Seperti janjinya, Rawindra kini penuh semangat setiap bangun.
Pagi-pagi sekali, ia mulai menggembalakan domba-domba yang dititipkan pemilik domba untuk digembalakan ke padang rumput.
Tujuannya hanya satu: mengumpulkan biaya untuk mendaftar seleksi penerimaan anggota Perguruan Pedang Patah di Desa Matahari.
Batas waktu pendaftaran yang tinggal seminggu lagi membuat Rawindra terus bersemangat membantu kakeknya agar mendapatkan biaya yang cukup untuk mendaftar masuk ke Perguruan Pedang Patah.
Meski demikian, Rawindra agak cemas.
Apakah kakeknya benar-benar akan membayarnya untuk tugas yang sebenarnya menjadi kewajibannya sehari-hari?
Rawindra berusaha menepis pikiran buruknya. "Aku harus berhasil mendaftar dan lolos seleksi Perguruan Pedang Patah ini!" tekadnya dalam hati.
Sementara itu, Kakek penggembala domba memperhatikan Rawindra dari jauh.
Sejujurnya, dia sangat senang melihat Rawindra yang sangat rajin dan tanpa kenal lelah terus menggembalakan domba untuk mendapatkan biaya pendaftaran ke Perguruan Pedang Patah.
“Orang tuamu pasti bangga bila melihat dirimu, Nak,” gumam Ki Bratajaya sembari melatih pernapasannya.
******
"Kamu sudah membuktikan tekadmu ... kakek tidak bisa mencegahmu lagi. Ini bayaranmu selama tiga hari terakhir ini!" ujar kakeknya pada Rawindra tiga hari kemudian.
Tanpa diketahui olehnya, Ki Bratajaya memutuskan membiarkannya mendaftar ke Perguruan Pedang Patah agar Rawindra tidak terus bertanya tentang masa lalunya.
Lagipula, tanpa ilmu bela diri, Rawindra akan gugur di awal penerimaan seleksi.
Ki Bratajaya berharap sang cucu tidak akan berminat lagi untuk mencoba ilmu bela diri nantinya.
"Terima kasih, Kek!" seru Rawindra penuh kegembiraan.
"Pergilah ke alun-alun desa untuk mendaftar masuk seleksi perguruan, biar kamu bisa berangkat ke Pulau Pedang mengikuti seleksi. Tapi, jangan berkecil hati ya kalau ditolak!" ujar kakeknya berusaha memperkuat mental Rawindra.
Tanpa disuruh dua kali, Rawindra langsung berlari ke arah alun-alun desa dengan semangat yang tinggi.
Ia berharap bisa mendaftarkan dirinya secepat mungkin sebelum pendaftaran ditutup.
Namun begitu tiba, alun-alun desa sudah sangat ramai oleh pengunjung yang hendak mendaftar masuk seleksi.
"Wah! Ramai sekali!" seru Rawindra sambil berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke tempat pendaftaran.
Antriannya mengular!
Mata Rawindra tak lepas dari tempat pendaftaran seleksi Perguruan Pedang Patah saja sampai beberapa barang dagangan di pinggir jalan tertabrak olehnya tanpa sengaja.
"Aku harus bersabar menunggu agar bisa mendaftar seleksi hari ini. Semoga saja tidak ada halangan yang berarti!" harap Rawindra.
Sayangnya, harapan Rawindra tinggallah harapan belaka.
Persaingan yang ketat kadang membuat peserta lainnya berusaha menjatuhkan mental peserta pendaftaran lainnya agar mengundurkan diri sebelum mendaftar seleksi Perguruan Pedang Patah.
"Lihat! Ada anak cacat mau mendaftar masuk seleksi!' seru salah satu pemuda yang seumuran dengan Rawindra.
"Nekad sekali anak cacat itu, Wan!" ujar pemuda satu lagi kepada Hirawan yang merupakan anak orang kaya di Desa Matahari.
"Benar! Bikin malu saja gembel yang satu ini!" sahutnya lagi.
Ia menghampiri Rawindra, lalu mencengkram kerah baju anak itu. "Hei, anak gembel! Siapa namamu?"
Hal ini membuat Rawindra terkejut.
Ia memang jarang berkeliaran di pusat Desa Matahari dan jarang bergaul dengan anak-anak yang sepantaran dengan dirinya.
