"Rawindra! Cepat ke sini!'
Mendengar namanya dipanggil, remaja laki-laki yang tangan kirinya cacat itu sontak menoleh pada sang kakek yang juga sedang menggembala domba.
Segera, ia menggelengkan kepala dan masih berlari. "Sebentar Kek! Windra lagi berusaha tangkap domba yang kabur, Kek!"
"Sudah! Biarkan saja! Nanti dia bisa pulang sendiri!" teriak kakeknya lagi.
"Tanggung, Kek! Windra sudah hampir berhasil!" sahut Rawindra ini–mengabaikan larangan pria tua yang masih kelihatan bugar itu.
Hal ini membuat sang kakek kesal. "Astaga! Tanganmu hanya satu, Rawindra! Tidak akan berhasil menangkap anak domba yang gesit itu! Biarkan saja!'
Namun, Rawindra masih terus bersikeras.
Pemuda berusia 15 tahun itu memang pantang menyerah. Ia juga tak ingin dikasihani hanya karena tangan kirinya yang cacat oleh siapapun, termasuk sang kakek.
Hanya saja…
Bugh!
Domba kecil yang berusaha ditangkapnya dengan mudah lolos dari sergapan Rawindra–membuat kepala pemuda ini terbentur batu besar di atas tanah ini.
“Arrgh!”
Rawindra berteriak kesakitan. Kepalanya sedikit benjol, bahkan bahkan ada sedikit luka di dalamnya!
Melihat itu, sang kakek berlari kencang ke arah Rawindra. "Sudah kakek bilang, lupakan saja anak domba ini ... tapi kamu masih saja membandel!" gerutunya bercampur cemas.
Sementara itu, Rawindra berjalan agak terhuyung-huyung ke arah kakeknya karena rasa pusing yang dideritanya akibat kepalanya yang terbentur.
Untungnya, anak domba yang berusaha ditangkapnya sudah bergabung kembali dengan kelompok domba yang sedang makan rumput di padang rumput luas ini.
"Tidak apa-apa, Kek! Paling tidak, anak domba ini tidak kabur jauh-jauh!" ujar Rawindra.
Sang kakek tersenyum melihat tubuh Rawindra yang belepotan lumpur akibat terjatuh di kubangan lumpur saat berusaha menangkap anak domba tadi. "Kalau ayahmu masih hidup, tentu dia akan bangga denganmu yang telah serius menjalankan warisan pekerjaannya!"
"Apa ayahku juga penggembala domba, Kek?!" tanya Rawindra dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Benar sekali! Tapi domba-domba ini bukan kepunyaan kita karena kita hanya dibayar untuk menggembalakannya saja, Windra!" sahut kakeknya.
"Kenapa kita tidak bisa mempunyai domba sendiri, Kek?' tanya Rawindra.
"Kita tidak mampu untuk membeli anak domba untuk kita gembalakan sendiri, Rawindra! Jadi, kita hanya bisa menggembalakan domba milik orang lain!"
Rawindra hanya manggut-manggut saja tanpa mengerti apa yang dibicarakan oleh kakeknya ini.
"Kek …." ucap Rawindra tiba-tiba. Nadanya begitu sopan.
Sang kakek bahkan sampai menaruh curiga akibat perubahan sikap mendadak sang cucu. "Ada apa, Windra? Tidak biasanya kamu menyapa kakek seperti itu?"
"Apa aku boleh mendaftar di Perguruan Pedang Patah, Kek?"
Mata pria tua itu membulat. "Benar dugaanku, anak ini ada maunya" pikirnya dalam hati.
Siapapun tahu Perguruan Pedang Patah merupakan perguruan pedang yang sangat terkenal dan disegani di desanya.
Meski letaknya di tengah pulau, lokasinya tidak bisa terjamah oleh siapapun, kecuali oleh anggota perguruan itu sendiri.
Dan tiap tahun … Perguruan Pedang Patah membuka pendaftaran bagi anggota-anggota baru yang ingin belajar di perguruan tersebut asalkan bisa lolos dari seleksi yang berat.
Batas pendaftaran tinggal beberapa minggu lagi–sebelum kapal yang membawa calon anggota perguruan ini berangkat ke Pulau Pedang, yang menjadi markas utama dari Perguruan Pedang Patah ini.
