Share

Perjalanan Pendekar Tangan Satu
Perjalanan Pendekar Tangan Satu
Author: Zhu Phi

01. Anak Penggembala Domba

"Rawindra! Cepat ke sini!'  

Mendengar namanya dipanggil, remaja laki-laki yang tangan kirinya cacat itu sontak menoleh pada sang kakek yang juga sedang menggembala domba.

Segera, ia menggelengkan kepala dan masih berlari. "Sebentar Kek! Windra lagi berusaha tangkap domba yang kabur, Kek!"

"Sudah! Biarkan saja! Nanti dia bisa pulang sendiri!" teriak kakeknya lagi.

"Tanggung, Kek! Windra sudah hampir berhasil!" sahut Rawindra ini–mengabaikan larangan pria tua yang masih kelihatan bugar itu. 

Hal ini membuat sang kakek kesal. "Astaga! Tanganmu hanya satu, Rawindra! Tidak akan berhasil menangkap anak domba yang gesit itu! Biarkan saja!'

Namun, Rawindra masih terus bersikeras.

Pemuda berusia 15 tahun itu memang pantang menyerah. Ia juga tak ingin dikasihani hanya karena tangan kirinya yang cacat oleh siapapun, termasuk sang kakek.

Hanya saja…

Bugh!

Domba kecil yang berusaha ditangkapnya dengan mudah lolos dari sergapan Rawindra–membuat kepala pemuda ini terbentur batu besar di atas tanah ini.

“Arrgh!”

Rawindra berteriak kesakitan. Kepalanya sedikit benjol, bahkan bahkan ada sedikit luka di dalamnya!

Melihat itu, sang kakek berlari kencang ke arah Rawindra. "Sudah kakek bilang, lupakan saja anak domba ini ... tapi kamu masih saja membandel!" gerutunya bercampur cemas.

Sementara itu, Rawindra berjalan agak terhuyung-huyung ke arah kakeknya karena rasa pusing yang dideritanya akibat kepalanya yang terbentur.

Untungnya, anak domba yang berusaha ditangkapnya sudah bergabung kembali dengan kelompok domba yang sedang makan rumput di padang rumput luas ini.

"Tidak apa-apa, Kek! Paling tidak, anak domba ini tidak kabur jauh-jauh!" ujar Rawindra.

Sang kakek tersenyum melihat tubuh Rawindra yang belepotan lumpur akibat terjatuh di kubangan lumpur saat berusaha menangkap anak domba tadi. "Kalau ayahmu masih hidup, tentu dia akan bangga denganmu yang telah serius menjalankan warisan pekerjaannya!"

"Apa ayahku juga penggembala domba, Kek?!" tanya Rawindra dengan rasa penasaran yang tinggi.

"Benar sekali! Tapi domba-domba ini bukan kepunyaan kita karena kita hanya dibayar untuk menggembalakannya saja, Windra!" sahut kakeknya.

"Kenapa kita tidak bisa mempunyai domba sendiri, Kek?' tanya Rawindra.

"Kita tidak mampu untuk membeli anak domba untuk kita gembalakan sendiri, Rawindra! Jadi, kita hanya bisa menggembalakan domba milik orang lain!"

Rawindra hanya manggut-manggut saja tanpa mengerti apa yang dibicarakan oleh kakeknya ini.

"Kek …." ucap Rawindra tiba-tiba. Nadanya begitu sopan.

Sang kakek bahkan sampai menaruh curiga akibat perubahan sikap mendadak sang cucu. "Ada apa, Windra? Tidak biasanya kamu menyapa kakek seperti itu?"

"Apa aku boleh mendaftar di Perguruan Pedang Patah, Kek?"

Mata pria tua itu membulat. "Benar dugaanku, anak ini ada maunya" pikirnya dalam hati.

Siapapun tahu Perguruan Pedang Patah merupakan perguruan pedang yang sangat terkenal dan disegani di desanya.

Meski letaknya di tengah pulau, lokasinya tidak bisa terjamah oleh siapapun, kecuali oleh anggota perguruan itu sendiri.

Dan tiap tahun … Perguruan Pedang Patah membuka pendaftaran bagi anggota-anggota baru yang ingin belajar di perguruan tersebut asalkan bisa lolos dari seleksi yang berat.

Batas pendaftaran tinggal beberapa minggu lagi–sebelum kapal yang membawa calon anggota perguruan ini berangkat ke Pulau Pedang, yang menjadi  markas utama dari Perguruan Pedang Patah ini.

Sang kakek menghela napas. Kecemasan muncul lagi di wajahnya. "Buat apa kamu mendaftar di perguruan itu, Windra? Apa kamu yakin akan diterima di perguruan tersebut dengan kondisi tanganmu yang seperti ini?" tanyanya sembari memperhatikan tubuh Rawindra.

Selain tangan kirinya cacat, pemuda itu juga tidak memiliki dasar ilmu bela diri sama sekali.

Rawindra sontak melihat pasrah ke arah tangan kirinya yang buntung.

Kata kakeknya, tangan Rawindra ini sudah cacat sejak lahir.

Sedangkan ingatan Rawindra tentang masa kecilnya, sudah hilang sama sekali tanpa dia tahu sebabnya.

Hal itu seketika membuatnya penasaran.

Sudah sejak lama, ia ingin menanyakan kondisi dirinya kepada kakeknya ini.

"Kek ... kenapa ingatanku tentang masa kecilku tidak ada sama sekali, ya? Bahkan, aku tidak tahu sama sekali wajah ayah dan ibuku! Aku hanya tahu wajah kakek saja."

