Share

3 - Buku Tua

Jeanne menggiring sepedanya menyusuri jalan yang padat kendaraan dan ramai oleh jejeran toko. Jalan ini adalah jalan yang biasa dilaluinya ketika hendak atau pulang dari sekolah. Jika dari rumahnya, Jeanne hanya perlu pergi keluar desa dan menyusuri jalan raya lenggang yang membelah ladang padi hingga tiba di jalan dengan kontruksi yang lebih maju: banyak gedung berlantai dua atau tiga disana, pertokoan, penjual macam-macam barang, penyedia jasa antar, dan di pertigaan itulah pusatnya: ada stasiun kereta di jalan ke arah kanan.

Seperti yang dijanjikan Nino, sepeda Jeanne dengan aman ditemuinya di parkiran sekolah pagi-pagi dengan keadaan yang lebih baik. Gadis itu berucap terimakasih pada Nino yang hari ini mau menjemputnya dan sebab dia sudah membantu memperbaiki sepeda itu. "Ucapkan terimakasihku untuk temanmu itu, ya," pesan Jeanne. 

Itulah mengapa sepulang sekolah ini dirinya sudah kembali menendarai sepeda seorang diri. Daerah ini belum terlalu ramai. Biasanya puncak keramaian dimulai pukul lima ketika orang-orang bergegas pulang usai bekerja. Jeanne menepikan sepedanya di depan salah satu toko penjual makanan. Dia berusaha membaca situasi. Hanya ada dua pelanggan yang sedang makan disana—dari penglihatannya di kaca besar toko tersebut. Lantas Jeanne mendekat. Dia berdiri di depan pintu kaca toko itu. Berupaya membaca selembaran kertas yang tertempel disana.

Dibutuhkan seorang waiters

Begitulah bunyi tulisan berfont tebal di kertas itu. Mata Jeanne seketika berbinar. Ini kesempatan baginya. Toko penjual aneka masakan mie tidaklah buruk untuk menjadi tempat kerja pertamanya. Apakah sebaiknya ia langsung masuk menyatakan kesediannya akan pekerjaan itu atau haruskah ia mengurusi berkas-berkas yang dimilikinya sementara ini baru kembali lagi? "Mungkin akan lebih baik jika datang dengan berkas yang lengkap. Rasanya tergesa sekali jika aku lantas meminang pekerjaan itu begitu saja," suara hati Jeanne menimbang suatu hal yang memang terbilang baru baginya.

Maka kata hati itu menghendakinya balik kanan hingga ia secara terkejut menemukan seseorang. Lelaki bertubuh tinggi. Sejak tadi berada di belakangnya. "Ya Tuhan," pekik gadis itu. 

Jeanne terkejut sambil merasa bersalah karena menghalangi jalannya orang itu. Dia menunduk lantas mengambil langkah ke samping untuk pergi. Tetapi lelaki jangkung itu justru menutup jalannya. Jeanne terdiam dan akhirnya mengangkat wajah. Apa mau orang itu? 

Astaga! Orang itu guru sejarahnya. Jeanne berusaha melemaskan otot keningnya dari berekspresi tak suka seperti sebelumnya. Dia tersenyum getir lantas menyapa, "Oh, sedang apa bapak disini?"

Finn kini justru menatapnya dengan mata sedikit menyipit. Terkesan mengintimidasi. Sudah jelas dia akan makan di toko itu. Memangnya siapa lagi selain Jeanne yang datang untuk melihat apakah ada lowongan pekerjaan atau tidak. Ah, tentu saja Finn datang untuk makan.

"Apa yang kau lakukan? Sepertinya bukan untuk makan," tutur pria itu tanpa basa-basi. 

Jeanne menggigit bagian dalam pipinya. Dia tak harus jujur pada lelaki itu kan? "Tidak ada, Pak."

Finn menatapnya beberapa detik. Jawaban yang tidak memuaskan untuknya. Akhirnya dia menarik tatapan itu dan sebagai gantinya dia maju dua langkah ke tempat gadis itu berada. Jeanne cepat-cepat menepi ke samping. Apa-apaan sikap pria itu?

Finn ternyata berupaya membaca tulisan  di kertas itu. Dia menghela napas. Kemudian menatap Jeanne kembali dan berpesan, "Tunggu aku."