Sang kakek menghela napas. Kecemasan muncul lagi di wajahnya. "Buat apa kamu mendaftar di perguruan itu, Windra? Apa kamu yakin akan diterima di perguruan tersebut dengan kondisi tanganmu yang seperti ini?" tanyanya sembari memperhatikan tubuh Rawindra.
Selain tangan kirinya cacat, pemuda itu juga tidak memiliki dasar ilmu bela diri sama sekali.
Rawindra sontak melihat pasrah ke arah tangan kirinya yang buntung.
Kata kakeknya, tangan Rawindra ini sudah cacat sejak lahir.
Sedangkan ingatan Rawindra tentang masa kecilnya, sudah hilang sama sekali tanpa dia tahu sebabnya.
Hal itu seketika membuatnya penasaran.
Sudah sejak lama, ia ingin menanyakan kondisi dirinya kepada kakeknya ini.
"Kek ... kenapa ingatanku tentang masa kecilku tidak ada sama sekali, ya? Bahkan, aku tidak tahu sama sekali wajah ayah dan ibuku! Aku hanya tahu wajah kakek saja."
Wajah sang kakek tiba-tiba tampak panik. Namun, pria itu dapat segera menyembunyikannya. "Kakek juga tidak tahu, Windra! Mungkin ini karena kamu pernah terjatuh dan terbentur sesuatu saat kecil, sehingga ingatanmu hilang," elaknya.
"Kapan aku mulai dirawat kakek?"
"Sejak orang tuamu meninggal sekitar 5 tahun yang lalu!"
"Aneh juga ya Kek ... ingatanku yang ada juga dimulai dengan ingatan 5 tahun yang lalu setelah orang tuaku meninggal! Apa ada makam orang tuaku, Kek?' tanya Rawindra.
Kakeknya kini menjawab dengan agak hati-hati, "Tidak ada, Windra! Orangtuamu dikremasi setelah meninggal. Jadi, tidak ada makamnya sama sekali.'
Rawindra terdiam.
Sebenarnya, ia sudah merasakan keanehan dan kemisteriusan dirinya serta kejadian yang menimpa orangtuanya. Namun, dia belum menemukan bukti apa pun yang bisa menjelaskan semua kejadian masa lalunya.
"Apa kakek yang melakukan kremasi terhadap orang tuaku? Apa mereka meninggal bersamaan, Kek?" tanya Rawindra.
Rawindra terus menerus menanyakan masa lalunya, yang membuat kakeknya tidak nyaman dan mulai merasa cemas.
"Lebih baik kita menggembalakan domba ini ke arah padang rumput yang memiliki banyak rumput di ujung sana! Nanti kita bicarakan lagi masalah ini!" ucap sang kakek mendadak– menghentikan pertanyaan dari Rawindra.
Anak laki-laki itu pun tidak berani membantah karena dia tahu sifat kakeknya.
Setiap dia menanyakan masalah orang tuanya, sang kakek akan selalu menghindar. Bahkan, marah-marah!
Hanya saja, Rawindra semakin yakin ada rahasia yang disembunyikan kakeknya mengenai masa lalu dirinya dan orang tuanya dan dia harus menemukan itu.
Mungkin … salah satunya dengan menjadi pendekar yang hebat?
"Oh iya, Kek. Bagaimana dengan permintaanku untuk mendaftar ke Perguruan Pedang Patah?” tanya Rawindra lagi.
"Kakek tidak bisa mengijinkanmu untuk pergi ke sana, Rawindra! Kamu bisa menjadi bulan-bulanan peserta seleksi di Perguruan Pedang Patah!" ujar kakeknya.
"Kenapa kakek berpikir kalau aku akan menjadi bulan-bulanan di sana? Apa karena aku cacat, terus kakek pikir aku tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan di perguruan itu?" tanya Rawindra dengan perasaan sedih dan kecewa.
"Bukan itu maksud kakek! Kamu masih awam untuk jurus bela diri. Kakek khawatir kamu akan dihajar habis-habisan oleh peserta seleksi, apalagi mereka melihat dirimu yang cacat ... kamu bisa dihina habis-habisan!" jelas kakeknya. "Kita juga tidak punya uang untuk mendaftar seleksi ini, Rawindra!"