Wajah sang kakek tiba-tiba tampak panik. Namun, pria itu dapat segera menyembunyikannya.  "Kakek juga tidak tahu, Windra! Mungkin ini karena kamu pernah terjatuh dan terbentur sesuatu saat kecil, sehingga ingatanmu hilang," elaknya.

"Kapan aku mulai dirawat kakek?"

"Sejak orang tuamu meninggal sekitar 5 tahun yang lalu!"

"Aneh juga ya Kek ... ingatanku yang ada juga dimulai dengan ingatan 5 tahun yang lalu setelah orang tuaku meninggal! Apa ada makam orang tuaku, Kek?' tanya Rawindra.

Kakeknya kini menjawab dengan agak hati-hati, "Tidak ada, Windra! Orangtuamu dikremasi setelah meninggal. Jadi, tidak ada makamnya sama sekali.'

Rawindra terdiam.

Sebenarnya, ia sudah merasakan keanehan dan kemisteriusan dirinya serta kejadian yang menimpa orangtuanya. Namun, dia belum menemukan bukti apa pun yang bisa menjelaskan semua kejadian masa lalunya.

"Apa kakek yang melakukan kremasi terhadap orang tuaku? Apa mereka meninggal bersamaan, Kek?" tanya Rawindra.

Rawindra terus menerus menanyakan masa lalunya, yang membuat kakeknya tidak nyaman dan mulai merasa cemas.

"Lebih baik kita menggembalakan domba ini ke arah padang rumput yang memiliki banyak rumput di ujung sana! Nanti kita bicarakan lagi masalah ini!" ucap sang kakek mendadak– menghentikan pertanyaan dari Rawindra.

Anak laki-laki itu pun tidak berani membantah karena dia tahu sifat kakeknya.

Setiap dia menanyakan masalah orang tuanya, sang kakek akan selalu menghindar. Bahkan, marah-marah!

Hanya saja, Rawindra semakin yakin ada rahasia yang disembunyikan kakeknya mengenai masa lalu dirinya dan orang tuanya dan dia harus menemukan itu.

Mungkin … salah satunya dengan menjadi pendekar yang hebat?

"Oh iya, Kek. Bagaimana dengan permintaanku untuk mendaftar ke Perguruan Pedang Patah?” tanya Rawindra lagi.

"Kakek tidak bisa mengijinkanmu untuk pergi ke sana, Rawindra! Kamu bisa menjadi bulan-bulanan peserta seleksi di Perguruan Pedang Patah!" ujar kakeknya.

"Kenapa kakek berpikir kalau aku akan menjadi bulan-bulanan di sana? Apa karena aku cacat, terus kakek pikir aku tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan di perguruan itu?" tanya Rawindra dengan perasaan sedih dan kecewa.

"Bukan itu maksud kakek! Kamu masih awam untuk jurus bela diri. Kakek khawatir kamu akan dihajar habis-habisan oleh peserta seleksi, apalagi mereka melihat dirimu yang cacat ... kamu bisa dihina habis-habisan!" jelas kakeknya. "Kita juga tidak punya uang untuk mendaftar seleksi ini, Rawindra!"

"Tapi aku ingin menjadi Pendekar Pedang Terhebat, Kek!' seru Rawindra penuh semangat. "Cacat tubuh bukanlah penghalang untuk mencapai kesuksesan, Kek! Asal kita mau berusaha, semua itu pasti ada jalan keluarnya!"

Mendengar itu, kakek penggembala domba itu hanya bisa menghela nafas panjang.

Ada perasaan tidak tega terhadap cucunya ini.

Dia tidak bisa terus-terusan mengekang keinginan Rawindra karena pemuda ini pasti mencari segala cara untuk pergi ke Pulau Pedang. Bahkan, tanpa persetujuan dirinya.

Lebih baik, jika ia melatihnya sedikit.

"Akan kakek pikirkan,” ucap pria tua itu akhirnya, “kalau memang kamu ingin mendaftar ke Perguruan Pedang Patah, kakek ingin kamu mulai rajin setiap pagi membantu kakek menggembalakan domba, dan memasukkannya kembali ke kandang pada sore hari! Kakek akan membayarmu tiap hari sampai kamu mempunyai biaya yang cukup untuk mendaftar ke perguruan tersebut!"

"Aku akan buktikan, Kek kalau pemuda cacat dan miskin masih bisa berjuang untuk menjadi anggota perguruan, asalkan diberi kesempatan untuk membuktikannya!" seru Rawindra bahagia.

Sementara itu, sang kakek hanya diam memperhatikan Rawindra.

"Tekad dan keras kepalamu mirip sekali dengan ayahmu semasa dia menjadi pendekar terkenal, Rawindra. Suatu saat, kakek akan menceritakan semuanya padamu ketika kamu sudah tidak labil,” ujar pria itu dalam hati, “karena bahaya besar akan mengancammu bila ada yang tahu siapa dirimu sebenarnya saat kau belum siap.” 

Tanpa disadari Rawindra dan penduduk Desa Matahari, kakek penggembala domba yang terlihat tak berbahaya ini menguasai ilmu Kanuragan tingkat tinggi.

Tak ada yang tahu nama aslinya. Semua masa lalunya disimpannya agar tidak memancing musuh besarnya muncul.

Bahkan, Ki Bratajaya tidak mengajari Rawindra dasar-dasar ilmu bela diri juga agar cucunya ini hidup sebagai penduduk desa biasa saja.

Semua demi keselamatan Rawindra. Sayangnya, darah pendekar yang dimilikinya–tanpa disadari telah membuat anak muda itu tertarik kepada ilmu bela diri.

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Madha
seru habis
goodnovel comment avatar
New Tristan
Seru habis
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status