Sal melirik kembali jam tangan digitalnya. Hari jumat, pukul tujuh malam. Dan siapapun pasti tahu Jakarta - entah lalu lintasnya, trasnportasi umumnya, restorannya, kafenya - padat sekali di waktu-waktu seperti ini. Tidak terkecuali tempat yang kini ia singgahi, sebuah kafe bertema industrialis di pinggiran Kemang, dengan baliho grand opening Nuansa Cafe terpampang besar di depan pagar.
"Sal, sori gue masih wara-wiri." Seorang pria dengan apron hijau menghampiri mejanya. Ada tulisan Suseno di bordir bagian kiri atas. Si pemilik kafe, yang menyerahkan sepiring kentang goreng lengkap dengan saus keju.
"Apaan nih? Gue kan nggak pesen."
"Compliment buat pelanggan setia." Seno nyengir, alisnya naik turun. "Yang lain mana? Belum pada dateng?"
“Asta sama Gavin udah otw dari kantor. Kalau Raya baru masuk tol dalam kota,” jawab Sal datar.
"Wih, abis roadtrip lagi dia?" Seno bertanya soal Raya.
Sal mengangguk. Ia comot satu kentang goreng, mencocolnya ke saus keju, dan memasukkanya ke mulut. "Lombok."
"Gila juga itu anak." Seno berdecak kagum. Sejurus kemudian mengangkat tangan saat ada seseorang memanggilnya dari pintu kitchen. "Sori ya Sal, gue tinggal dulu."
"Santai. Thanks kentangnya by the way!" Sal sedikit berteriak pada punggung Seno yang menjauh.
Dan saat manik matanya tanpa sengaja menangkap pemandangan di meja seberang, ia dapati tiga gadis belia di meja tersebut sedang melirik manja ke arahnya.
Tentu saja, kulit putih, hidung mancung, alis tebal, mata bulat tajam, potongan rambut comma hair yang entah bagaimana cocok untuk wajahnya yang oval, di dukung kemeja lengan panjang hitam yang digulung hingga siku, juga iPhone keluaran terbaru yang berdampingan dengan kunci mobil Hyundai diatas meja. Membuat tampilan Sal begitu tampan dan mewah. Gadis normal manapun tentu akan dengan mudah terpincut dalam sekali pandang. Untungnya Sal bukan tipe pria tebar pesona. Jadi ia lebih memilih mengalihkan pandangannya ketimbang membalas senyuman gadis-gadis tersebut.
Dan andai saja gadis-gadis itu tahu jika layar di ponselnya tengah menampilkan susunan foto terpilih yang siap ia hapus. Atau tabiatnya yang menyebalkan itu.
"Lama banget lo," omel Sal pada dua orang pria yang baru datang.
Satu diantara mereka tersenyum simpul. Badannya tegap berbalut coach hijau tua. Wajahnya tenang. Tangan kanannya yang dilingkari Garmin terangkat menyapa Sal. "Sori, ada meeting mendadak tadi," jawab Gavin.
“Sama bos lo?” Sal menunjuk satu pria lain yang sudah duduk santai sambil mencomot kentang goreng di meja.
Gavin mengangguk. Menarik satu bangku, lalu duduk dengan nyaman disebelah Asta.
Meski selalu terlihat sederhana, faktanya Asta merupakan bos Gavin dan Raya di sebuah kantor konstruksi skala menengah yang kantor pusatnya berada di Jakarta Timur. Tipe pria yang tak akan diajak bicara lebih dulu oleh orang lain lantaran dalam lingkaran pertemanan mereka, selalu Sal yang mendapat porsi tersebut. Bisa jadi karena penampilannya. Pipi chubby dan tubuh sedikit lebih berisi, juga setelan yang seringnya hanya terdiri dari kaus oblong - kadang-kadang jersey Liverpool - dan celana kargo seadanya, di tambah kesan pertamanya yang cuek dan bodo amat itu, membuatnya terlihat seperti figuran saat berkumpul bersama teman-temannya. Padahal kalau diperhatikan dengan seksama, jam tangan Audemars Piguet dalam koleksi Royal Oak Offshore yang melingkari tangannya, juga sepatu Air Jordan 1 OG x Dior yang membalut kakinya, cukup menunjukkan ia punya selera dan… tajir mampus.
“Raya belum dateng?” Asta bertanya sambil tetap mengunyah kentang.
"Udah di tol dalam kota. Sebentar lagi juga sampe."
Sepasang pria dan wanita kini naik ke atas panggung. Penyanyi lokal, sepertinya. Dinilai dari suaranya yang bagus dan lihainya mereka dalam menyapa pengunjung. Lagu yang mereka nyanyikan cukup membuat Sal meringis. Sialan dari Juicy Luicy.
