Sal meraih tumbler diatas meja, meneguk isinya, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya tak lepas dari layar komputer yang menampilkan Microsoft Excel dengan ratusan kolom berisi angka-angka desimal. Pointer di layar bergerak naik turun, lalu berhenti pada sebuah kolom. Sal mengetik sebuah formula pada kolom tersebut, lalu menggerakkan pointer nya lagi, mencari kolom yang lain. Begitu terus sejak tadi.
"Dor!"
"Anjrit!"
Seorang pria bertubuh kecil dengan rambut cepak tiba-tiba muncul di samping kubikel. Nyengir kuda.
"Lembur lho, Sal?" tanya Mas Bian, menunjuk jam tangan digital merk Cina di tangannya. Jam delapan malam.
Sal masih elus-elus dada. "Iya, ada dokumen kontrak yang harus gue cek buat rapat bareng vendor besok pagi. Lo sendiri baru balik?"
"Iku loh, drafter banyak yang cuti. Jadi ghue deh yang disuruh back up kerjaan."
Mas Bian ini baru delapan bulan pindah dari Semarang ke Jakarta, dengan dalih beradaptasi, lucu sekali mendengarnya bicara lo-gue diantara logat Jawa nya yang masih melekat kental.
Sal menahan tawa. "Pada kemana emang?"
"Cuti mas, liburan. Pak Agung nang Jogja, Mbak Anggun malah jauh ke Singapur."
Sal manggut-manggut.
"Lho nggak liburan tah, mas?"
"Mas, nggak usah pake lo-gue." Sal akhirnya tertawa juga. Sudah sering dia meminta Mas Bian untuk tidak buru-buru beradaptasi, terutama soal logat dan bahasa sehari-hari. "Kemarin temen ada yang ngajak road trip ke Sumatera sih."
"Wih, Sumatera mas? Keren. Ghue paling jauh baru Jakarta ini, mas." Mas Bian tampak terpesona.
"Iya, itu kan kalau jadi."
"Emang kenapa nggak jadi, mas? Kayaknya mas jarang cuti."
Sal terdiam. Kalau dipikir-pikir, ia memang hampir tidak pernah ambil cuti panjang. Tidak ada kebutuhan. Paling-paling satu atau dua hari untuk urusan keluarga yang masih di sekitar Jakarta atau Bandung.
"Kapan lagi, tah mas? Uangnya ada, waktunya ada, mumpung belum nikah, puas-puasin jalan sama teman-teman, mas." Mas Bian tiba-tiba sok bijak. Padahal usianya sendiri lima tahun dibawah Sal.
Belum sempat Sal menanggapi, ponsel Mas Bian mendadak berdering. "Eh mas, temen ghue udah jemput. Duluan ya, ojo malem-malem mas pulangnya." Mas Bian melambaikan tangan sekali sebelum melengos pergi.
Tersisa Sal dalam ruangan berukuran enam puluh meter persegi. Lima baris panjang kubikel disana sudah kosong. Lampu sudah remang. Jendela besar di salah satu sisi ruangan menampilkan ruas jalan MT Haryono yang di dominasi warna merah menyala dengan latar city light yang berpendar terang. Jakarta dan kesibukan yang padat setiap harinya.
Matanya lalu menangkap deretan foto yang menempel di dinding kubikelnya. Berisi dirinya, Raya, Gavin dan Asta dalam beberapa momen di ibu kota. Entah di kampus, Nuansa Kafe, apartemen Raya, rumah Asta, restoran mahal di PIK. Satu diantara foto itu menampilkan mereka tengah berdiri di depan papan nama jalan Malioboro. Satu-satunya foto diluar Jakarta, tahun lalu.
Sal mengecilkan layar Excel nya. Lantas menekan ikon Words yang sejak tadi aktif di taskbar, hingga muncul seketika rentetan panjang tulisan dengan judul pengajuan cuti di atasnya.
Ia tersenyum. Diantara rutinitasnya yang monoton dan membosankan, ini mungkin akan jadi hal paling berani yang pernah ia lakukan seumur hidupnya.
---
Gavin sedang bersandar di kap mobilnya dengan ponsel di tangan saat mendapati Stargazer putih memarkirkan diri tepat di sebelahnya. Keluar dari sana, Sal, sudah mengganti kemejanya dengan kaus oblong putih, membawa kantung plastik berisi sesuatu yang wangi, berjalan mendekat dan mengangkat satu tangannya yang bebas untuk ber-high five ria dengan Gavin.
“Tumben lo belum balik?" tanya Gavin.
“Nunggu macet.”
“Macet kok ditungguin.”
Sal tertawa pelan. Ia keluarkan satu minuman isotonik dari dalam plastik, dan menyerahkannya pada Gavin.