Lelaki itu masuk ke dalam. Dia meninggalkan Jeanne yang segera didera pertanyaan seorang diri. Apa yang akan gurunya itu lakukan? Gadis itu dengan hati-hati menatap ke dalam toko. Dia tak dapat mendengar apapun. Tetapi yang ia tahu saat ini adalah Finn sedang mengobrol dengan salah seorang di meja kasir. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa seorang pekerja disana. Pekerja itu berucap permisi lantas merobek kertas yang tertempel di pintu dan segera beranjak masuk kembali. Tinggallah Jeanne dan gurunya disana. Jeanne memasang raut bertanya. 

"Lowongan pekerjaan itu sudah terisi," ujar Finn. 

Astaga, Jeanne tidak menyangka. Dia menelan ludah dan bertanya, "Kau menanyakan hal itu?"

Finn tidak mengindahkan tatapan Jeanne dan menatap saja ke jalan tempat mobil berlalu lalang. "Ya. Aku juga menegur mereka karena lalai terhadap kertas itu."

"Terimakasih." Tanpa sadar Jeanne meremas roknya. Sungguh harapan itu pupus secepat kilat. Ah, gadis itu menyesali sikap cerobohnya dan betapa dia mudah mencipta harap. 

"Kau mungkin akan mempersiapkan berkas-berkas dan kembali lagi kesini esok. Betul?"

Jeanne mengangguk pelan.

"Lebih cermatlah jika sungguh ingin memasuki dunia kerja!"

"Ya, Pak. Terimakasih."

Finn menatapnya beberapa saat. Dia berujar permisi lantas pergi. Sekarang Jeanne termenung di tempatnya. "Kukira dia datang untuk makan."

Ketika mata Jeanne menyusuri tepian jalan, benar saja, mobil lelaki itu terparkir tak jauh dari tempatnya berada dan sekarang beranjak pergi. Hal ini membuat Jeanne semakin bingung. Pertama, bagaimana lelaki itu bisa menemukannya disini? Kedua, apabila itu kebetulan—maka apa motif Finn hingga ia berada disini? Ketiga, apabila dia betul-betul mengikuti Jeanne (yang mana hal ini sedikit konyol dan gila), maka untuk apa?

Ah, Jeanne mengusap keningnya. Dia segera membenahi ikatan di rambutnya dan menguncirnya tinggi-tinggi. Peluang bagus itu memang aneh jika didapat pada usaha pertama. Maka tengah hari ini Jeanne betul-betul masih harus mencari pekerjaan. Gadis itupun kembali menyusuri jalan dengan menggiring sepedanya.

***

Pak Tomi berusaha mengangkat meja di teras tokonya seorang diri. Kursi dan meja itu dimasukan ke dalam toko karena Pak Tomi takut jika malam nanti turun hujan. Hal yang membuat kursi dan mejanya berkarat suatu saat. Kaca jendela tokonya sudah rapat tertutup gorden dan gelap. Dia selesai mengunci pintu toko dan mendapati seorang gadis yang tak biasanya lewat di hari yang mulai gelap. 

"Tumben baru pulang, Jean," sapa lelaki tambun itu. 

Jeanne menarik rem sepedanya. Dia menggoes dengan sangat pelan sejak tadi. Maka dia memundurkan kendaraannya dan dengan lesu menghampiri pak Tomi. 

"Hai, Pak. Sepulang sekolah tadi aku berkeliling mencari pekerjaan part time."

Tangan pak Tomi bertolak pinggang. "Pekerjaan untuk siapa? Untukmu?"

Jeanne mengangguk. 

"Dimana kau mencari pekerjaan?"

"Di jalan dekat stasiun, Pak."

Pak Tomi menggaruk kepalanya. Memikirkan sesuatu. "Jadi kau benar-benar tinggal berdua dengan kakakmu, ya?" gumamnya dengan suara pelan. 

"Baiklah, Jean. Akan kutanyakan lowongan pekerjaan saat aku pergi mengambil buku ke produsenku nanti."

Jeanne menarik bibir. "Terimakasih."

"Pulanglah. Segera istirahat."

Gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. Bahwa ia akan menanyakan beberapa hal pada pak Tomi jika mereka bertemu. "Oh ya, Pak. Aku ingin bertanya. Apakah nenek pemilik rumahku sebelumnya senang membaca buku? Apa ia sering berkunjung ke tokomu?"

Pak Tomi terdiam. Yang bisa dibaca oleh Jeanne saat itu adalah air wajah pak Tomi yang mendadak bertaut kedua alisnya. Menyiratkan jika pertanyaan Jeanne tidak lazim baginya. "Mengapa menanyakan itu?"

"Aku menemukan sebuah buku tua dan tebal di kamarku. Kupikir ketika barang-barang nenek itu dipindahkan, buku tersebut tidak sengaja tertinggal."