Apalagi, kondisi tubuhnya yang cacat dan hanya memiliki satu tangan membuat dia merasa malu untuk berteman dengan anak-anak lainnya.
Tubuh Rawindra agak gemetaran. "A-Aku ...!" sahutnya gugup.
"Sudah cacat, gagap pula! Berani-beraninya kamu mendaftarkan diri ke Perguruan Pedang Patah! Bikin malu Desa Matahari saja! Dasar anak cacat tidak punya kemampuan" seru Hirawan yang terus menghina Rawindra.
"Aku ingin menjadi Pendekar Pedang Terhebat, Kak!" sahut Rawindra setelah gugupnya hilang.
Kepercayaan dirinya kembali pulih.
Dia tidak boleh gentar hanya karena sekelompok anak-anak muda seusia dirinya yang menghinanya habis-habisan terutama menghina kecacatan dirinya.
Rawindra harus membuktikan kalau dia mampu untuk bersaing dengan anak-anak muda yang normal tanpa cacat sedikitpun seperti dirinya!
“HAHAHA ….”
Suara tawa seketika pecah setelah mendengar pengakuan Rawindra.
"Pegang pedang saja tidak bisa, bagaimana mau menjadi Pendekar Pedang? Dasar tidak tahu diri! Cuih!"
Kini anak lainnya yang bernama Iravan menghina Rawindra lebih sadis lagi.
"Jangan menghinaku, Kak! Walaupun cacat, aku tidak pernah merugikan kakak!' sahut Rawindra yang mulai memberanikan diri melawan perundungan yang dilakukan oleh Hirawan dan Iravan ini.
"Berani melawan kami ya kamu, anak cacat! dasar gembel tidak tahu diri!"
Bugh!
Sebuah tendangan dari Iravan mendarat di dada Rawindra, membuat pemuda ini terpental menabrak tembok pembatas.
“Uhuk!” Rawindra yang lemah langsung batuk darah akibat tendangan Iravan.
Tidak adanya tenaga dalam sedikitpun di dalam tubuhnya membuat Rawindra merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya.
"Kenapa kalian begitu kejam? Apa salahku terhadap kalian?" tanya Rawindra yang tidak tampak takut lagi terhadap Hirawan dan Iravan.
"Apa salahmu? Mendaftar jadi peserta seleksi Perguruan Pedang Patah dengan kondisi cacat tubuhmu adalah suatu kesalahan besar yang tidak bisa diampuni! Kamu telah mencoreng nama Desa Matahari dengan keikutsertaanmu dalam seleksi perguruan ini!" sahut Iravan.
"Pulang sana, anak cacat! Sudah cacat, lemah lagi! Tidak pantas kamu mendaftar menjadi peserta seleksi Perguruan Pedang Patah!" seru Hirawan.
Tangan Hirawan sudah siap memukul wajah Rawindra yang tidak kuasa melawan pengeroyoknya ini.
Pukulan penuh tenaga dalam yang bisa saja mengakhiri hidup Rawindra untuk selama-lamanya karena kondisi tubuhnya yang sangat lemah sekarang ini tidak akan sanggup menahan pukulan Hirawan.
Plaak!
