Share

Menguji Kesabaran

Sudah seminggu setelah terakhir kali aku bertemu dengan Ara, rencananya sepulang kerja aku ingin kembali membuka buku itu sesuai perjanjianku dengannya. Aku sudah tidak sabar untuk dapat bertemu kembali dengannya, bahkan aku sering memimpikannya dalam tidurku belakangan ini. Terakhir kali, aku memimpikan berjalan di taman yang luas bersama Ara. Dengan pemandangan yang sangat indah, serta cuaca saat itu yang sangat mendukung.

Hari ini aku memiliki jadwal yang sangat padat, jadi tidak ada waktu bagiku untuk sarapan tadi pagi. Saat melihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul 13.45, pantas saja perutku sudah keroncongan sejak tadi. Meeting pagi dengan para penulis, memakan waktu yang cukup lama dari sebelum-sebelumnya. Padahal setelahnya aku juga sudah berusaha, untuk menganalisa setiap dokumen yang ada di meja kerjaku dengan lebih cepat. Namun tetap saja, waktu berjalan dengan sangat cepat.

Untunglah Bima yang pengertian, sudah memesankan tempat untuk kami makan siang diluar. Bima cukup cekatan dalam bekerja, inisiatifnya kadang membuatku takjub kepadanya. Aku benar-benar beruntung, bisa menjadikannya salah satu karyawan di perusahaanku. Jika tidak ada Bima, mungkin aku sudah keteteran untuk mengatur semua hal.

Baru saja aku mau bersiap untuk keluar, tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk kedalam ruanganku.

Aku melihat Bima yang menahan lengannya dari belakang, untuk menahan orang itu agar tidak masuk namun gagal. Orang itu tidak lain adalah pamanku, Brandon Adi Padantya. Dia masih tetap berusaha, untuk mendapatkan hak waris dari nenek. Padahal aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk berdebat dengannya, bayangan makanan yang sudah membuatku lapar, langsung lenyap karena kedatangan pamanku ini.

"Deffa, ayo segera jual rumah Ibu. Aku sebagai anaknya punya hak untuk rumah itu."

"Sudahlah Paman, aku sudah sangat lelah dan lapar saat ini. Aku sudah tidak ada tenaga untuk meladeni omongan Paman yang tidak tahu malu."

"Kamu tidak punya sopan santun dengan orang tua, begitulah kalau anak tidak dapat didikan dari orang tuanya."

Padahal aku sudah berusaha menahan emosiku, tapi orang tua ini bukannya sadar tapi malah semakin menjadi. Hampir saja aku kehilangan kendali, karena aku sangat tidak terima orang tuaku di sangkut pautkan. Bima langsung sigap memahami, dia menahan dan menenangkanku untuk tidak bertindak gegabah. Jika sampai aku lepas kendali, pasti akan dimanfaatkan oleh Pamanku ini. Karena aku yakin memang itulah rencananya, hingga dia menerobos masuk ke ruanganku seperti ini.

"Apa? Kamu mau memukul Pamanmu sendiri? Pukul sini pukul! Memang anak tidak punya pendidikan, makanya sangat serakah menguasai warisan sendiri."

Mendengar kembali kata-katanya, kekalutanku semakin memuncak. Bima semakin kuat menahanku yang terus berontak, hingga aku kembali tenang karena melihat Bima yang menggelengkan kepalanya berkali-kali. Beberapa detik kemudian aku menganggukkan kepala kepadanya, tanda untuk dia bisa melepaskanku.

"Maaf Paman, setahu saya Paman juga mendapatkan bagian warisan dari nenek. Jadi Paman tidak bisa mengatakan kalau aku menguasai warisan sendirian. Dan asal paman tahu, yang menduduki selama ini adalah nenek. Paman berani menghina Nenek, tapi masih mengharapkan warisan yang lebih besar?"

"Aku hanya mendapatkan bagian sedikit, sedangkan kamu mendapatkan rumah utama. Apa itu adil? Padahal aku yang anak kandungnya bukan kamu!"

Entah pemikiran apa yang ada di kepalanya, hingga dia bisa terlihat serendah itu dimataku. Dia yang tidak menganggap nenek selama bertahun-tahun, bahkan ketika aku memberi kabar kalau nenek sakitpun dia tidak menanggapinya sama sekali. Sekarang dia bertanya tentang pantas atau tidaknya aku mendapat rumah nenek, urat malunya benar-benar sudah putus.

"Baiklah begini saja, berapa yang Paman minta?"

"Maksud kamu apa?"

"Paman ingin uang bukan? Aku tidak akan menjual rumah itu sampai kapanpun, jadi berapa yang Paman inginkan? Jangan pura-pura lagi, aku sudah cukup lelah, jadi paman tidak perlu berputar-putar dan langsung saja ke intinya."

"Ternyata kamu masih punya sopan santun, kenapa tidak dari kemarin saja kamu seperti ini. Tidak baik membuat orang tua kelelahan sepertiku."

Damn. Aku sudah tidak menemukan lagi, kata-kata yang tepat untuk mendiskripsikan orang ini. Jika membunuh orang tidak berdosa, pasti aku sudah membunuhnya saat ini juga. Bagaimana ada yang bisa tahan menghadapi orang sepertinya, bahkan nenek dulu sudah tidak mau ambil pusing dengan anaknya yang satu ini. Aku sungguh kasihan dengan nenek, jika melihat dulu beliau yang menangis saat teringat anak yang tidak tahu malu ini.

"Sudahlah Paman, jangan berbelit-belit. Jika tidak mau saya akan pergi sekarang, karena aku sudah terlambat untuk makan siang."

"Tenang-tenang, anak muda selalu tidak sabaran. Terlalu ambisius juga tidak baik Deffa."

"Ya, ya. Terserah Paman mau berkata apa. Jadi berapa?"

"Aku mau dua ratus juta!"

Bersambung...

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status