Pak Tomi bergeleng pelan. "Dia tak pernah membeli buku dariku. Yah, aku tidak terlalu dekat dengannya sih. Hanya pernah bersapa beberapa kali jika kami bertemu disini. Ngomong-ngomong buku seperti apa yang kau temui?"

"Aku belum membacanya. Kupikir itu hanya arsip biasa—"

"Arsip apa?"

"Arsip mengenai pedesaan ini mungkin."

Pak Tomi menyipitkan mata. Ketidakbiasaan pak Tomi saat membahas nenek tua itu jelas-jelas terbaca oleh Jeanne. "Memangnya ada apa, Pak? Sepertinya ada sesuatu."

Pak Tomi menatap Jeanne beberapa saat. "Kau yakin ingin mendengarnya?"

"Ya."

"Sebenarnya ini hanya rumor, sih, Jean. Tapi bagaimanapun sedikitnya aku juga mempercayai rumor itu."

"Tak apa, Pak. Katakan saja."

"Ketika pertama kali datang dan ingin membeli rumah itu apakah kau tak bertanya-tanya mengapa rumahnya sedikit aneh."

"Aneh bagaimana, Pak?"

"Ummm, baiklah mengenai rumah itu yang berukuran kecil mungkin kau maklum karena sebelumnya yang menempati hanya nenek tua seorang diri. Tetapi mengenai posisi rumah itu yang agak pedalaman dan satu-satunya—apa kau tak bingung? Memang lebih jauh lagi melewati rumah itu akan kau temukan rumah-rumah kecil lainnya. Tetapi rumah itu milik para petani yang memiliki sawah di sepanjang tebing itu." Pak Tomi menunjuk sebuah tebing yang berada di belakang tokonya. Tebing itu tinggi dan berdiri kokoh memanjang sepanjang-panjangnya. Pun di belakang rumah Jeanne pun tebing itu belum terputus. Di seberang tebing itulah terhampar sawah yang amat luas dan hijau.

"Entahlah. Kupikir orang-orang di desa memang senang membuat jarak antara rumahnya dengan rumah orang lain. Lagipula selagi ada listrik dan air bersih, bagiku dan kakakku hal itu  sudah cukup. Oh ya, Pak Tomi, jangan lupakan kalau aku dan kak Hestia hanya anak keluaran panti asuhan. Uang kami terbatas hehehe." Jeanne menyisipkan sedikit tawa di akhir kalimatnya. 

"Oh, baik. Baiklah." Pak Tomi mengangguk. Dia jelas tak bisa melupakan hal itu. Dia lantas melanjutkan, "Aku tak tahu nenek itu berasal dari mana. Ketika aku membuka toko buku disini, dia sudah tinggal di rumahmu seorang diri. Suaminya telah meninggal dan sepertinya ia tak memiliki anak. Entahlah. Yang kutahu nenek itu suka bercocok tanam dan dia dapat bantuan dari pemerintah sampai akhir hayatnya. Ia nenek tua yang jauh dari kata ringkih. Dia senang berjalan-jalan, rumahnya tampak terawat, halamannya selalu berumput pendek, dan dia tidak mengeluhkan karena bekerja merawat rumah sendirian. Sebetulnya dia ramah. Hanya saja agak tertutup untuk menjelaskan siapa sebenarnya dirinya."

"Dia tampak baik."

"Justru itulah. Karena ia tampak baik, aku jadi tak tega mengatakan rumornya."

"Katakanlah, Pak."

"Begini, menurut para petani yang biasa keluar malam untuk berburu babi yang biasa merusak tanaman mereka—mereka sering melihat kilatan cahaya menyembul keluar bagai jarum-jarum dari dalam rumah nenek itu. Cahaya yang tidak bisa. Jelas cahaya itu bukan berasal dari lampu. Kau pikir lampu jenis apa yang cahayanya bisa menembus celah-celah jendela dan melesat keluar hingga terlihat kelipnya dari jarak berpuluh kilometer?"

"Lalu?"

Pak Tomi menarik napas. Mengeluarkannya perlahan. "Kami berpikir kalau nenek itu memiliki kekuatan magis. Tetapi kekuatan magis seperti apakah itu? Dia tentu bukan peramal. Maka kami berpikir kalau nenek itu mungkin... seorang penyihir."

Astaga. Jeanne menatap mata pak Tomi lamat-lamat. Berusaha mencari kesungguhan atas setiap ucapannya. Tetapi tidak ada celah yang memberitahu Jeanne bahwa lelaki tambun itu hanya mengada-ngada. Dia sungguh serius. 

"Cahaya itu membuat kalian berpikir kalau nenek itu seorang penyihir? Adakah alasan lain?"