“Guuuys!" sebuah suara memalingkan pandangan mereka bertiga dari panggung. Orang yang sejak tadi dibicarakan. Gadis belia dengan rambut ikal melewati bahu, mata bulat kecoklatan dan bibir tipis yang mengkilap oleh lipbalm. Masih dengan sweatshirt abu-abu, celana training dan sandal jepit, menenteng satu tas plastik yang langsung ia taruh begitu saja diatas meja. Wajah tanpa riasannya terlihat lelah, namun berbinar penuh semangat.
“Hai Raya.” Asta melambaikan tangan. Wajahnya yang sejak tadi tanpa ekspresi berubah ramah dalam sekejap. Raya membalasnya dengan menepuk pelan pundak pria itu.
“Sori, pada nunggu lama ya?”
“Kemana aja? Nggak kenapa-kenapa di jalan, kan?” Sal bertanya sembari meneliti tubuh Raya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ban kempes di Cikampek, tapi aman.” Raya mengibaskan tangan. Sedetik kemudian mendorong sedikit tas plastik yang tadi ia taruh di atas meja. "Oleh-oleh nih, terutama buat yang habis putus." Gadis itu mengeluarkan sebungkus abon ikan dan menyerahkannya pada Sal.
Asta menahan tawa. "Lah, lo putus?"
"Serius abon ikan, Ra?" Sal mendengus. Mengabaikan Asta.
"Biar sekali makan, lo tetep dapet nutrisi. Kan habis ini nggak ada yang ngingetin makan lagi."
"Kok putus sih?" Asta masih penasaran.
Sal mendelik. "Bawel ah, Ta."
"Biasa, orang ketiga. Lagi musim kayaknya." Raya yang menjawab. "Terus itu jadi di hapus apa nggak foto-fotonya?"
“Belum mood.” Sal menarik ponselnya dari atas meja.
"Paling juga disimpen di cloud," ledek Asta.
Baru saja Sal akan membalas, Seno datang lagi sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi yang asapnya masih mengepul di udara.
"Selamat datang di Nuansa Cafe dan selamat kembali ke Jakarta, nona Raya." Seno tersenyum manis. Ia taruh gelas-gelas kopinya perlahan, lalu menarik satu bangku dan duduk di sebelah Raya. “Gimana Lombok?”
“Pretty as always! Gue jalan-jalan di Senaru, main air di Pantai Tanjung Perak, camping di Sabana Dandaun. Dan Pantai Selong Belanak cantik banget! Sumpah, lo harus buka cabang di Lombok sih.” Raya bercerita antusias. Meski satu-satunya perempuan dalam kelompok, gadis itu lebih ahli dalam urusan berkelana mengelilingi Indonesia.
“Nggak sanggup sih gue kalau ke Lombok sendirian. Tapi kalo Bos Asta mau investasi, hayuk aja.” Seno menyenggol lengan Asta.
“Siapin aja proposal nya. Kalau RAB nya oke, gue join,” sahut Asta enteng.
Gavin bertepuk tangan takjub. “Ter-the best emang bos gue.”
"By the way No, selamat ya cabang keduanya!" Raya berseru sembari mengeluarkan barang lain dari dalam tas plastiknya. Sebungkus kopi Lombok yang langsung ia sodorkan pada Seno. "Hadiah grand opening. Sori ya cuma bisa kasih ini."
"Wah, thank you, Ra."
“Kok Seno dapet kopi?” Sal tiba-tiba protes.
“Inget nggak lo dua bulan lalu gue beliin kain tenun sama kopi Flores? Kurang?” Raya mencubit gemas lengan Sal. Membuat Sal mengaduh pelan.
“Sori, ampun.”
"Ngomong-ngomong guys, cobain deh, signature kopi kita yang baru. Kalau pada suka bulan depan gue rilis." Seno mendorong pelan dua gelas kopi yang tadi ia bawa.
“Kopi gayo kualitas terbaik nih.” Asta menyeringai bangga.
"Bokapnya Asta?" tanya Gavin.
"Siapa lagi. Dikasih free sekilo sayang kalau nggak di trial, kan?" Seno tersenyum lebar. Meski bukan termasuk dalam geng teman dekatnya Asta, Asta dan Seno sudah saling mengenal sejak masih berseragam putih abu-abu. Mereka bertemu kembali lima tahun yang lalu, setelah sempat terpisah jarak lantaran Seno memilih kuliah di Malang, dan Asta melanjutkan pendidikan di kampus almamater kuning di Depok, yang kemudian mempertemukannya dengan Sal, Raya dan Gavin.