Plaak!Pukulan tangan Hirawan ditangkis seseorang."Jangan beraninya sama anak yang lemah! Lawan aku kalau berani!"Di hadapan Hirawan, kini berdiri pemuda berumur 15 tahun tapi mengenakan pakaian pendekar yang menyerupai bangsawan."Tidak perlu Tuan Muda yang melawannya, biar aku saja!" seru seorang gadis cantik yang juga seumuran dengan Tuan Mudanya ini."Siapa kalian? Kenapa ikut campur dengan urusanku! Aku hanya menyingkirkan anak cacat yang tidak berguna ini! Tidak semestinya kalian mencampuri urusanku!" seru Hirawan dengan sombongnya."Bagaimana, Tuan Muda? Apa aku patahkan tangan kirinya saja biar sama dengan pemuda cacat yang kehilangan tangan kirinya ini?" tanya gadis pelayan Tuan Muda ini."Bangs*t kalian! Aku tidak peduli siapa kalian! Berani mencampuri urusan kami berarti cari mati! Kalian tidak tahu siapa orangtuaku!" seru Iravan dengan sombongnya."Buat apa kita tahu siapa orang tuanya? Hanya pengecut yang berani mengandalkan orangtua saat nyawanya terancam!" ujar gadis
"Kek!" sapa Rawindra yang membawa Sagara dan Adista ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan dombanya tapi kakeknya tidak ada di tempat.Sayangnya, pria tua itu tak terlihat di mana pun.Hanya ada domba-domba di sana tampak ditinggal sendiri tanpa pengawasan.Ini bukan kebiasaan kakeknya!"Kok kita ke padang rumput penuh domba ini, Windra?" tanya Sagara tiba-tiba."Aku mau mengabari kakek dahulu, Sagara! Tapi, kakek kemana, ya? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini?" tanya Rawindra yang agak bingung melihat sekelilingnya. Namun, setelah sekian lama menunggu, kakeknya masih belum kembali."Kita ke rumahmu saja, Windra! Mungkin kakekmu ada di sana!" saran Sagara akhirnya.Rawindra mengangguk lemas. "Seharusnya kakek masih berada di sini untuk menggembalakan domba! Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi pada kakek!" sahutnya.Kening Sagara dan Adista mengerut."Kalau begitu, kita harus bergegas ke rumahmu, Windra! Semoga kakekmu baik-baik saja di sana!" ajak gadis pela
Rawindra menatap kakeknya dengan pandangan yang aneh saat kakeknya menanyakan jumlah domba yang ada saat dia tidak menjumpai kakeknya di padang rumput ini."Untuk apa kakek menanyakan jumlah domba yang ada di padang rumput saat kakek tidak ada? Apa ada domba yang hilang, Kek?" tanya Rawindra."Jawab dahulu pertanyaan kakek tadi barulah kamu boleh mengajukan pertanyaan!" sahut Ki Bratajaya."Tunggu dulu, Kek! Windra baru sadar tadi ada yang aneh dengan jumlah domba di padang rumput ini! Tadi, banyak sekali domba yang ada memenuhi seluruh padang rumput, sedangkan sekarang hanya sedikit domba yang ada!" ujar Rawindra."Kamu tahu kalau domba yang sekarang adalah domba yang sebenarnya yang kita gembalakan ke tengah padang rumput!" kata Ki Bratajaya, yang mulai memahami arti kesalah pahaman antara dirinya dengan Rawindra mengenai keberadaannya di padang rumput ini."Tadi banyak Kek! Aku tidak bohong!" tegas Rawindra."Kakek tidak bilang kalau kamu bohong, Rawindra!" sahut Ki Bratajaya."Lan
Di sisi lain, Hirawan dan Iravan menjadi cacat akibat serangan Sagara dan Adista.Keduanya tidak mampu lagi meningkatkan tenaga dalam mereka serta berlatih ilmu bela diri.Namun, mereka tidak berani melampiaskan dendam mereka karena jabatan orang tua Sagara jauh melampaui jabatan orangtua mereka.Bahkan, ayah dan ibu mereka justru menyarankan Hirawan dan Iravan untuk minta maaf kepada Sagara.Orang tua mereka lebih takut diberhentikan oleh orangtua Sagara akibat kesalahan anaknya.Hal ini membuat dua bocah nakal itu marah.Sasaran balas dendam mereka adalah Rawindra yang dianggap sebagai sumber kemalangan mereka."Kita harus membalaskan sakit hati kita, Van!" seru Hirawan kepada Iravan yang masih kesulitan berjalan akibat hilangnya semua titik pengolahan tenaga dalam."Benar Wan! Kita harus melenyapkan pemuda cacat itu! Kalau bukan karena dia, tidak mungkin Tuan Muda Sagara membuat kita jadi seperti sekarang ini!" sahut Iravan."Kamu tahu rumah gembel itu?" tanya Hirawan yang juga kes
