakaian yang dibelit-belit menjadi sebuah jubah yang menjuntai dengan sangat indah. Rambutnya yang hitam panjang sangat berkilau, tapi kilauannya tidak seperti orang pada umumnya dan sedikit menyilaukan mata.

"Siapa kamu? Dimana Miranda? Kenapa kamu yang membuka kotaknya?"

Perempuan yang dihadapanku kini bertanya dengan wajah bingung dan kaget, apakah Miranda yang dimaksudnya adalah nenekku? Jadi dia mengenal nenek, tapi kenapa nenek tidak pernah menceritakan apapun tentang ini kepadaku?

pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di pikiranku, padahal saat ini aku juga merasa penasaran dan takut disaat bersamaan. Tapi aku mencoba memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya.

"M-Miranda yang kamu maksud apakah nenekku? A-aku Deffa Elvano Padantya, bisa dipanggil Deffa. Aku cucu dari nenek Miranda. K-kamu siapa? Kenapa kamu bisa keluar dari kotak itu?"

Aku menjawabnya dengan sedikit tergagap, bagaimana aku tidak gugup jika melihat ada sesorang yang keluar dari sebuah kotak kusam.

"Jadi kamu cucu yang sering Miranda ceritakan, bagaimana kamu bisa menemukanku? Padahal Miranda sudah berjanji untuk tidak mengungkapkan keberadaanku kepada siapapun."

Aku kembali melihat kearah kotak yang aku jatuhkan tadi, dengan secepat kilat aku kembali mengambilnya dan meletakkannya dengan baik diatas ranjang.

"A-aku tidak sengaja membuka kotak ini karena penasaran, aku mencoba membersihkannya karena kotak ini sangat kotor."

Aku melirik kearahnya takut dia tidak percaya, tapi dia tidak mengatakan apapun. Setelah beberapa saat dia kembali bertanya kepadaku.

"Lalu sekarang Miranda ada dimana? Bilang kepadanya untuk kesini sekarang juga, biar dia yang akan menjelaskannya padamu."

Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya, apakah sudah begitu lama dia tidak keluar dari buku hingga tidak tahu kejadian yang menimpa nenek.

"N-nenek sudah meninggal beberapa minggu yang lalu, hampir dua bulan nenek terbaring sakit di rumah sakit hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya."

"Bagaimana Miranda bisa meninggal, sepertinya baru kemarin dia mengeluarkanku dari kotak ini. Kamu jangan coba-coba bohong kepadaku!"

Kata-katanya membuat bulu kudukku berdiri, bagaimana orang secantiknya bisa mengatakan kata-kata dengan begitu menyeramkan. Atau sebenarnya dia bukan orang? apakah dia hantu?

"A-aku mengatakan yang sebenarnya, aku tidak akan pernah berbohong tentang hal seperti itu. Bahkan sampai sekarang aku masih berharap nenek masih disini bersamaku."

Dia memandangku seperti menyelidik, entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Aku yang memandangnya dengan tatapan takjub, karena kecantikan dan keindahan yang terpancar darinya.

"S-s-sebenarnya siapa kamu? Bagaimana kamu bisa mengenal nenek?"

Bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aisya Ukhti
Pamannya bikin emosi, seenaknya sendiri minta hak tanpa mikir kewajiban
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status