"Tidak. Selain karena cahaya, nenek itu juga tidak jelas asal-usulnya. Kami sempat bertanya pada petugas pemerintahan yang biasa memberinya pasokan tiap bulan. Petugas itu berkata kalau nenek itu berasal dari suatu daerah yang kami tak mengetahuinya. Umurnya terlampau tua. Tempat dia lahir mungkin sudah berubah nama sekarang."

Jeanne menggigit bibir bawahnya. Dia menatap langit yang biru keunguan. Semakin menggelap. "Pak Tomi, menurutmu apakah yang harus aku lakukan setelah mengetahui hal ini?"

Pak Tomi memelotot. Dia tampak terkejut. "Astaga, Jeanne. Apa kau menjadi takut kembali ke tempat itu? Apa kau akan pindah rumah setelah tahu hal ini?"

Jeanne menggeleng. "Tentu saja tidak. Maksudku, apakah ada hubungannya dengan buku itu. Karena hanya benda itu yang tertinggal di rumahku saat ini."

Pak Tomi menelan ludah. "Kau sungguh tidak takut?"

"Tidak. Semua berjalan normal saja sejak pertama kali aku tinggal disana."

Pak Tomi menghela napas lega. Ia orang yang ekspresif sekali. "Baguslah kalau begitu."

"Pasti itulah alasan mengapa kau jadi tetangga yang amat baik menyambut kedatanganku."

Pak Tomi tergelak. Dia mengelus kepala Jeanne dengan sedikit kasar. Gadis itu mendengus sebal menepis tangan gendut lelaki itu. "Cobalah kau periksa isi buku itu. Dan semoga saja betul isinya hanya arsip daerah."

"Hmm... baiklah kalau begitu."

"Segera pulanglah, Jean. Ayo! Aku mengawasimu dari sini. Pergilah!"

Jeanne terkekeh. Dia lantas beranjak menggoes sepedanya usai berpamitan. Saat sudah separuh jalan, dia menoleh ke belakang. Dan pak Tomi ternyata memang masih ada disana. Mengawasi dirinya. 

***

"Apa kau tahu sebelumnya kalau buku pemilik rumah yang sebelumnya ini tertinggal?"

Hestia melahap makannya dengan sedap. Dia menggeleng menanggapi pertanyaan Jeanne. Hestia selalu tampak sama setiap malamnya. Dia selalu terlalu lelah untuk menghabiskan waktu sepulang kerja dengan mengobrol dengan Jeanne. Dia hanya menghabiskan waktu dengan Jeanne di meja makan usai itu beranjak ke kamar dan keluar pagi esoknya. 

"Buku itu ada di kamarku."

Hestia tidak menyisakan barang sebutir nasi di mangkuknya. Dia lantas menenggak segelas air sampai tandas. "Setahuku tidak ada. Atau memang ada, tetapi aku tak menyadarinya. Kalau kau risih dengan kehadirannya, bawa saja ke tempat pengembalian barang hilang."

Jeanne menggeleng. "Aku tertarik untuk membacanya. Tapi, kak, pak Tomi mengatakan sebuah rumor padaku tadi sore."

"Apa itu?"

"Nenek pemilik rumah ini sebelumnya dicurigai oleh para petani sebagai penyihir."

"Ha?" Hestia memelotot lantas terbahak. Dia betul-betul terbahak dan tidak menganggap serius soal itu. "Kau seharusnya bisa membaca seperti apa watak pak Tomi itu, Jean. Dia itu penjual buku dan sebagai salah satu bentuk strategi promosinya dia bisa saja menceritakan hal-hal berbau fiksi padamu. Kau juga penggila fiksi. Ah, cocok sudah kalian berdua."

Jeanne terdiam. Sebetulnya pak Tomi tidak mengada-ngada semua ini karena justru Jeannelah yang memancing percakapan itu lebih dulu. Tetapi jalan pikir Hestia yang realistis juga tidak bisa diabaikan. Dan Jeanne tidak bisa melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja: sudut pandang seseorang yang menggemari fiksi. 

Hestiapun bangkit. Dia menatap Jeanne dengan kesungguhan. "Aku tidak percaya hal itu seratus persen. Ayolah, Jean, kita hidup di abad dua puluh. Kau seorang siswa yang pintar. Seharusnya kepalamu bisa menerima informasi yang hanya berupa fakta saja."

"Iya, aku paham."

"Bagus."

Hestiapun berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajah. Meninggalkan Jeanne seorang diri dengan rasa kebingungannya mengenai hal ini. 

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status