Share

Chapter 3 : KARYSAN PAWITRA

Author: Embunayu
last update Last Updated: 2024-11-15 19:25:06

Tubuh baru yang dia miliki membuat Karna bisa bergerak kesana-kemari dengan tenaga yang luar biasa melimpah. 

Saat hendak beranjak pergi, tiba-tiba saja sebuah bola terang yang melayang mendekat dan menarik perhatian Karna. Sebelum Karna bisa menyentuhnya, bola cahaya itu tiba-tiba membesar dan menelan tubuhnya seutuhnya. 

Saat Karna membuka mata dia sudah berada di tempat lain, tempatnya di sebuah tanah lapang yang dikelilingi bukit yang indah dan hijau.

“Dimana ini?” Karna bertanya-tanya. 

Sebab, hutan terlarang yang ia tinggali tadi jelas gelap gulita, karena hari masih tengah malam.

“Akhirnya kita bertemu, Pangeran Karna!” 

Suara dari belakang punggung Karna membuat pria itu menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang kakek tua dengan jenggot panjang. Kakek itu berwajah tegas, mengenakan surjan hijau, dan blangkon hitam. 

Karna menaikkan alis dan berkata pelan, “Kakek siapa? Apa maksud kakek?”

Pertanyaan Karna membuat Kakek itu tersenyum tipis dan melangkah membelakanginya. 

”Pertemuan kita hari ini sudah kutunggu sejak ratusan tahun lamanya, Pangeran. Akhirnya, setelah sekian lama, datang juga kesempatanku untuk melatihmu dalam mempelajari seni perang.” ujar si kakek tua sembari menepuk pundak Karna. 

“Tunggu dulu. Aku masih belum mengerti, Kek. Sebenarnya, kakek ini siapa? Lalu, kenapa aku bisa berada di sini?”

Kakek itu tertawa pelan, “Aku adalah leluhurmu, Pangeran Karna. Aku sudah lama menunggu kamu, sebagai keturunan terpilih yang akan mewarisi Pedang Api.”

Karna terheran, “Pedang Api?”

“Ya. Pedang itu legendaris dan butuh kekuatan yang mumpuni untuk hanya sekedar mengangkatnya. Saat ini, pedang itu tertancap di bagian tengah kerajaanmu.”

Ucapan kakek itu membuat Karna teringat akan sebuah pedang yang memang tertancap di bagian tengah kerajaan. Tepatnya, di dekat arena latihan bela diri prajurit.

Pedang itu diselimuti api abadi dan konon bisa menyebabkan orang yang memegangnya akan terbakar. Dan siapapun yang tersayat pedang itu akan kehabisan darah. 

Setelah berbincang singkat, Karna mengetahui bahwa kakek itu bernama Ki Karysan Pawitra, leluhurnya dari 10 generasi lalu. 

Cara bicaranya bijak, tapi tegas dan perfeksionis.

Oleh karena itu, belum sempat Karna mencari tahu lebih banyak tentang Ki Pawitra, kakek itu telah lebih dulu menyuruhnya untuk berdiri dan mulai latihan.

Hari itu juga, perjalanan Karna dimulai dari  pelatihan fisik dan beladiri.

Melalui kekuatan yang kakek tua itu miliki, dia mengubah tanah lapang yang dikelilingi bukit menjadi pesisir pantai dan menyuruh Karna untuk berlari membelah perairan dangkal.

Setelah itu, dia menyuruh Karna untuk berlari naik-turun bukit sembari membawa sebuah gelondong kayu di punggung, melakukan gerakan menahan kuda-kuda berjam-jam, dan melatih kelenturan tangan dan kakinya dengan melakukan split.

Karna berhasil melewati semua latihan itu dengan baik, karena dia telah berkali-kali lipat lebih keras, menempa fisiknya dibandingkan anak-anak lain di Kerajaan.

Hasil latihan yang baik membuat Ki Pawitra mengangguk-ngangguk dan merasa cukup. Oleh karena itu, sebelum masuk ke dalam sesi selanjutnya, dia memberikan Karna segelas air putih yang memiliki energi kuning keemasan di sekitarnya.

“Minumlah. Pulihkan tubuhmu. Setelah ini, kita akan belajar ilmu tenaga dalam dan pedang”.

Mendengar itu, Karna langsung menatap penuh semangat ke arah Ki Pawitra, tapi pria tua itu sudah mengubah air mukanya menjadi datar. 