Pria itu menyambutnya dengan senyuman. “Makasih.”
“Raya mana?”
“Di ruang rapat. Masuk aja, udah nggak ada orang kok," jelas Gavin sambil membuka tutup botol minuman yang Sal berikan, dan meneguk isinya.
“Terus ini lo mau langsung balik?”
“Jemput nyokap dulu di rumah kakak gue. Mumpung Rendra udah tidur. Kasian dari kemarin mau pulang ketahan terus sama ponakan gue.” Gavin mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celana lalu menekan tombol unlock. Ia buka pintu kemudi, dan melompat naik ke sana. “Oh iya, ingetin Raya buat minum obat, Sal. Dia masih asik daritadi.”
Alis Sal terangkat satu. “Nggak lagi kambuh, kan?”
“Nope, just Raya being Raya.” Gavin menutup kembali pintu mobilnya. Menurunkan kaca jendela. “Titip Raya, ya Sal."
“Oke. Lo hati-hati dijalan.”
Gavin menyatukan telunjuk dan ibu jarinya, membuat O di udara. Sejurus kemudian membawa mobilnya keluar dari pelataran parkir, lalu berbaur dengan mobil-mobil lain di jalan.
Sal membalikkan badan. Bergegas memasuki kantor yang sepi.
Kantor mereka sejatinya adalah sebuah rumah tua dua lantai peninggalan era kolonial Belanda yang dibeli orang tua Asta belasan tahun silam. Luas bangunannya mencapai 300 m persegi dengan halaman yang luasnya cukup untuk menampung sepuluh mobil sekaligus. Sudah dipugar dan diperbaiki sebelum dialihfungsikan sebagai kantor sehingga memiliki kesan modern dan klasik di waktu yang bersamaan.
Sal masuk ke salah satu ruangan yang pintu kacanya terbuka sedikit. Menampilkan Raya yang tengah berkonsentrasi penuh di depan laptop, duduk membelakangi pintu, dalam balutan blouse violet dan rambut yang digelung asal dengan sebatang pensil.
“Vin, kayaknya kita bikin split level aja deh area foyer-nya. Ruangan mereka sempit soalnya, biar ada kesan-” Kalimat Raya menggantung di udara saat melihat pria yang berdiri di sebelahnya bukan lagi pria yang menemaninya beberapa menit lalu. “Lah Sal?” Kepalanya celingukan. Mencari seseorang. “Gavin mana?”
“Udah balik barusan.” Sal duduk di samping Raya.
“Balik? Kok nggak bilang-bilang?”
“Bilang ke gue. Katanya mau jemput nyokapnya dulu di rumah Kak Gema.”
Bibir Raya mengerucut. Sedikit kesal Gavin meninggalkannya tanpa izin lebih dulu. Meski sebenarnya, ia juga tau kalau dirinyalah yang terlalu fokus bekerja sampai-sampai tak mendengar Gavin berpamitan padanya.
“Ah, sebentar.” Sal tiba-tiba bangkit dari kursi. Keluar dari ruang rapat, lalu kembali tak sampai satu menit dengan dua piring dan dua sendok di tangan.
“Belum makan kan, lo?”
Raya menggeleng singkat, acuh tak acuh. Sudah kembali memberi perhatian penuh pada desain rumah dua lantai di laptopnya. Mulutnya terdengar menggumamkan angka-angka.
“Makan, terus minum obat, ya? Kata Gavin lo belum minum obat.” Sal dengan cekatan melepaskan karet pembungkus kertas nasi dan menatanya diatas piring.
Raya tak menyahut. Tangannya masih bergerak lincah diatas keyboard.
Berinisiatif, Sal menarik laptop tersebut dan menukarnya dengan sepiring nasi goreng yang barusan ia buka.
“Nanti lagi kerjanya, makan dulu.” Kini Sal mengganti mouse di tangan Raya dengan sendok.
Raya melotot. Tapi tak bisa marah karena Sal menampakkan senyum termanisnya. Pria itu hanya sedang berusaha menjalankan tugasnya sebagai sahabat yang baik.
“So tell me, what's now?" tanya Raya, to the point. Tau persis Sal tak memintanya makan dengan cuma-cuma.
“Astaga, Ra. Su'udzhon banget lo sama gue."
“Lo selalu ada maunya tiap bawain gue makanan begini.”
Pria itu tertawa renyah. Membuatnya makin terlihat tampan. “Kali ini nggak kok.”
“Minta saran kado buat Nadhira lagi?”
“Nggak usah ngeledek deh, Ra. Gue jomblo sekarang.” Sal menyuap nasi goreng ke mulut.
“Ya siapa tau aja lo mau ngajak balikan.” Gadis itu memotong telur dadar di piringnya. Masih berpikir. “Minta setirin ke Bandung?”
