Home / Rumah Tangga / Perempuan Pilihan Istriku / Bab 1. Permintaan Seorang Istri 

Share

Bab 1. Permintaan Seorang Istri 

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2023-06-22 20:44:34

Ryan menghampiri Felliana yang melamun di balkon kamar mereka. Hatinya merasa beberapa hari ini, sang istri kerap berlaku aneh. Sering didapati termenung dengan mata berkaca-kaca. Jika ditanya, Felliana menjawab dengan seulas senyum.

"Sebenarnya ada apa, Bun?" tanya Ryan melingkarkan tangan pada pinggang istrinya.

Felliana sedikit kaget namun berusaha untuk tetap tenang. Dagu Ryan menempel pada pundaknya. "Bunda seperti bukan seseorang yang sangat Ayah kenal selama ini. Ada apa? Apa Ayah telah melakukan kesalahan?" 

Hembusan napas Ryan membuat bulu-bulu halus di leher Felliana memang. Ryan membalik tubuh istrinya, saat ia menunduk hendak memberikan kecupan di bibir. Felliana menggeleng, menaruh keempat jari ada bibir suaminya.

"Kenapa beberapa hari ini, Bunda selalu menolak Ayah sentuh?" pertanyaan Ryan dijawab gelengan kepala istrinya. Sepasang mata itu tiba-tiba berkaca. Mengusap wajah sang suami perlahan, kemudian mendekap erat disertai tangisannya di dada. 

"Aku sangat mencintaimu, Mas," ujar Felliana di antara sedu sedan. Istrinya tidak membahasakan Ayah padanya melainkan panggilan seorang kekasih pada pasangannya.

Ryan tersenyum mendengarnya. Tentu hal yang sangat membahagiakan saat istrinya mengungkapkan perasaan cinta padanya. Ryan pun mengusap-usap punggung wanita terkasihnya, "Iya, Mas tahu itu. Mas juga sangat mencintaimu, Dik. Tapi … bukan karena itu 'kan, kamu agak lain belakangan ini?"

Felliana masih terdiam. Tak ada jawaban apapun keluar dari bibir itu. Bahkan ketika Ryan mencoba merayu dengan sentuhan seperti biasanya. Ia kembali mengelak. 

"Maaf, aku tidak bisa melayanimu lagi, Mas."

Ryan mengernyit kemudian memicingkan matanya. "Boleh mas tahu alasannya. Kalau saat ini lagi berhalangan. Jangan memakai kata tidak bisa melayani mas lagi, Sayang."

"Mas, maukah memenuhi permintaanku?"

"Apa itu?"

"Berjanjilah dulu, Mas."

"Iya, tapi apa dulu? Enggak mungkin mas berjanji jika tidak mampu melakukan."

Felliana mendongak, lantas perlahan mendorong tubuh Ryan. "Aku sudah memikirkan dengan matang. Berjanjilah, Mas, kamu akan memenuhi permintaanku ini," pintanya kembali.

"Iya, tapi dalam hal apa dulu, Sayang?" Ryan makin tidak mengerti dengan apa yang Felliana  maksudkan.

Ryan berpikir sejenak, lalu berkata, "Baiklah, kalau mas berjanji memenuhi permintaanmu. Kau akan jujur membagi masalahmu dengan suamimu ini, Dik?"

Felliana tersenyum. Lantas perlahan mencium kedua pipi suaminya. "Aku ingin Mas Ryan menikah lagi. Demi masa depan anak-anak, supaya mereka mendapatkan kasih sayang yang lengkap. Mas Ryan juga perlu seorang pendamping untuk menjaga Anida dan kembar."

"Sebentar. Apa tadi, meminta suamimu ini menikah lagi, Dik. Terus apa tadi alasanmu memintaku menikah, untuk anak-anak dan aku." Ryan menggelengkan kepala tak percaya dengan permintaan istrinya barusan.

"Iya, Mas. Menikahlah lagi dengan perempuan yang tulus bisa menyayangi anak-anak kita," mohon Felliana kemudian.

"Enggak, permintaanmu ini diluar dugaanku, Dik. Mana mungkin ada seorang istri yang meminta hal ini pada suaminya." Ryan mengguncangkan bahu Felliana.

"Mas Ryan sudah berjanji tadi."

"Permintaanmu pengecualian. Aku tidak akan pernah menduakanmu, Dik." Ryan merengkuh tubuh istrinya kembali. "Katakan yang sejujurnya. Apa yang membuatmu meminta hal seperti tadi. Anak-anak akan lebih baik dijaga oleh ibu kandungnya sendiri. Dan itu kamu sendiri."

"Sebesar apapun cintaku pada kalian. Nyatanya takdir berkata lain. Dan aku harus mempersiapkan diri dari sekarang. Membantumu memilih wanita yang tepat untuk menjaga anak-anak kita."

"Hai, apa kau sakit?" pertanyaan Ryan membuat istrinya tergugu semakin mengeratkan pelukan.

"Andai benar. Kita akan tetap bersama. Mas akan mendampingimu, Dik. Jangan meminta sesuatu yang nantinya menyakiti perasaanmu."