Raya dan Sal menyisip. Khas arabika yang tidak terlalu pahit, sedikit asam, cenderung buttery dengan aroma rempah yang wangi.
“Gimana?”
“Wangi. Gue suka sih, ada after taste nya yang asem itu bikin nagih. Rasanya autentik,” ujar Sal.
“Kan!” Seno mengacungkan telunjuknya di udara. “Sekali tengguk, lo langsung dibawa ke Pantai Sumur Tiga di Sabang, sambil liat sunset, terus deeptalk sampai pagi,” sambungnya ngawur.
"Boleh juga tuh." Gavin yang tak minum kopi mendadak tersenyum. "Road trip ke Sumatera, yuk. Seru deh kayaknya."
Sal melongo. "Vin? Kesambet lo?"
“Nggak. Kepengen aja.”
“Tanda-tanda kurang kafein tuh. Minum kopi dulu deh mendingan.” Sal menyodorkan gelas kopinya.
Gavin terkekeh, menggeleng pelan. "Raya kan selalu pengen mudik ke Kerinci, tapi nggak mau kalau nggak sama kita. Ya sekalian aja."
"Wah, mau!" Raya berapi-api. "Kapan? Minggu depan?"
“Minggu depan kita ada deal kontrak sama restoran Siang-Malam kan, Ra?”
“Bulan depan berarti?”
“Dua minggu lagi juga oke.”
“Terus-”
"Tunggu-tunggu, tahan..." Sal dengan cepat menaruh telunjuknya di depan wajah Raya dan Gavin. Menghentikan dua orang itu bicara lebih lanjut. “Ini serius lo ngajak jalan ke Sumatera?” Pria itu meyakinkan Gavin lantaran selama ini selalu Raya yang mengajak teman-temannya road trip.
Gavin mengangguk. “Serius.”
"Ini bukan kayak ke Bandung yang bisa tiba-tiba jalan, loh."
"Biasanya juga Raya tinggal jalan."
"Iya itu kan, Raya. Kalau kita?"
"Elo, bukan kita."
"Iya, gue... Ambil cuti aja prosesnya seminggu. Lo berdua sih enak, bos nya disini." Sal menunjuk Asta yang masih mengunyah kentang goreng dengan tenang.
"Pas dong, ambil cuti seminggu, berarti bisa jalan minggu depan?" Seno kompor.
Sal menyipitkan mata. “No!"
"Oke, sori, gue nggak ikut campur." Seno mengangkat tangan dan bangkit meninggalkan meja mereka.
Raya tergelak.
"Terakhir kita jalan berempat kapan, sih? Jogja, kan? Setahun lalu?" Gavin masih berdebat dengan Sal. "Udah lama banget."
"Terus?"
"Terus lo nggak kangen jalan-jalan sama kita lagi?" sergah Raya cepat. "Sepuluh tahun loh, Sal, kita temenan. Bandung terus liburannya."
"Sama PIK." Gavin menambahkan.
Asta tergelak. "Itu sih nongkrong, bukan liburan."
"Dua tahun lagi umur lo tiga puluh, Sal. Emang lo nggak mau punya core memory bareng kita di usia 20-an ini? Coba bayangin, dua puluh tahun lagi, pas lo punya anak terus anak lo nanya, papah udah ngapain di umur 20? Lo bisa jawab, nyobain jalan lintas Sumatera bareng teman-teman tercinta. Kan keren!” Raya berseru semangat.
"Lo gimana, Ta?" Gavin mengalihkan pandangan pada Asta.
Asta mengangkat bahu. "Kerjaan sebulan kedepan gimana?"
“Aman, desain udah beres,” sahut Raya. "Resto Siang-Malam minggu depan eksekusi. Selebihnya progressing tapi masih on schedule," jelasnya. Meski seringkali jauh dari kantor, Raya tak lepas tanggung jawab perihal pekerjaannya.
"Ya selagi kantor aman, gue ikut aja."
Raya sumringah. "Kan, Sal. Bos gue aja bilang iya."
"Lo gimana?" Gavin kembali memastikan. "Lumayan kan, itung-itung healing abis putus."
Bila dalam kelompok pertemanan selalu ada satu orang 'perencana', satu orang yang 'asal gas', dan satu orang yang 'ikut aja asal semua ikut', maka selalu ada satu lagi yang...
"Liat nanti deh."
Dan itu, Sal. Sembari menghela nafas panjang yang berat. Kembali meringis saat penyanyi di panggung menyanyikan Satu Bulan-nya Bernadya.
---
Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan
Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s
Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap
"Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w
Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta
Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung