"Mbak Ken ...," sapa Sumi sambil menganggukkan kepalanya. Ada sedikit rasa malu di hatinya mengingat kejadian beberapa hari lalu yang dilakukan suaminya pada Bai dan Ken saat di rumahnya.
Namun, dia sangat membutuhkan bantuan dari Bai, jadilah dia datang ke rumah Bai dan Ken untuk silaturahmi sekaligus meminta maaf. "Masuk dulu, Bu Sumi ...," ucap Ken mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah dengan senyum ramah. "Duduk, Bu." "Terima kasih, Mbak." Sumi mengangguk dan duduk di lantai dengan alas karpet yang tidak terlalu tebal, namun cukup empuk untuk diduduki. Meski Bai sendiri berasal dari keluarga yang berkecukupan, bahkan lebih dari cukup. Bai dan Ken tetap memilih hidup sederhana. Memilih fasilitas yang diberikan oleh pondok sebagai tempat tinggal pengajar yang sudah berkeluarga. Mereka tetap menerapkan tawadhu dan qonaah dalam prinsip hidupnya. "Apa kabar, Bu Sumi?" "Alhamdulillah baik, Mbak Ken," jawab Sumi tersenyum tipis. "Emm ... maaf kalau kedatangan saya mengganggu, Mbak." "Nggak kok, Bu. Santai saja," sahut Ken dengan senyum ramah. "Ini ada sedikit bingkisan untuk Ustadz Bai sama Mbak Ken." Sumi meletakkan keranjang buah yang dibawanya di atas karpet. "Aduh ... Bu, ini merepotkan. Jazakillah khoyron. Semoga keluarga Bu Sumi selalu diberi kesehatan dan keberkahan dalam hidup," balas Ken dengan seulas senyum. Lalu menyeret keranjang buah tersebut ke sampingnya. "Aamiin Ya Allah." "Kedatangan saya ke sini, pertama ... saya ingin meminta maaf atas perlakuan suami saya tempo hari. Saya benar-benar minta maaf. Saya pikir saat itu aman, karena Mas Agus jarang sekali pulang siang hari. Dia biasa pulang malam hari di atas jam sepuluh, setelah toko baksonya tutup," tutur Sumi panjang lebar dengan raut wajah yang menyiratkan perasaan bersalah. "Oh itu, tidak apa kok, Bu. Bahkan, saya dan Ustadz Bai sudah melupakan itu dan hanya menganggapnya angin lalu." Ken mengusap lengan Sumi dengan lembut. "Ya ... meski saya agak sedikit kesal saat suami Ibu mengatai suami saya hanya memeras uang orang-orang yang meminta tolong kepada kami," kekeh Ken. "Tapi, alhamdulilah ... suami saya selalu memiliki cara tersendiri untuk meredam kekesalan saya," sambungnya dengan wajah merona. "Meski begitu, saya tetap merasa tidak enak, Mbak. Karena sudah mengundang Mbak Ken dan Ustadz Bai, tapi malah diusir oleh suami saya." "Sudah-sudah, tidak perlu dibahas lagi. Lagian kita nggak apa-apa kok, Bu," ucap Ken sembari mengusap pundak Sumi. Membuat wanita berusia tiga puluh lima tahun itu mengangguk dan tersenyum. "Saya permisi ke belakang dulu. Sebentar lagi suami saya pulang dari masjid." "Iya, Mbak." Ken pun pamit ke belakang dan tak lama kembali lagi dengan membawa nampan berisi teh manis hangat dan dua toples berisi camilan kue kering. "Silakan diminum, Bu. Hanya ada ini," ujar Ken sembari meletakkan nampan di atas karpet. Lalu memindah teh manis hangat dan dua toples tersebut di atas meja. "Ini saja sudah alhamdulilah, Mbak. Terima kasih." Ken hanya mengangguk dan tersenyum. Dia pun menoleh ke arah pintu saat mendengar seseorang mengucapkan salam. "Suami saya sudah pulang," ucapnya sembari menatap Sumi dengan wajah merona dan senyum ceria di balik cadarnya. "Sebentar, ya, Bu." "Iya, Mbak Ken. Silakan," balas Sumi tersenyum. Ken pun bangkit dan membukakan pintu untuk suaminya dengan wajah ceria di balik cadar. Lalu mencium telapak tangan Bai dengan takzim. Bai pun membalasnya dengan mencium kening sang istri dengan lembut. "Kok pake cadar sih? Kan jadinya Mas nggak bisa lihat wajah cantik kamu, Sayang." Bai hendak melepas cadar yang dipakai istrinya. Namun dicegah oleh tangan Ken. "Kenapa?" tanya Bai dengan kening berkerut. "Ada Bu Sumi di sini," bisiknya di samping telinga sang Suami. Bai pun melebarkan kedua matanya dan melongok ke dalam. Dia melihat Sumi yang tengah duduk di ruang tamu rumahnya. "Oh." Bai pun masuk ke dalam rumah terlebih dulu, Ken menyusul di belakangnya. "Sudah lama, Bu Sumi?" tanya Bai yang sedikit mengejutkan Sumi ketika tengah melamun. Sumi menoleh ke arah sumber suara dengan sedikit terkejut. "Eh, Ustadz. Baru saja kok." Sumi pun meminta maaf dan mengutarakan niatnya untuk memintanya melanjutkan niat awalnya. "Bagaimana dengan suami Ibu?" tanya Bai serius. "Kita lakukan diam-diam, Ustadz. Saya penasaran dengan apa yang terjadi pada keluarga saya." "Kalau suami Ibu tahu bagaimana?" Ken kembali buka suara. "Itu biar jadi urusan saya, Ustadz, Mbak Ken. Saya sudah tidak tahan dengan semua ini. Saya ingin sembuh dan bisa menjalani kehidupan seperti manusia normal lainnya," tutur Sumi dengan isak tangis. Bai dan Ken saling pandang dan akhirnya, mereka menyanggupi permintaan Sumi. Ken pun mengajak Sumi untuk ikut makan siang bersama. "Jadi ... apa keluhan Ibu selama ini?" tanya Bai serius. "Selain sering kerasukan, saya juga kerap kali merasa ada yang berjalan di bagian perut, Ustadz.” "Kalau mimpi-mimpi aneh gitu ada?" "Iya, Ustadz. Saya sering mengalami ketindihan, juga sering didatangi laki-laki asing dan sering mimpi juga dikejar-kejar ular hitam, Ustadz. Dan semua mimpi itu terasa sangat nyata," papar Sumi serius. Bai menarik napas dalam. Lalu menoleh pada sang Istri yang duduk di sebelahnya. Ken menganggukkan kepalanya. "Oke.” Bai menganggukkan kepalanya. “Tapi ... maaf, Bu, kami belum bisa merukiyah hari ini, karena jam ini saya masih ada kelas. Jadi ... nanti kita jadwalkan untuk rukiyahnya dan kita cari sama-sama akar permasalahannya," tutur Bai. "Iya, Ustadz. Tidak apa-apa. Saya manut Ustadz saja," sahut Sumi mengangguk setuju. Setelah berbasa-basi sebentar setelah makan, Sumi pun akhirnya pamit pulang. "Mas, sepertinya ... ini bukan masalah yang sepele deh," ujar Ken pada suaminya yang hendak berangkat lagi mengajar di pondok. "Ya ... aku merasa juga begitu, Sayang. Semoga Allah memberi kemudahan dan kelancaran, ya." "Aamiin ...."“Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa
Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer
Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po
Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny
Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell
Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.