"Arrgh!" teriak Hirawan yang merasakan sakit yang luar biasa pada tangan kirinya, "Bangs*t kau, gembel! Hajar dia, Van! Belum sempat memproses, Iravan terpaksa langsung maju dan memukuli Rawindra bertubi-tubi! Anehnya, kekuatan tersembunyi Rawindra tidak keluar lagi untuk melindungi bocah penggembala itu. "Mampus kau, gembel! Kakekmu tidak akan bisa menolongmu kali ini! Hahaha!" seru Hirawan yang tertawa girang melihat Rawindra yang babak belur dipukul oleh Iravan. "Aku rasa sudah cukup Wan kita menghajar gembel ini!" sahut Iravan. "Apa katamu? Sudah cukup? Dia mematahkan tangan kananku, apa yang sudah cukup? Aku harus mematahkan tangan kanannya biar impas!" Hirawan yang sudah kesetanan, benar-benar kehilangan hati nuraninya. Hal ini membuat Iravan menggelengkan kepala. "Jangan Wan! Kasihan dia! Tangannya hanya satu! Lagian kan bukan dia yang membuat kita cacat tapi dua temannya itu!" "Aku tidak mau tahu! Pokoknya bagiku, gembel ini yang membuat kita cacat ... dia juga mematah
Rawindra bagaikan ketangkap basah melakukan perbuatan terlarang saat ditanya oleh Sagara.Dia tidak tahu harus menjawab apa terhadap sahabatnya ini."Aku tidak menggunakan ilmu bela diriku karena sudah janji sama kakek tidak akan digunakan untuk berkelahi, tapi hanya untuk membela diri saja!" ujar Rawindra akhirnya. "Hahaha ... kamu ini terlalu penurut dan jujur, Windra! Tadi kamu diserang, kalau kamu membalas artinya kamu membela diri! Jadi, ilmu bela dirimu bisa digunakan!" sahut Sagara sambil tertawa. "Jadi, kalau tadi aku melawan mereka ... itu tidak salah?" tanya Rawindra. "Tidak, Windra! Situasimu tadi adalah nyawamu terancam, jadi kamu berhak menyerang balik!" jelas Sagara. "Tapi bagus juga sih aku tidak menyerang mereka, jadi tidak ada dendam dari mereka terhadapku!" elak Rawindra. "Ya sudah! Lupakan saja orang tidak penting itu! Sekarang, apa kamu masih mau belajar teknik bela diri sama Adista? Biar dia yang mengajarimu!" Rawindra terdiam. Namun, ia teringat sesuatu. "A
TRANG! TRANG! Rawindra mati-matian menahan kekuatan serangan pedang yang dilakukan oleh gadis berpakaian merah yang sudah kalap ingin melukai Rawindra untuk membuatnya jera. "Nona! Ini hanya pertarungan biasa, jangan terlalu serius!" seru Sagara yang cemas melihat serangan tanpa henti yang dilakukan gadis ini dengan kekuatan penuh. "Tidak apa-apa, Kak Sagara! Aku masih bisa mengatasinya!" sahut Rawindra. Walaupun terlihat kalau Rawindra terdesak hebat oleh serangan pedang gadis berpakaian merah yang penuh kemarahan ini, pemuda ini tetap tenang dan masih bisa berbicara dengan Sagara. Kondisi ini semakin membuat gadis berpakaian merah ini marah besar dan meningkatkan serangannya. Saat mulai terdesak hebat, kekuatan tersembunyi Rawindra muncul dan mementalkan gadis berpakaian merah hingga beberapa langkah ke belakang dengan pedangnya yang terlepas dari tangannya. "Kekuatan apa itu? Kenapa kamu bisa tiba-tiba sekuat itu?" tanya gadis berpakaian merah ini keheranan. "Kamu sudah ka
"Rawindra!" panggil Sagara saat pemuda ini hendak menuju kapal yang akan membawa mereka ke Pulau Pedang. "Kak Sagara! Mana Adista?" tanya Rawindra. "Aku di sini, Windra!" sahut Adista yang kewalahan membawakan barang-barang Sagara. "Hahaha! Sini aku bantu!' ujar Rawindra sambil membantu mengangkat barang-barang yang tadi dibawa Adista. Kapal yang mengangkut peserta seleksi Perguruan Pedang Patah ini sangat besar karena mengangkut banyak peserta seleksi yang juga berasal dari daerah-daerah sekitar Desa Matahari. "Berapa lama perjalanan dengan kapal ini?" tanya Rawindra. "Hanya beberapa jam saja kalau tidak salah, tapi pemandangan lautnya sangat indah! Itu yang pernah kudengar dari peserta seleksi sebelumnya yang telah pulang ke Desa Matahari!" sahut Adista. "Wah! Ramai sekali!" seru Rawindra yang mulai merasa kecil di antara banyaknya pesrta seleksi yang cukup sempurna yang mungkin akan dihadapinya saat seleksi di Pulau Pedang. Untungnya, perjalanannya cepat dan terasa menyenan