“Kok lo tau sih keluarga gue mau ngumpul di Bandung?” Sal menoleh takjub. Tapi kemudian menggeleng cepat. “But no, it isn't.”
“Mau curhat lo ya?”
“Nggak, Raya sayang.” Sal tertawa lagi. Sejak kapan mereka butuh waktu khusus untuk curhat? Biasanya juga main asal todong kuping.
“Terus? Udah lo hapus foto-fotonya?”
“Ra, nggak usah mancing deh. Gue kesini cuma pengen minta temenin makan.”
Raya menyipitkan mata. Tak sepenuhnya percaya pada ucapan jejaka Bandung tersebut. Tapi akhirnya ia mengalah, dan berusaha untuk makan nasi gorengnya dengan lahap.
Hening sejenak. Tinggal beberapa suap sebelum nasi goreng Sal benar-benar tandas.
“Oh iya, soal liburan ke Sumatera itu.” Sal berkata ragu-ragu. “Kalo ngga sama gue, gimana, Ra?”
Raya menahan kerupuknya di depan mulut. “Gue nggak mau jalan kalo kalian minus satu.”
“Kenapa?”
"Gue udah pernah bilang kan? Sumatera itu spesial banget buat gue. Satu-satunya tempat dimana gue tahu gue pernah sebahagia itu punya keluarga. Ada banyak memori di setiap kilometernya, Sal. Dan gue -" Raya memberi jeda. Mengatur nafasnya yang mendadak sesak.
Sal menunggu dengan sabar.
“Gue nggak mau nangis-nangis sendirian di jalan. Gue nggak mau kambuh pas ketemu nenek gue disana. Gue mau hepi selama perjalanan gue di lintas Sumatera sama kayak hepinya gue waktu kecil dulu."
"Dan lo butuh kita?"
"Memori paling jelek sekalipun bisa gue ketawain kalau sama kalian." Raya tertawa kecil. Melanjutkan suapannya lagi.
Selama beberapa detik Sal terdiam memperhatikan Raya. Selalu ada kesedihan di kedua bola mata gadis itu meski wajahnya tengah berseri-seri. Ada luka yang tergores dengan begitu dalam, sampai-sampai kehadiran mereka bertiga masih belum cukup untuk bisa menyembuhkannya. Luka itu menganga lebar, sulit tertutup, dan masih seringkali berdarah saat bersinggungan dengan sesuatu yang pedih. Tentang orang tuanya, tentang keluarganya, maupun memori masa kecilnya. Dan keyakinan mereka tentang setiap luka pasti ada obatnya, tak sejalan dengan keyakinan mereka tentang dimana obat itu berada.
“Woy, bengong lo. Kesambet?”
Sentuhan tangan Raya di pundak Sal membuyarkan lamunanya. Pria itu lantas merogoh kantung celananya, membuka folder pesan terkirim di email, dan menyodorkan ponselnya pada Raya.
Gadis itu mengerutkan kening. “Apa nih?”
“Baca dong.”
Raya menurut. Setelah memasang wajah serius, di detik ketiga, air mukanya berubah sumringah. "Sal! Ini serius?!"
"Seminggu cukup kan?" Sal tersenyum.
"Demi apa lo?!" Raya masih tidak percaya.
"Demi elo nih. Seneng, kan?"
“Seneng banget banget! Astaga. Thank you, Sal!" Raya melompat di kursinya. Memeluk Sal sebentar. "Nggak nyangka lo bisa juga ngirim email cuti ke HRD lo." Raya kembali melirik ponsel Sal untuk memastikan ia tak salah membaca.
Sal tertawa. "Kampret."
"Kok tiba-tiba, sih?"
"Nggak tahu, mendadak suntuk aja. Kalau dipikir-pikir semua kegiatan gue selalu berpusat di Jakarta. Capek. Gini-gini aja. Kayaknya lo ada benernya soal gue harus do something new di umur gue sekarang."
"Agak sentimentil ya. Gue kira karena galau berat," ejek Raya.
“Gue masih punya satu cewek cantik disini, ngapain gue galau berat.”
“Yee, cari cewek lagi deh lo mendingan. Geli gue di gombalin lo mulu.”
“Nggak mau, maunya gombalin Raya aja.”
“Sinting!” Raya menjitak kepala Sal.
Sal mengaduh pelan, tertawa kencang.
“Awas lo ya kalo rese pas road trip."
Sal menunduk sedikit agar bisa mendekatkan wajahnya pada wajah Raya. “I can't promise.”
Raya melotot. Siap nyerocos lagi sebelum Sal melanjutkan, “But I promise to make you happy along the road.”
– – –
Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan
Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s
Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap
"Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w
Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta
Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung