Masih dengan jubah yang menutupi kepalanya, Karna dengan percaya diri berada di depan gerbang timur Istana Karmapura.
Suasana di sekitar istana terlihat ramai dan pengamanannya benar-benar ketat. Pengawal dan prajurit terlihat di mana-mana. Jika biasanya mereka berpatroli dalam formasi dua orang, kini semua regu minimal memiliki empat orang. Melihat itu, Karna mengangguk-angguk dan terus menggenggam erat jubah yang ia pakai. Sebab, dia tidak ingin ketahuan sebelum bisa mendekati gerbang istana. Setelah berjalan beberapa langkah, Karna melihat sosok pamannya, Adipati Situmba yang berdiri di dekat gerbang. Dengan matanya yang tajam, pria itu mengamati setiap orang yang masuk dengan seksama. Tampaknya, Raja Durwasa memberi pamannya itu tugas untuk memastikan keamanan di bagian terluar istana. Wajah Adipati itu terus datar dan beberapa kali terlihat galak, apalagi saat beberapa orang ketahuan membawa berbagai senjata yang tak berhubungan dengan sayembara. Raut wajah pria itu kembali datar saat Karna berdiri di hadapannya. Dengan tegas dia menyuruh Karna untuk melepas jubah yang menyelimuti kepalanya. Saat Karna melakukannya, wajah Adipati Situmba langsung berubah penuh keterkejutan. “Karna! Apa yang kau lakukan disini?” “Aku ke sini untuk mengikuti sayembara itu, Paman.” tegas Karna membuat Paman Situmba mengernyitkan dahi. “Heh. Mengikuti sayembara? Apa mau mempermalukan diri sendiri?” Geli dan hasrat menghina masih tidak bisa tertahankan mendengar bahwa Karna ingin mengikuti sayembara. “Prajurit, seret dia menjauh dari barisan!!” Adipati Situmba berteriak kencang dan mengayunkan lengan. Melihat itu, dua prajurit yang awalnya berdiri di sekitar Adipati Situmba mulai bergerak cepat memegangi lengan kanan dan kiri Karna. Namun, baru sempat mereka menyentuh pundak Karna, keduanya telah lebih dulu jatuh ke tanah akibat sayatan pedang yang tiba-tiba menyasar mereka. Selanjutnya, mata elang yang tajam dan fokus dari Karna mampu memprediksi setiap serangan dari segala sisi, sehingga empat orang prajurit yang ikut turut berjatuhan dengan lengan tersayat. Melihat itu, Paman Situmba terkejut akan kekuatan keponakannya yang dikenal sebagai ‘manusia sampah’. Apalagi saat dirinya samar-samar merasakan tenaga dalam yang dimiliki Karna. ‘Bagaimana mungkin sekarang dia punya tenaga dalam?!’” Kemudian sang Paman menghunuskan pedangnya dan berkacak pinggang. “Sudah punya tenaga dalam rupanya, Karna? Lebih baik kamu menyerah saja. Sebab, meski kamu sudah punya tenaga dalam, tapi kekuatanmu masih terlalu kecil untuk bisa mengangkat Pedang Api!” Adipati Situmba masih saja ingin mengendurkan tekad Karna. “Apa hakmu dapat memerintahku?” “Jangan mendebatku!! Kau sudah diharamkan untuk menginjakkan kakimu di kerajaan ini, walau selangkah saja!” ujar Adipati Situmba yang terus berusaha menjegalnya. Tanpa menghiraukan ocehan pamannya itu, Karna tetap melangkah dengan percaya diri menuju gerbang utama. Melihat itu, Adipati Situmba menggertakkan giginya dengan kesal dan hendak mengejar Karna. Namun, saat baru saja dia hendak melangkah, sosok Karna telah lebih dulu menghilang dari lokasi. Debu-debu berterbangan mengiringi kepergian Karna tanpa jejak. “Sial! Kemana perginya dia?! Bisa gawat kalau dia masuk dan kembali ke Kerajaan ini. Itu pasti akan sangat mengancam takhta yang seharusnya menjadi milik Sisupala!!” Pertarungan antara mereka berdua membuat Paman Situmba geram. Baru menampakkan diri saja, bisa membuat Sang Paman terancam. Di sisi