Sebab, pembelajaran ilmu tenaga dalam dan pedang memiliki hakikat pemahaman yang jauh berbeda dengan pembelajaran fisik. Jelas ini adalah kelemahan Karna, mengingat dia tak pernah sama sekali mempelajari keduanya.

Mereka pun kembali berpindah dari pantai menuju ke atas bukit. Di atas bukit itu, ada sebuah batu besar yang atasnya cekung.

Sembari menggunakan ilmu peringan tubuh yang dia punya, Ki Pawitra melayang duduk bersila di atas batu itu, sementara Karna berdiri di depannya.

"Tenaga dalam bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan mata, Karna," Ki Pawitra berkata sebagai pembuka. 

"Ia adalah aliran energi yang berasal dari inti jiwamu, sesuatu yang harus kau pahami, kendalikan, dan salurkan dengan keselarasan pikiran serta tubuhmu." lanjutnya pelan.

"Bagaimana aku bisa mulai memahami tenaga dalam ini, Ki?"

Ki Pawitra menunjuk ke dadanya sendiri. "Pertama-tama, rasakan. Duduklah bersila, pejamkan matamu, dan fokuskan seluruh pikiranmu ke dalam dirimu. Dengarkan aliran napasmu, rasakan setiap denyut nadimu. Itu adalah gerbang pertama untuk memahami tenaga dalammu."

Karna mengikuti perintah itu. 

Ia duduk bersila di atas rumput, memejamkan matanya, dan berusaha memusatkan pikirannya. 

"Bayangkan energi itu seperti air yang mengalir di sungai. Jangan kau paksa alirannya. Biarkan ia mengalir secara alami, tapi tetaplah sadar akan ke mana ia mengalir. Jika kau terlalu tegang, sungai itu akan keruh. Jika kau terlalu santai, airnya takkan mengalir dengan kuat."

Perlahan-lahan, Karna mulai merasakan sesuatu. Sebuah kehangatan yang aneh tapi menenangkan muncul dari dalam dadanya, seperti api kecil yang baru saja menyala. 

"Bagus," ujar Ki Pawitra, senyumnya tipis. 

"Sekarang, kau harus belajar untuk mengendalikannya. Fokuskan energi itu ke tanganmu, lalu salurkan ke telapak tanganmu. Jangan buru-buru. Rasakan bagaimana energi itu bergerak. Kau adalah tuannya, bukan budaknya."

Karna mencoba. 

Ia mengarahkan pikirannya ke kehangatan itu, membayangkan energi itu berpindah ke lengannya. 

Awalnya sulit, seperti menarik air dari sumur yang sangat dalam. Tapi setelah beberapa saat, ia mulai merasakan sesuatu yang mengalir di sepanjang lengannya, hingga akhirnya tiba di telapak tangannya.

"Jangan puas dulu," ujar Ki Pawitra dengan tegas. "Tenaga dalam bukan sekadar soal memindahkan energi. Kau harus bisa mengeluarkannya dengan tepat dan terarah. Bayangkan energi itu seperti anak panah yang harus kau lepaskan dengan kecepatan dan ketepatan."

Ki Pawitra berdiri dan menghampiri Karna. Ia mengambil sebuah daun kecil dari pohon di dekat mereka, lalu meletakkannya di atas batu. 

"Coba arahkan energimu ke daun ini. Jangan kau bayangkan menghancurkannya, tapi pikirkan bagaimana energi itu bisa menyentuh dan mempengaruhinya."

Karna membuka matanya dan mulai menatap daun itu dengan penuh konsentrasi. 

Ia mengangkat tangannya, merasakan energi yang mengalir di telapaknya. Dengan napas yang stabil, ia mendorong energinya keluar. 

Awalnya, tidak ada yang terjadi. Namun, setelah beberapa kali mencoba, angin tipis yang membawa jejak energinya berhasil menggoyangkan daun itu, meski hanya sedikit.

Ki Pawitra mengangguk puas. "Itu baru langkah awal, Karna. Ingat, latihan tenaga dalam membutuhkan kesabaran, pengendalian, dan pemahaman mendalam. Hari ini kau telah memulai perjalananmu, tapi perjalanan ini masih panjang."

**

Sebulan telah berlalu sejak Karna memulai latihannya bersama Ki Pawitra. Karna yang awalnya hanyalah pemuda tak berguna tanpa tenaga dalam kini telah menjelma menjadi pemuda matang dengan tatapan menusuk.

Dalam sebulan, tingkat ilmu tenaga dalamnya sudah berkembang menjadi menengah dan Karna pun sudah bisa membelah batu dengan tangan kosong. Progress yang ada membuat Ki Pawitra mengangguk puas.

Oleh karenanya, setelah selesai latihan pagi itu, saat mereka duduk di bawah pohon rindang untuk beristirahat, Ki Pawitra mendekati Karna dan menyerahkan sebuah kertas yang digulung rapat.

Saat dibuka, hanya satu hal yang menarik perhatian Karna,

"Sayembara Pengangkatan Pedang Api."

Ki Pawitra memandang Karna dengan tajam. "Ikutilah sayembara ini, Karna. Jemput takdirmu, jemput pedang itu. Namun, ingat. Ini lebih dari sekadar sayembara. Ini adalah ujian bagi hatimu. Jika kau ingin melangkah ke sana, kau harus ingat satu hal—dendam adalah beban, bukan kekuatan."

Karna mengepalkan tangannya dan mengangguk. "Aku mengerti, Ki. Aku tidak akan balas dendam, karena aku hanya ingin membuktikan bahwa aku pantas mendapatkan tempatku kembali”.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    Chapter 62 : BAYI YANG LAHIR DARI KETAKUTAN

    Karna terdorong mundur. Nafasnya berat. Tubuhnya seolah membeku saat serangan Sindu menghantam tepat di atas dadanya.Tapi luka itu bukan sekadar fisik. Ada sesuatu yang terbangun—sebuah rasa yang selama ini ia pendam tanpa nama.Dunia di sekitarnya memudar. Suara gemuruh pertarungan menghilang.Lalu... muncullah sekelebat cahaya. Hangat, tapi juga menyakitkan. Karna mencoba menahan pelipisnya, kini sebuah ingatan yang bukan miliknya,perlahan terbuka.---Dua puluh tahun lalu.Langit pagi yang menyala redup.Di dalam kamar kerajaan yang luas tapi sepi,Ratu Maharani duduk sendirian di tepi ranjang.Tangannya menyentuh perutnya yang baru mulai membesar.Ia seharusnya bahagia.Ia mengandung anak pertamanya. Anak dari seorang raja.Tapi entah mengapa, sejak hari itu… hatinya gelisah.Sudah tiga malam ia bermimpi.Mimpi yang terasa begitu nyata, sampai ia tak bisa membedakannya dari kenyataan.Dalam mimpi itu, ada seorang lelaki—tinggi, tak bisa dilihat wajahnya dengan jelas. Tapi tatapa

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    CHAPTER 61 : SEGEL TERAKHIR

    Sindu—pria bertopeng yang menyimpan dendam membara terhadap garis keturunan Karmapura—mengangkat satu tangannya, dan seketika para anggota Bayang Niraka mengepung dari segala arah. Matanya yang tersembunyi di balik topeng memantulkan hawa haus kekuasaan. Ia bukan hanya dalang dari kehancuran masa lalu, tapi juga pengatur napas kekacauan saat ini.Tanpa aba-aba, serangan pertama datang dari arah kiri. Karna menebas cepat dengan pedang apinya, membelah serangan sembari bergerak memutar, melindungi Rushali di belakangnya. Kilatan cahaya dari senjatanya menyapu udara, menciptakan percikan api yang menyilaukan. Nafasnya berat, tapi fokusnya tak tergoyahkan.“Beraninya kau memaksakan pilihan padaku!” bentak Karna sambil menangkis serangan berikutnya. Trang !Trang !“Rushali bukan pusat dari semua ini! Langkahi aku dulu, kalau kau berani!” Tangan Karna mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih, dan satu sabetan telak menghempas musuh ke tanah.Sindu melangkah pelan, tenang namun men

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    BAB 60 : PANGGILAN DARAH

    Dua tahun berlalu dalam bayang-bayang penyamaran, Karna akhirnya berhadapan langsung dengan sosok yang menjadi kunci utama dalam pencarian artefak-artefak itu.Dari balik topengnya, sang pemimpin sekte mencium keberadaan Karna dan Rushali.“Haha... haha…!” Tawanya menggema, mencoba menebar ketakutan.“Bodoh! Kalian pikir hanya karena kalian bersembunyi aku tak bisa merasakannya?”Rushali menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Namun ia sedikit lega.“Dia belum benar-benar melihat kita… syukurlah…” bisiknya nyaris tak terdengar.Pedang Karna bergetar, genggamannya semakin erat.“Arahkan aku pada bola itu, biar aku membantumu mengambilnya,” bisik suara dari senjata itu, menggema dalam benaknya.Seketika, Karna membeku. Ia memusatkan fokus, mengumpulkan energi di tengah gelapnya goa yang berbau belerang, dipenuhi stalaktit yang menggantung tajam di langit-langit.Perlahan, ia mengangkat pedangnya. Energi biru, samar seperti asap, mengalir dari bilah pedang, menyusup di antara udara

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    BAB 59 : ILMU SUKMAVIBHAGA

    Gertakan kasar menggema dari mulut goa.“Serahkan diri kalian sekarang, atau kalian mau mati!”Karna tidak langsung bergerak, dibalik wajahnya yang tegang, Karna menarik nafas—mencoba tenang. Di balik ancaman itu, ia mendengar sesuatu yang lain—suara yang datang bukan dari lawan, sepertinya hanya dirinya yang bisa mendengarkan itu."Pastikan rencana berhasil. Nyawa Karna harus melayang!” bisik suara itu.Suara itu dingin, nyaris seperti bisikan dari tulang belulang. Tapi jelas… itu bukan halusinasi. Tak lama kemudian pedang agungnya berpendar, berbisik kepadanya.“Pangeran, inilah saatnya menggunakan Ilmu Sukmavibhaga!Karna mengerjap. Sebenarnya dirinya masih ragu, ilmu yang belum ada sehari dia kuasai bersama Rushali. “Haruskah sekarang?” tanya Karna didalam benaknya.“Ini bukan saatnya untuk ragu Pangeran! Percayalah bahwa ini saatnya menguji ilmu yang kau pelajari semalaman!”Pandangannya menembus keluar goa, Karna memejamkan mata, tak terasa tangannya pun mengepal. Bagaikan kek

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    Chapter 58 : PENYATUAN JIWA : KEKUATAN BARU

    Saat energi mereka mulai menyatu, Karna merasakan sesuatu yang belum pernah ia kenal sebelumnya mengalir dalam dirinya. Pandangannya tak lagi sekadar melihat; ia menangkap getaran, niat tersembunyi, bahkan suara hati seseorang yang biasanya terbungkus rapat dalam diam. Ketika menatap Rushali, dunia di sekitarnya seolah berpendar—dan sebelum bibir gadis itu bergerak, ia telah mendengar bisikannya. "Kau bisa mendengar ku?" tanyanya pelan. Karna mengangguk. "Bukan hanya suaramu… tapi hatimu juga." Rushali terkejut, tetapi tubuhnya sendiri kini terasa berbeda. Ia mengangkat tangannya dan melihat bayangan yang seharusnya ada di tanah, seketika lenyap dalam kehendaknya. Seberkas cahaya yang merembes masuk ke dalam gua pun berpendar di telapak tangannya, seolah tunduk padanya. "Aku… bisa mengendalikan ini?" bisiknya tak percaya. Ia melangkah maju dan seketika tubuhnya seakan melebur dalam kegelapan, menghilang dari pandangan Karna. Sekejap kemudian, ia muncul kembali di sisi lain, s

  • Perjalanan Jati Diri Pendekar Pedang Api    Chapter 57 : PELARIAN SEMENTARA

    Sebelum Karna bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah cahaya biru samar mulai muncul di sekitar tubuh Rushali. Tangannya memancarkan aura hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar hebat. Batu-batu yang sebelumnya menghalangi jalan keluar tiba-tiba melayang perlahan, seolah-olah gravitasi kehilangan kuasanya. Serpihan-serpihan kecil berputar lembut di udara, mengelilingi Rushali seperti tarian cahaya. “Apa... ini?” bisik Rushali, suaranya bergetar. Mata Karna membelalak. “Kau... kau membangkitkan kekuatanmu?” Namun, Rushali tidak menjawab. Pikirannya terasa kosong, hanya dipenuhi oleh hasrat melindungi Karna. Dengan gerakan refleks, dirinya mengangkat tangan. Saat itu juga, batu-batu besar terangkat tinggi dan menghantam dinding dengan keras, membuka jalur keluar yang sebelumnya tertutup. Rushali terengah-engah. Tubuhnya terasa ringan, seakan kekuatan itu mengalir bebas dalam dirinya. Tapi, bersamaan dengan itu, rasa takut perlahan menyusup. “Aku... Aku tidak tahu apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status