Share

02. Terhina Habis-Habisan

Seperti janjinya, Rawindra kini penuh semangat setiap bangun.

Pagi-pagi sekali, ia mulai menggembalakan domba-domba yang dititipkan pemilik domba untuk digembalakan ke padang rumput.

Tujuannya hanya satu: mengumpulkan biaya untuk mendaftar seleksi penerimaan anggota Perguruan Pedang Patah di Desa Matahari.

Batas waktu pendaftaran yang tinggal seminggu lagi membuat Rawindra terus bersemangat membantu kakeknya agar mendapatkan biaya yang cukup untuk mendaftar masuk ke Perguruan Pedang Patah.

Meski demikian, Rawindra agak cemas.

Apakah kakeknya benar-benar akan membayarnya untuk tugas yang sebenarnya menjadi kewajibannya sehari-hari?

Rawindra berusaha menepis pikiran buruknya. "Aku harus berhasil mendaftar dan lolos seleksi Perguruan Pedang Patah ini!" tekadnya dalam hati.

Sementara itu, Kakek penggembala domba memperhatikan Rawindra dari jauh.

Sejujurnya, dia sangat senang melihat Rawindra yang sangat rajin dan tanpa kenal lelah terus menggembalakan domba untuk mendapatkan biaya pendaftaran ke Perguruan Pedang Patah.

“Orang tuamu pasti bangga bila melihat dirimu, Nak,” gumam Ki Bratajaya sembari melatih pernapasannya.

******

"Kamu sudah membuktikan tekadmu ... kakek tidak bisa mencegahmu lagi. Ini bayaranmu selama tiga hari terakhir ini!" ujar kakeknya pada Rawindra tiga hari kemudian.

Tanpa diketahui olehnya, Ki Bratajaya memutuskan membiarkannya mendaftar ke Perguruan Pedang Patah agar Rawindra tidak terus bertanya tentang masa lalunya.

Lagipula, tanpa ilmu bela diri, Rawindra akan gugur di awal penerimaan seleksi.

Ki Bratajaya berharap sang cucu tidak akan berminat lagi untuk mencoba ilmu bela diri nantinya.

"Terima kasih, Kek!" seru Rawindra penuh kegembiraan.

"Pergilah ke alun-alun desa untuk mendaftar masuk seleksi perguruan, biar kamu bisa berangkat ke Pulau Pedang mengikuti seleksi. Tapi, jangan berkecil hati ya kalau ditolak!" ujar kakeknya berusaha memperkuat mental Rawindra.

Tanpa disuruh dua kali, Rawindra langsung berlari ke arah alun-alun desa dengan semangat yang tinggi.

Ia berharap bisa mendaftarkan dirinya secepat mungkin sebelum pendaftaran ditutup.

Namun begitu tiba, alun-alun desa sudah sangat ramai oleh pengunjung yang hendak mendaftar masuk seleksi.

"Wah! Ramai sekali!" seru Rawindra sambil berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke tempat pendaftaran.

Antriannya mengular!

Mata Rawindra tak lepas dari tempat pendaftaran seleksi Perguruan Pedang Patah saja sampai beberapa barang dagangan di pinggir jalan tertabrak olehnya tanpa sengaja.

"Aku harus bersabar menunggu agar bisa mendaftar seleksi hari ini. Semoga saja tidak ada halangan yang berarti!" harap Rawindra.

Sayangnya, harapan Rawindra tinggallah harapan belaka.

Persaingan yang ketat kadang membuat peserta lainnya berusaha menjatuhkan mental peserta pendaftaran lainnya agar mengundurkan diri sebelum mendaftar seleksi Perguruan Pedang Patah.

"Lihat! Ada anak cacat mau mendaftar masuk seleksi!' seru salah satu pemuda yang seumuran dengan Rawindra.

"Nekad sekali anak cacat itu, Wan!" ujar pemuda satu lagi kepada Hirawan yang merupakan anak orang kaya di Desa Matahari.

"Benar! Bikin malu saja gembel yang satu ini!" sahutnya lagi.

Ia menghampiri Rawindra, lalu mencengkram kerah baju anak itu. "Hei, anak gembel! Siapa namamu?"

Hal ini membuat Rawindra terkejut.

Ia memang jarang berkeliaran di pusat Desa Matahari dan jarang bergaul dengan anak-anak yang sepantaran dengan dirinya.

Apalagi, kondisi tubuhnya yang cacat dan hanya memiliki satu tangan membuat dia merasa malu untuk berteman dengan anak-anak lainnya.

Tubuh Rawindra agak gemetaran. "A-Aku ...!" sahutnya gugup.

"Sudah cacat, gagap pula! Berani-beraninya kamu mendaftarkan diri ke Perguruan Pedang Patah! Bikin malu Desa Matahari saja! Dasar anak cacat tidak punya kemampuan" seru Hirawan yang terus menghina Rawindra.

"Aku ingin menjadi Pendekar Pedang Terhebat, Kak!" sahut Rawindra setelah gugupnya hilang.

Kepercayaan dirinya kembali pulih.

Dia tidak boleh gentar hanya karena sekelompok anak-anak muda seusia dirinya yang menghinanya habis-habisan terutama menghina kecacatan dirinya.

Rawindra harus membuktikan kalau dia mampu untuk bersaing dengan anak-anak muda yang normal tanpa cacat sedikitpun seperti dirinya!

“HAHAHA ….”

Suara tawa seketika pecah setelah mendengar pengakuan Rawindra.

"Pegang pedang saja tidak bisa, bagaimana mau menjadi Pendekar Pedang? Dasar tidak tahu diri! Cuih!"

Kini anak lainnya yang bernama Iravan menghina Rawindra lebih sadis lagi.

"Jangan menghinaku, Kak! Walaupun cacat, aku tidak pernah merugikan kakak!' sahut Rawindra yang mulai memberanikan diri melawan perundungan yang dilakukan oleh Hirawan dan Iravan ini.

"Berani melawan kami ya kamu, anak cacat! dasar gembel tidak tahu diri!"

Bugh!

Sebuah tendangan dari Iravan mendarat di dada Rawindra, membuat pemuda ini terpental menabrak tembok pembatas.

“Uhuk!” Rawindra yang lemah langsung batuk darah akibat tendangan Iravan.

Tidak adanya tenaga dalam sedikitpun di dalam tubuhnya membuat Rawindra merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya.

"Kenapa kalian begitu kejam? Apa salahku terhadap kalian?" tanya Rawindra yang tidak tampak takut lagi terhadap Hirawan dan Iravan.

"Apa salahmu? Mendaftar jadi peserta seleksi Perguruan Pedang Patah dengan kondisi cacat tubuhmu adalah suatu kesalahan besar yang tidak bisa diampuni! Kamu telah mencoreng nama Desa Matahari dengan keikutsertaanmu dalam seleksi perguruan ini!" sahut Iravan.

"Pulang sana, anak cacat! Sudah cacat, lemah lagi! Tidak pantas kamu mendaftar menjadi peserta seleksi Perguruan Pedang Patah!" seru Hirawan.

Tangan Hirawan sudah siap memukul wajah Rawindra yang tidak kuasa melawan pengeroyoknya ini.

Pukulan penuh tenaga dalam yang bisa saja mengakhiri hidup Rawindra untuk selama-lamanya karena kondisi tubuhnya yang sangat lemah sekarang ini tidak akan sanggup menahan pukulan Hirawan.

Plaak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status