lain, Raja Durwasa yang sedang bersiap untuk memimpin dimulainya acara besar terganggu dengan datangnya seorang prajurit dengan terengah-engah. “Salam Raja, di gerbang timur terjadi keributan. Sebab, Pangeran Karna berusaha memasuki istana. Saat bertarung, dia berhasil mengecoh Adipati Situmba dan mengalahkan semua pengawal.” “Apa?? Dia bisa mengecoh Situmba dan mengalahkan pengawalku? Untuk apa dia kembali ke istana?” tanya Raja Durwasa. “Benar, Tuanku Raja! Dia berkata akan mengikuti sayembara hari ini.” kata pengawal itu “Pergi dan amankan segala tempat. Jangan sampai Karna kembali dan memasuki stadium ini. Mengerti?!” Perkataan dari Raja membuat pengawal itu menunduk hormat dan langsung membuat pengamanan ganda untuk pintu-pintu masuk. Raja Durwasa yang mendengar aduan dari Pengawal mulai gelisah dan menerka-nerka tujuan Karna kembali. “Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk apa anak itu kembali? Jangan-jangan, ramalan itu benar.”Karna terdorong mundur. Nafasnya berat. Tubuhnya seolah membeku saat serangan Sindu menghantam tepat di atas dadanya.Tapi luka itu bukan sekadar fisik. Ada sesuatu yang terbangun—sebuah rasa yang selama ini ia pendam tanpa nama.Dunia di sekitarnya memudar. Suara gemuruh pertarungan menghilang.Lalu... muncullah sekelebat cahaya. Hangat, tapi juga menyakitkan. Karna mencoba menahan pelipisnya, kini sebuah ingatan yang bukan miliknya,perlahan terbuka.---Dua puluh tahun lalu.Langit pagi yang menyala redup.Di dalam kamar kerajaan yang luas tapi sepi,Ratu Maharani duduk sendirian di tepi ranjang.Tangannya menyentuh perutnya yang baru mulai membesar.Ia seharusnya bahagia.Ia mengandung anak pertamanya. Anak dari seorang raja.Tapi entah mengapa, sejak hari itu… hatinya gelisah.Sudah tiga malam ia bermimpi.Mimpi yang terasa begitu nyata, sampai ia tak bisa membedakannya dari kenyataan.Dalam mimpi itu, ada seorang lelaki—tinggi, tak bisa dilihat wajahnya dengan jelas. Tapi tatapa
Sindu—pria bertopeng yang menyimpan dendam membara terhadap garis keturunan Karmapura—mengangkat satu tangannya, dan seketika para anggota Bayang Niraka mengepung dari segala arah. Matanya yang tersembunyi di balik topeng memantulkan hawa haus kekuasaan. Ia bukan hanya dalang dari kehancuran masa lalu, tapi juga pengatur napas kekacauan saat ini.Tanpa aba-aba, serangan pertama datang dari arah kiri. Karna menebas cepat dengan pedang apinya, membelah serangan sembari bergerak memutar, melindungi Rushali di belakangnya. Kilatan cahaya dari senjatanya menyapu udara, menciptakan percikan api yang menyilaukan. Nafasnya berat, tapi fokusnya tak tergoyahkan.“Beraninya kau memaksakan pilihan padaku!” bentak Karna sambil menangkis serangan berikutnya. Trang !Trang !“Rushali bukan pusat dari semua ini! Langkahi aku dulu, kalau kau berani!” Tangan Karna mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih, dan satu sabetan telak menghempas musuh ke tanah.Sindu melangkah pelan, tenang namun men
Dua tahun berlalu dalam bayang-bayang penyamaran, Karna akhirnya berhadapan langsung dengan sosok yang menjadi kunci utama dalam pencarian artefak-artefak itu.Dari balik topengnya, sang pemimpin sekte mencium keberadaan Karna dan Rushali.“Haha... haha…!” Tawanya menggema, mencoba menebar ketakutan.“Bodoh! Kalian pikir hanya karena kalian bersembunyi aku tak bisa merasakannya?”Rushali menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Namun ia sedikit lega.“Dia belum benar-benar melihat kita… syukurlah…” bisiknya nyaris tak terdengar.Pedang Karna bergetar, genggamannya semakin erat.“Arahkan aku pada bola itu, biar aku membantumu mengambilnya,” bisik suara dari senjata itu, menggema dalam benaknya.Seketika, Karna membeku. Ia memusatkan fokus, mengumpulkan energi di tengah gelapnya goa yang berbau belerang, dipenuhi stalaktit yang menggantung tajam di langit-langit.Perlahan, ia mengangkat pedangnya. Energi biru, samar seperti asap, mengalir dari bilah pedang, menyusup di antara udara