"Tapi ...."

"Sudah. Kamu tampak kelelahan. Istirahatlah, mas lihat anak-anak dulu." Ryan mengecup lembut kening istrinya. Merangkulnya menuju pembaringan. Membiarkan istrinya beristirahat pilihan terbaik bagi Ryan saat ini.

🌹🌹🌹🌹

"Semalam pulang jam berapa, Nak?" tanya Bu Ilmi pada menantunya saat dilihatnya Ryan keluar dari kamar putrinya.

"Hampir jam dua belas malam, Ma. Pesawatnya delay kemarin."

"Oh, begitu. Nak, apa kau merasakan istrimu berubah akhir-akhir ini." Bu Ilmi menatap wajah menantunya yang juga menyimpan banyak tanya mengenai perubahan putri tunggalnya.

"Entahlah, Ma. Saya sendiri juga binggung. Semoga semuanya baik-baik saja. Permisi, mau melihat kembar, Ma. Kangen rasanya tidak menyapa mereka berdua."

"Iya. Anak-anak diajak main di belakang sama para baby sitternya." Ryan mengangguk kemudian berlalu menuju teras belakang dimana kedua anaknya berada.

Bu Ilmi bergegas menuju kamar putrinya. Setelah mengetuk dua kali. Beliau menggerakkan handle pintu ke bawah. Pintu kamar Felliana terbuka. Begitu pintu dibuka nampak sang putri termenung dengan memeluk kedua lututnya.

"Liana, kamu kenapa, Sayang?Jangan membuat khawatir mama."

Felliana mengusap jejak air matanya. Ia tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala.

"Enggak ada apa-apa, Ma."

"Jangan membohongi mama, Liana. Ayo cerita, sebenarnya ada apa. Ryan barusan mama tanya juga tidak tahu. Jangan membuat kami kebingungan dengan bermacam praduga."

Felliana bergeming dengan pandangan nanar mendongak seolah menahan diri supaya air matanya tidak jadi tumpah.

"Dua hari ini, mama perhatikan kembar minum susu formula. Mama tanya baby sitter, katanya stok asi sudah habis karena kamu sudah lama tidak memompa lagi."

"Iya, Ma. Sudah ada sebulan aku tidak memompa asiku lagi."

Bu Ilmi nampak terkejut, karena putrinya ini seorang dokter, pasti tahu minuman terbaik untuk bayi adalah ASI. Bahkan Felliana dulu berkeinginan memberikan ASI sampai kembar berusia dua tahun. 

"Kenapa, Nak? Apa kamu sakit?" pertanyaan Bu Ilmi membuat putrinya menangis kembali.

"Cerita sama mama. Sebenarnya ada apa? Jika memang kau sakit. Sakit apa?"

"Ma, aku tertular HIV."

"Apa!" pekik Bu Ilmi nyaris histeris. Melihat putrinya mengangguk lemah, dunianya serasa runtuh. 

"Sebulan yang lalu saat aku menyuntik pasien. Belum selesai obat yang kusuntikan ia berontak hingga jarum suntik itu tertancap di lenganku sendiri."

"Astaghfirullah!" Bu Ilmi menutup mulut dengan kedua tangannya. Tangis histeris tak dapat terbendung lagi, sungguh buruk bayangan-bayangan yang berkelebatan dalan benaknya jika harus ditinggal putri tunggalnya. 

"Hasil medisku keluar seminggu yang lalu. Saat tes aku berharap adanya keajaiban. Yang terjadi malah sebaliknya. Virus sudah mulai menyebar karena pasien kemarin positif AIDS stadium akhir." Felliana tergugu dalam pelukan mamanya.

Bu Ilmi mencoba tegar, putrinya sekarang sangat butuh dukungan dari keluarga, terutama dirinya dan Ryan. "Kita akan melewati ini bersama-sama, Nak. Jangan khawatir, yakinlah saat Allah memilihmu menjalani takdir ini. Berarti engkau sanggup melalui ujian dari-Nya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Felliana semakin mengeratkan pelukan pada mamanya. Tempat ternyaman baginya membagi segala kesedihan selama ini. Setiap permasalahan yang ia hadapi selalu ada saran dan solusi yang mamanya berikan secara bijaksana. Pun saat ini, dirinya berani berkata jujur karena ingin segala beban pikiran dapat teratasi. Termasuk mencarikan calon pendamping untuk suaminya kelak saat dirinya tak ada.

☘☘ Next ....

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Pilihan Istriku    Takdir Yang Tertulis (Ending)

    "Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang

  • Perempuan Pilihan Istriku    32. Takdir Yang Tertulis (1)

    Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta

  • Perempuan Pilihan Istriku    31. Ta'aruf

    Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb

  • Perempuan Pilihan Istriku    30. Lembaran Baru

    "Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t

  • Perempuan Pilihan Istriku    29. Benang Merah

    Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.

  • Perempuan Pilihan Istriku    28. Mengikhlaskan

    Laksman tidak membawa mobil ke area parkir klinik melainkan putar balik ke tempat dia berjumpa dengan Leo menggendong kakaknya tadi. Dia masih berharap apa yang didengar tadi tidaklah benar. Tanpa sengaja dia mendengar instruksi kakaknya dengan seseorang di telepon, yang mengarah pada tindakan kriminal.Saat pandangan Laksman menemukan sebuah gudang tua. Ia memelankan laju mobil Tamara hingga berhenti di samping Jeep milik kedua preman yang dihajar oleh Leo tadi.Laksman bergegas masuk ke dalam gudang, yang pintunya telah dirusak oleh Leo tadi. Begitu memasuki gudang, dia menghampiri dua preman yang masih tak bergerak. Keduanya tergeletak di lantai penuh dengan luka.Dengan langkah berhati-hati ia mendekati kedua preman itu. Ragu, apakah kedua preman dalam keadaan sadar atau pingsan, Laksman mengoyangkan salah satu kaki preman dengan kaki kanannya.Pemuda itu terjingkat, ketika terdengar dering ponsel dari saku celana preman sebelah kiri kakinya. Laksman bergegas mengambil ponsel itu,

  • Perempuan Pilihan Istriku    27. Tunas Yang Terenggut

    Rani terkesima begitu tiba di rumah Pak Faiz suasana sangat rame. Setelah sungkeman secara singkat tadi. Dirinya permisi membawa kembar ke taman belakang. Ditemani Aida menjaga Fathiya dan Fatih dirinya bisa bercengkrama dengan kerabat Ryan secara lebih dekat.Lucia dan ibunya hanya memperhatikan Rani dengan tatapan tak suka dari tempatnya menikmati hidangan yang ditata secara prasmanan itu. "Ma ... harusnya aku yang duduk disana. Disapa dan disambut ramah sebagai istri mas Ryan. Bukan perempuan itu. Beruntung sekali dirinya dipungut anak oleh Bu Ilmi. Jadi, bisa menggantikan posisi dokter Felliana menjadi ibu untuk anaknya mas Ryan.""Sudahlah, Lucia. Mama sadar sekarang, sesuatu yang dipaksakan itu ... tak akan pernah baik akhirnya. Benar kata nenekmu, kalau dasarnya jodoh. Mau dipisahkan kayak manapun. Akhirnya bersatu juga. Itu, yang bisa mama lihat dari Ryan dan Rani.Lihatlah kembar juga nyaman dengan perempuan itu. Dulu mungkin, Ryan ingin menikah dengan gadis yang dicintai. N

  • Perempuan Pilihan Istriku    26. Gemuruh

    Acara buka bersama dalam rangka tasyakuran atas penikahan Radit-Tamara berjalan lancar di kediaman keluarga Ardiansyah, Bogor. Acara yang dihadiri kerabat dan tetangga sekitar rumah itu, cukup meriah.Ketika acara berbuka telah usai. Pembawa acara mengarahkan tamu undangan untuk melaksanakan salat Tarawih di masjid komplek perumahan Seroja. Ada sebagian yang memilih langsung pulang ada yang melaksanakan salat Tarawih di sana.Setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing, Radit pun mengajak Tamara masuk ke kamarnya."Tadi sebelum berangkat, Mas lihat rambutnya basah. Sudah suci rupanya." Radit hanya memastikan saja, padahal dia tadi melihat istrinya salat Maghrib juga ikutan jamaah Tarawih dengan rombongan keluarganya."Hmm ...."Tamara menjawab dengan gumaman. Radit tersenyum, langsung memeluk tubuh istrinya itu. "Ya, sudah. Mas siap-siap dulu ya, Sayang.""Siap-siap mau kemana?""Membawamu ke nirwana."Jawaban dari Radit tak urung membuat Tamara memutar bola matanya.Radit terk

  • Perempuan Pilihan Istriku    25. Endingnya Ikrar

    "Jam berapa, rombongan Radit datang, Kak?" tanya Bu Syarifah pada Tamara yang duduk dengan gelisah."Harusnya sudah sampai ini, Mam. Apa terjebak mancet, ya. Pesanku belum dibacanya juga," jawab Tamara dengan wajah gelisah. Wanita itu tampil sempurna dengan setelan kebaya berwarna pink rose. Senada dengan gamis yang dikenakan mama, Aida dan Aisha.Bu Syarifah menepuk pundak putri sulungnya. "Ya, sudah. Kayaknya terjebak macet, Sayang.""Semoga kalaupun iya, enggak lama terjebak macetnya. Papa juga kenapa pakai pasang tenda undang semua warga komplek, kalau mas Radit enggak jadi datang. Apa enggak malu, kitanya," sungut Tamara kemudian.Karena hampir setengah jam dari waktu yang diperkirakan kedatangan rombongan Radit. Sosok pria itu belum juga nampak."Astaghfirullahal'azim, Nak. Kok malah nyumpahin diri sendiri gitu, sih. Enggak baik itu. Mama yakin Radit bukan orang seperti itu. Papa menyiapkan ini semua karena sudah dibicarakan dengan Radit juga orang tuanya.""Ya, kalau enggak jad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status