"Apakah ini keluarga ibu hamil bernama Reyna?" Deg. Pertanyaan suster itu membuat semua yang mendengarnya sangat terkejut. Semuanya menatap suster tak percaya terutama Zafran dan Adenna. "Maaf? Maksud suster Reyna siapa?" tanya Fatiya. Meskipun tangannya sudah gemetar, ia mencoba untuk menenangkan diri. Wanita itu berjalan mendekati sang suster yang masih berdiri di ambang pintu. "Reyna Alesha, saat ini dia sedang berada di unit gawat darurat. Saya mendapati Nona Reyna tengah di lobi dan mengeluh pusing. Setelah beberapa saat Nona Reyna jatuh pingsan. Dengan segera, saya membawanya Ke UGD dengan dibantu dua orang perawat. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata Nona Reyna tengah mengandung dengan umur kandungan empat bulan," jelas suster itu panjang lebar. Fatiya mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh sang suster. Apakah benar? Ibu hamil yang di maksud adalah Reyna putrinya? Wanita setengah baya itu tak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan dari suster. Zafran mendeka
Plak! Kepala Reyna tertoleh ke samping saat mendapat sebuah tamparan yang dilayangkan oleh sang Bunda. Tangannya terangkat untuk menyentuh pipi kanannya yang terasa panas lagi perih. Beberapa saat terdiam, Reyna menatap sang Bunda dengan tatapan bertanya. Terlihat wajah Fatiya yang telah memerah dan menatap tajam pada Reyna. "Memalukan!" ucap Fatiya dengan nafas tercekat. Tenggorokannya terasa seperti di cecik oleh sebuah tambang. Plak! Plak! Plak! Belum cukup hanya dengan satu tamparan, Fatiya mengangkat tangannya lagi guna menampar kedua pipi Reyna secara bergantian. "Bunda! Sakit!" jerit Reyna. "Ibu tolong tenang!" Seru salah satu suster sembari menenangkan Fatiya yang dilanda amarah. Tangan suster itu merangkul pundak Wanita setengah baya tersebut. Namun bukannya merasa tenang, Fatiya justru semakin meradang. Hatinya teramat sakit sekaligus merasa malu luar biasa. "Akan diletakkan dimana wajahku hah!? Ini balasanmu untukku yang sudah melahirkan mu Reyna!?" Teriak Fatiya
"Akhh!" Nora berteriak kesakitan. Bukan karena lehernya dicekik oleh Gian, tetapi karena dirinya merasa jatuh ambruk di atas tanah yang terjal lagi keras. Nora menatap sekeliling dengan was-was dan bingung. Ia sangat terkejut mendapati dirinya tiba-tiba berpindah tempat. Dirinya melihat sekitar yang merupakan area pegunungan yang sunyi, sepi, lagi gelap. Awan hitam menghiasi seluruh permukaan langit. "Dimana aku?" ucapnya. Lagi, Nora merasa terkejut saat mulutnya dapat ia gerakan dan mengeluarkan suara. Dia mengangkat kedua tangannya dan kedua kakinya secara bergantian. "Aku bisa menggerakkan tubuhku," Tatapannya beralih pada pakaian yang ia gunakan. Dress putih panjang polos menjadi penutup tubuhnya saat ini. "Apakah aku sudah mati?" gumam nya disaat merasakan suasana yang amat sepi dan seperti bukan di bumi. "Ini mimpi atau nyata?" Tak lama, ia melihat awan hitam di atas sana mulai terbelah dan muncullah sebuah cahaya berwarna putih yang amat terang. Tangan Nora terangkat gu
Sedangkan di tempat lain, disebuah kediaman mewah nan megah, terdapat tiga orang yang sedang bersitegang. Mereka adalah sepasang suami istri serta anak kedua mereka. Fatiya dan Zafran tengah menatap tajam pada Reyna yang duduk di atas sofa di depan mereka. Setelah beberapa saat hanya keheningan yang melanda, Fatiya akhirnya menghela nafas frustasi seraya mengusap kasar wajahnya. Sedangkan Reyna masih memegangi kedua pipinya yang telah berwarna merah dan terasa perih. Reyna mengangkat wajahnya sedikit guna menatap kedua orang tuanya. Namun, ia kembali menunduk dengan cepat tak kala mendapati mereka berdua tengah menatapnya tajam. Ia tak berani menatap mereka. "Jelaskan," ucap Zafran tegas dan penuh penekanan. "Bagaimana bisa ada janin dalam perutmu itu," lanjutnya lagi. Mulut Reyna tertutup rapat. Ia tak mampu membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara. Tenggorokannya masih terasa tercekat karena menahan tangis. "Jawab!" Bentak Zafran dengan tangan menggebrak meja di hadapannya
Jantung Nora berdetak kencang saat mendengar sebuah nama yang di ucapkan oleh Ayahnya. "Gian?" ulangnya. Ia takut pendengarannya yang salah tangkap. Terdengar helaan nafas kasar lagi dari ayahnya. "Benar Nora, Ayah juga tak habis pikir bagaimana mereka bisa melakukan hal itu. Maka dari itu, Ayah membutuhkan pertolongan suamimu nanti, pasti dia bisa melakukannya," Nora mengusap dadanya guna menenangkan sesuatu yang masih berdetak kencang di dalam sana. Matanya terpejam dengan mengatur nafasnya perlahan-lahan. "Nanti akan aku sampaikan, sekarang Reyna dimana?" tanyanya setelah merasa sedikit lebih tenang. "Ayah mengusirnya. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya berada di posisi Ayah dan bunda, Ayah menyuruhnya untuk menyeret pria itu kemari. Tetapi, entah dia bisa bertemu dengan Gian atau tidak setelah dia menghilang waktu itu," Nora mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku mengerti. Ayah memang harus memberinya pelajaran. Aku juga akan melakukannya nanti," ucapnya. Otaknya menyusun berba
"Dasar gelandangan!" seru suara seorang wanita yang tertangkap oleh pendengaran Reyna. Reyna membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita dengan badan gemuk tengah berdiri seraya berkacak pinggang. Terdapat sebuah gayung yang berada di genggaman tangannya. "Bangun!" teriaknya. Reyna seketika bangun dan duduk dengan tangan mengusap wajahnya yang basah. "Pergi dari sini! Jangan buat pelangganku mual melihat ada gelandangan di warung milikku!" Wanita yang di ketahui adalah si pemilik warung itu merasa marah akan keberadaan Reyna yang tertidur di kursi teras warungnya. Berdasarkan pengalamannya, ia sudah hafal akan gelandangan yang tertidur di teras warungnya akan meminta makanan tanpa mau membayar. Ia muak terhadap hal itu. Oleh sebab itu, ia mengusir seorang wanita yang ia pikir adalah seorang Belanda yang tengah tertidur. "Siapa kau!?" tanya Reyna marah saat sudah mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Ia mengusap-usap rambutnya yang juga basah hingga bajunya
"Ken?" panggil Nora. Kenzo menoleh sekilas dan kembali memfokuskan perhatiannya pada jalan di raya di depannya. "Hm?" Nora tersenyum tipis. "Andaikan kau tahu apa yang telah aku alami," Alis Kenzo terangkat. "Apa itu?" "Kau akan tahu nanti," Dengan senyuman masih menghiasi wajah cantik milik Nora, ia menatap sekitar jalanan. Namun pandangannya tertuju pada salah satu mobil yang tengah melaju di hadapannya. Ia sangat mengenali siapa pemilik mobil itu. Nora menyikut lengan Kenzo dengan pandangan masih ke arah depan. "Ken! Lihat! Itu mobil si berengsek!" kata Nora. Kenzo melihat mobil yang ditunjuk oleh istrinya itu. Ia mengangguk paham karena dirinya juga mengetahui berapa nomor plat mobil milik mantan kekasih istrinya ini. "Mau kemana mereka ya?" tanya Nora. Setelah ia mengamati, tidak hanya Gian seorang yang berada dalam mobil itu. Melainkan ada adiknya juga di sana. Kenzo tak menjawab. Pandangannya justru melirik spion tengah guna melihat mobil yang di tumpangi kedua orang
Orang-orang semakin menatapnya khawatir. Nora menghentikan tawanya dan menatap mereka satu persatu. "Aku tak seperti yang kalian pikirkan, tenang saja, jauh sebelum kalian melihat apa yang mereka berdua lakukan, aku sudah melihatnya dengan kedua mataku sendiri," Nora menyeringai. Fatiya dan Zafran mengernyitkan keningnya. "Melihatnya? Kapan? Dimana?" tanya Fatiya. Nora menatap sang Bunda dengan lembut. "Di suatu tempat yang hina," jawabnya. Memang semenjak dirinya di masa lalu memergoki mereka berdua tengah memadu kasih, ia langsung menyebut rumah yang ia tinggali itu adalah sebuah tempat hina. Dimana hal-hal kotor terjadi di sana. Fatiya tak bertanya lebih lanjut. Sisi lain hatinya sudah lega di saat melihat putri pertamanya yang terlihat baik-baik saja akan pengkhianatan yang di lakukan adik kandungnya. "Bunda tenang saja, aku sudah punya Ken, hehe," Nora tersenyum memperlihatkan giginya. Ia tersenyum gemas pada Kenzo dan mengacak-acak rambut tebal milik suaminya itu. Di saat