"Tapi aku ingin menjadi Pendekar Pedang Terhebat, Kek!' seru Rawindra penuh semangat. "Cacat tubuh bukanlah penghalang untuk mencapai kesuksesan, Kek! Asal kita mau berusaha, semua itu pasti ada jalan keluarnya!"
Mendengar itu, kakek penggembala domba itu hanya bisa menghela nafas panjang.
Ada perasaan tidak tega terhadap cucunya ini.
Dia tidak bisa terus-terusan mengekang keinginan Rawindra karena pemuda ini pasti mencari segala cara untuk pergi ke Pulau Pedang. Bahkan, tanpa persetujuan dirinya.
Lebih baik, jika ia melatihnya sedikit.
"Akan kakek pikirkan,” ucap pria tua itu akhirnya, “kalau memang kamu ingin mendaftar ke Perguruan Pedang Patah, kakek ingin kamu mulai rajin setiap pagi membantu kakek menggembalakan domba, dan memasukkannya kembali ke kandang pada sore hari! Kakek akan membayarmu tiap hari sampai kamu mempunyai biaya yang cukup untuk mendaftar ke perguruan tersebut!"
"Aku akan buktikan, Kek kalau pemuda cacat dan miskin masih bisa berjuang untuk menjadi anggota perguruan, asalkan diberi kesempatan untuk membuktikannya!" seru Rawindra bahagia.
Sementara itu, sang kakek hanya diam memperhatikan Rawindra.
"Tekad dan keras kepalamu mirip sekali dengan ayahmu semasa dia menjadi pendekar terkenal, Rawindra. Suatu saat, kakek akan menceritakan semuanya padamu ketika kamu sudah tidak labil,” ujar pria itu dalam hati, “karena bahaya besar akan mengancammu bila ada yang tahu siapa dirimu sebenarnya saat kau belum siap.”
Tanpa disadari Rawindra dan penduduk Desa Matahari, kakek penggembala domba yang terlihat tak berbahaya ini menguasai ilmu Kanuragan tingkat tinggi.
Tak ada yang tahu nama aslinya. Semua masa lalunya disimpannya agar tidak memancing musuh besarnya muncul.
Bahkan, Ki Bratajaya tidak mengajari Rawindra dasar-dasar ilmu bela diri juga agar cucunya ini hidup sebagai penduduk desa biasa saja.
Semua demi keselamatan Rawindra. Sayangnya, darah pendekar yang dimilikinya–tanpa disadari telah membuat anak muda itu tertarik kepada ilmu bela diri.
Seperti janjinya, Rawindra kini penuh semangat setiap bangun.Pagi-pagi sekali, ia mulai menggembalakan domba-domba yang dititipkan pemilik domba untuk digembalakan ke padang rumput.Tujuannya hanya satu: mengumpulkan biaya untuk mendaftar seleksi penerimaan anggota Perguruan Pedang Patah di Desa Matahari.Batas waktu pendaftaran yang tinggal seminggu lagi membuat Rawindra terus bersemangat membantu kakeknya agar mendapatkan biaya yang cukup untuk mendaftar masuk ke Perguruan Pedang Patah.Meski demikian, Rawindra agak cemas.Apakah kakeknya benar-benar akan membayarnya untuk tugas yang sebenarnya menjadi kewajibannya sehari-hari?Rawindra berusaha menepis pikiran buruknya. "Aku harus berhasil mendaftar dan lolos seleksi Perguruan Pedang Patah ini!" tekadnya dalam hati.Sementara itu, Kakek penggembala domba memperhatikan Rawindra dari jauh.Sejujurnya, dia sangat senang melihat Rawindra yang sangat rajin dan tanpa kenal lelah terus menggembalakan domba untuk mendapatkan biaya pendaft
Plaak!Pukulan tangan Hirawan ditangkis seseorang."Jangan beraninya sama anak yang lemah! Lawan aku kalau berani!"Di hadapan Hirawan, kini berdiri pemuda berumur 15 tahun tapi mengenakan pakaian pendekar yang menyerupai bangsawan."Tidak perlu Tuan Muda yang melawannya, biar aku saja!" seru seorang gadis cantik yang juga seumuran dengan Tuan Mudanya ini."Siapa kalian? Kenapa ikut campur dengan urusanku! Aku hanya menyingkirkan anak cacat yang tidak berguna ini! Tidak semestinya kalian mencampuri urusanku!" seru Hirawan dengan sombongnya."Bagaimana, Tuan Muda? Apa aku patahkan tangan kirinya saja biar sama dengan pemuda cacat yang kehilangan tangan kirinya ini?" tanya gadis pelayan Tuan Muda ini."Bangs*t kalian! Aku tidak peduli siapa kalian! Berani mencampuri urusan kami berarti cari mati! Kalian tidak tahu siapa orangtuaku!" seru Iravan dengan sombongnya."Buat apa kita tahu siapa orang tuanya? Hanya pengecut yang berani mengandalkan orangtua saat nyawanya terancam!" ujar gadis
"Kek!" sapa Rawindra yang membawa Sagara dan Adista ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan dombanya tapi kakeknya tidak ada di tempat.Sayangnya, pria tua itu tak terlihat di mana pun.Hanya ada domba-domba di sana tampak ditinggal sendiri tanpa pengawasan.Ini bukan kebiasaan kakeknya!"Kok kita ke padang rumput penuh domba ini, Windra?" tanya Sagara tiba-tiba."Aku mau mengabari kakek dahulu, Sagara! Tapi, kakek kemana, ya? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini?" tanya Rawindra yang agak bingung melihat sekelilingnya. Namun, setelah sekian lama menunggu, kakeknya masih belum kembali."Kita ke rumahmu saja, Windra! Mungkin kakekmu ada di sana!" saran Sagara akhirnya.Rawindra mengangguk lemas. "Seharusnya kakek masih berada di sini untuk menggembalakan domba! Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi pada kakek!" sahutnya.Kening Sagara dan Adista mengerut."Kalau begitu, kita harus bergegas ke rumahmu, Windra! Semoga kakekmu baik-baik saja di sana!" ajak gadis pela
Rawindra menatap kakeknya dengan pandangan yang aneh saat kakeknya menanyakan jumlah domba yang ada saat dia tidak menjumpai kakeknya di padang rumput ini."Untuk apa kakek menanyakan jumlah domba yang ada di padang rumput saat kakek tidak ada? Apa ada domba yang hilang, Kek?" tanya Rawindra."Jawab dahulu pertanyaan kakek tadi barulah kamu boleh mengajukan pertanyaan!" sahut Ki Bratajaya."Tunggu dulu, Kek! Windra baru sadar tadi ada yang aneh dengan jumlah domba di padang rumput ini! Tadi, banyak sekali domba yang ada memenuhi seluruh padang rumput, sedangkan sekarang hanya sedikit domba yang ada!" ujar Rawindra."Kamu tahu kalau domba yang sekarang adalah domba yang sebenarnya yang kita gembalakan ke tengah padang rumput!" kata Ki Bratajaya, yang mulai memahami arti kesalah pahaman antara dirinya dengan Rawindra mengenai keberadaannya di padang rumput ini."Tadi banyak Kek! Aku tidak bohong!" tegas Rawindra."Kakek tidak bilang kalau kamu bohong, Rawindra!" sahut Ki Bratajaya."Lan
Di sisi lain, Hirawan dan Iravan menjadi cacat akibat serangan Sagara dan Adista.Keduanya tidak mampu lagi meningkatkan tenaga dalam mereka serta berlatih ilmu bela diri.Namun, mereka tidak berani melampiaskan dendam mereka karena jabatan orang tua Sagara jauh melampaui jabatan orangtua mereka.Bahkan, ayah dan ibu mereka justru menyarankan Hirawan dan Iravan untuk minta maaf kepada Sagara.Orang tua mereka lebih takut diberhentikan oleh orangtua Sagara akibat kesalahan anaknya.Hal ini membuat dua bocah nakal itu marah.Sasaran balas dendam mereka adalah Rawindra yang dianggap sebagai sumber kemalangan mereka."Kita harus membalaskan sakit hati kita, Van!" seru Hirawan kepada Iravan yang masih kesulitan berjalan akibat hilangnya semua titik pengolahan tenaga dalam."Benar Wan! Kita harus melenyapkan pemuda cacat itu! Kalau bukan karena dia, tidak mungkin Tuan Muda Sagara membuat kita jadi seperti sekarang ini!" sahut Iravan."Kamu tahu rumah gembel itu?" tanya Hirawan yang juga kes
"Arrgh!" teriak Hirawan yang merasakan sakit yang luar biasa pada tangan kirinya, "Bangs*t kau, gembel! Hajar dia, Van! Belum sempat memproses, Iravan terpaksa langsung maju dan memukuli Rawindra bertubi-tubi! Anehnya, kekuatan tersembunyi Rawindra tidak keluar lagi untuk melindungi bocah penggembala itu. "Mampus kau, gembel! Kakekmu tidak akan bisa menolongmu kali ini! Hahaha!" seru Hirawan yang tertawa girang melihat Rawindra yang babak belur dipukul oleh Iravan. "Aku rasa sudah cukup Wan kita menghajar gembel ini!" sahut Iravan. "Apa katamu? Sudah cukup? Dia mematahkan tangan kananku, apa yang sudah cukup? Aku harus mematahkan tangan kanannya biar impas!" Hirawan yang sudah kesetanan, benar-benar kehilangan hati nuraninya. Hal ini membuat Iravan menggelengkan kepala. "Jangan Wan! Kasihan dia! Tangannya hanya satu! Lagian kan bukan dia yang membuat kita cacat tapi dua temannya itu!" "Aku tidak mau tahu! Pokoknya bagiku, gembel ini yang membuat kita cacat ... dia juga mematah
Rawindra bagaikan ketangkap basah melakukan perbuatan terlarang saat ditanya oleh Sagara.Dia tidak tahu harus menjawab apa terhadap sahabatnya ini."Aku tidak menggunakan ilmu bela diriku karena sudah janji sama kakek tidak akan digunakan untuk berkelahi, tapi hanya untuk membela diri saja!" ujar Rawindra akhirnya. "Hahaha ... kamu ini terlalu penurut dan jujur, Windra! Tadi kamu diserang, kalau kamu membalas artinya kamu membela diri! Jadi, ilmu bela dirimu bisa digunakan!" sahut Sagara sambil tertawa. "Jadi, kalau tadi aku melawan mereka ... itu tidak salah?" tanya Rawindra. "Tidak, Windra! Situasimu tadi adalah nyawamu terancam, jadi kamu berhak menyerang balik!" jelas Sagara. "Tapi bagus juga sih aku tidak menyerang mereka, jadi tidak ada dendam dari mereka terhadapku!" elak Rawindra. "Ya sudah! Lupakan saja orang tidak penting itu! Sekarang, apa kamu masih mau belajar teknik bela diri sama Adista? Biar dia yang mengajarimu!" Rawindra terdiam. Namun, ia teringat sesuatu. "A
TRANG! TRANG! Rawindra mati-matian menahan kekuatan serangan pedang yang dilakukan oleh gadis berpakaian merah yang sudah kalap ingin melukai Rawindra untuk membuatnya jera. "Nona! Ini hanya pertarungan biasa, jangan terlalu serius!" seru Sagara yang cemas melihat serangan tanpa henti yang dilakukan gadis ini dengan kekuatan penuh. "Tidak apa-apa, Kak Sagara! Aku masih bisa mengatasinya!" sahut Rawindra. Walaupun terlihat kalau Rawindra terdesak hebat oleh serangan pedang gadis berpakaian merah yang penuh kemarahan ini, pemuda ini tetap tenang dan masih bisa berbicara dengan Sagara. Kondisi ini semakin membuat gadis berpakaian merah ini marah besar dan meningkatkan serangannya. Saat mulai terdesak hebat, kekuatan tersembunyi Rawindra muncul dan mementalkan gadis berpakaian merah hingga beberapa langkah ke belakang dengan pedangnya yang terlepas dari tangannya. "Kekuatan apa itu? Kenapa kamu bisa tiba-tiba sekuat itu?" tanya gadis berpakaian merah ini keheranan. "Kamu sudah ka