Gertakan kasar menggema dari mulut goa.“Serahkan diri kalian sekarang, atau kalian mau mati!”Karna tidak langsung bergerak, dibalik wajahnya yang tegang, Karna menarik nafas—mencoba tenang. Di balik ancaman itu, ia mendengar sesuatu yang lain—suara yang datang bukan dari lawan, sepertinya hanya dirinya yang bisa mendengarkan itu."Pastikan rencana berhasil. Nyawa Karna harus melayang!” bisik suara itu.Suara itu dingin, nyaris seperti bisikan dari tulang belulang. Tapi jelas… itu bukan halusinasi. Tak lama kemudian pedang agungnya berpendar, berbisik kepadanya.“Pangeran, inilah saatnya menggunakan Ilmu Sukmavibhaga!Karna mengerjap. Sebenarnya dirinya masih ragu, ilmu yang belum ada sehari dia kuasai bersama Rushali. “Haruskah sekarang?” tanya Karna didalam benaknya.“Ini bukan saatnya untuk ragu Pangeran! Percayalah bahwa ini saatnya menguji ilmu yang kau pelajari semalaman!”Pandangannya menembus keluar goa, Karna memejamkan mata, tak terasa tangannya pun mengepal. Bagaikan kek
Saat energi mereka mulai menyatu, Karna merasakan sesuatu yang belum pernah ia kenal sebelumnya mengalir dalam dirinya. Pandangannya tak lagi sekadar melihat; ia menangkap getaran, niat tersembunyi, bahkan suara hati seseorang yang biasanya terbungkus rapat dalam diam. Ketika menatap Rushali, dunia di sekitarnya seolah berpendar—dan sebelum bibir gadis itu bergerak, ia telah mendengar bisikannya. "Kau bisa mendengar ku?" tanyanya pelan. Karna mengangguk. "Bukan hanya suaramu… tapi hatimu juga." Rushali terkejut, tetapi tubuhnya sendiri kini terasa berbeda. Ia mengangkat tangannya dan melihat bayangan yang seharusnya ada di tanah, seketika lenyap dalam kehendaknya. Seberkas cahaya yang merembes masuk ke dalam gua pun berpendar di telapak tangannya, seolah tunduk padanya. "Aku… bisa mengendalikan ini?" bisiknya tak percaya. Ia melangkah maju dan seketika tubuhnya seakan melebur dalam kegelapan, menghilang dari pandangan Karna. Sekejap kemudian, ia muncul kembali di sisi lain, s
Sebelum Karna bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah cahaya biru samar mulai muncul di sekitar tubuh Rushali. Tangannya memancarkan aura hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar hebat. Batu-batu yang sebelumnya menghalangi jalan keluar tiba-tiba melayang perlahan, seolah-olah gravitasi kehilangan kuasanya. Serpihan-serpihan kecil berputar lembut di udara, mengelilingi Rushali seperti tarian cahaya. “Apa... ini?” bisik Rushali, suaranya bergetar. Mata Karna membelalak. “Kau... kau membangkitkan kekuatanmu?” Namun, Rushali tidak menjawab. Pikirannya terasa kosong, hanya dipenuhi oleh hasrat melindungi Karna. Dengan gerakan refleks, dirinya mengangkat tangan. Saat itu juga, batu-batu besar terangkat tinggi dan menghantam dinding dengan keras, membuka jalur keluar yang sebelumnya tertutup. Rushali terengah-engah. Tubuhnya terasa ringan, seakan kekuatan itu mengalir bebas dalam dirinya. Tapi, bersamaan dengan itu, rasa takut perlahan menyusup. “Aku... Aku tidak tahu apa