Share

Kerasukan Lagi

Penulis: Aw safitry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-10 06:12:53

Bai baru saja pulang dari masjid pesantren setelah salat Isya berjamaah. 

Dia pun berniat untuk langsung istirahat karena merasa sangat lelah menjalani aktivitas mengajar di pondok dengan jadwal yang padat. 

Bukan hanya mengajar pelajaran, namun dia juga mengajar ilmu bela diri dan terapi rukiyah. Itulah yang membuat tenaganya lebih cepat terkuras habis. 

"Mau dipijit?" tawar Ken saat melihat kelelahan di wajah sang Suami. 

"Boleh. Sebentar saja lah. Pengin langsung tidur," jawabnya dengan tetap menatap sang istri dengan senyum menawan. 

"Oke." 

Ken pun dengan senang hati memijit bahu sang Suami dengan pelan. Asal membuat tubuh Bai rileks saja. 

"Sambil setor hafalan coba, Sayang. Sudah sampai mana hafalannya?" pinta Bai sembari memejamkan kedua matanya.

"Sampai surah Yusuf kemarin, Mas. Lanjutin, ya ...."

Ken pun mulai melantunkan suaranya membaca Al-Qur'an. Hampir enam bulan dia mulai menghafal Al-Qur'an dengan fasih. Memahami setiap ayatnya dan berusaha menerapkannya dengan baik dalam kehidupannya. 

Tubuh Bai yang semakin merasa rileks membuatnya akhirnya tertidur. 

"Ya ampun ... udah tidur aja," ucap Ken dengan senyum tipis sambil memperhatikan wajah tampan suaminya.

Namun, baru lima belas menit suaminya terlelap. Ponsel Bai yang ada di atas meja dekat tempat tidurnya berdering. 

Ken yang baru saja masuk ke dalam kamarnya setelah membersihkan dirinya di kamar mandi langsung mengambil ponsel Bai dan melihat siapa yang meneleponnya. 

Keningnya berkerut saat membaca nama yang tertera di layar ponsel sang Suami. 

BU SUMI

"Ada apa Bu Sumi malam-malam telepon suami aku?" gumamnya. Dia menatap suaminya dan layar ponsel bergantian. 

Agak ragu, dia pun akhirnya menjawab telepon tersebut. 

"Assalamu'alaikum, Bu ... Sumi ...."

["Wa'alaikumsalam, Ustadzah tolong Mbak Sumi. Dia kerasukan di rumah saya."] 

Suara seorang laki-laki terdengar sangat cemas. 

Kedua bola mata Ken melebar seketika. "Hah, kerasukan? Di mana? Ini siapa? Kok pakai nomor Mbak Sumi?" tanya Ken yang juga ikut panik sampai tidak sadar, dia pun setengah berteriak. 

Membuat sang Suami yang terlelap mengerjapkan kedua matanya dan menatap istrinya dengan kening berkerut.

["Ini, Husain. Adiknya Mbak Sumi. Tolong Ustadz Bai disuruh ke sini ya, Ustadzah. Cepat tolong Mbak Sumi."] pintanya dengan penuh harap. 

"Di mana rumahnya?" 

["Tidak jauh dari Pondok Pesantren Al-Anwar. Nanti saya kirim lokasinya. Saya minta tolong sangat, Ustadzah."]

"Iya. Nanti saya dan suami ke rumah Mas Husain." 

Bai pun memicingkan kedua matanya ke arah Ken saat mendengar sang Istri menyebut nama laki-laki di depannya. Apalagi, dengan nada cemas. 

"Sayang, siapa sih?" tanya Bai penasaran. Dia kini sudah mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. 

Ken menoleh ke arah Bai setelah mematikan sambungan teleponnya. 

"Mas, gawat ini."

"Apa yang gawat?" tanya Bai dengan kening berkerut. 

Ken mendekat dan duduk di depan suaminya. "Tadi itu Mas Husain, adiknya Bu Sumi telepon. Katanya Bu Sumi kerasukan lagi di rumah adiknya." 

Kedua bola mata Bai terbuka lebar-lebar. Memaksa kesadarannya pulih seutuhnya. 

"Astaghfirullahal'adzim ... di mana rumahnya? Kita ke sana sekarang!" Bai bangkit dan langsung berlari kecil ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar hilang rasa kantuknya. 

Akhirnya, mereka pun menuju lokasi yang sebelumnya sudah dikirim oleh Husain dengan mengendarai motor matic-nya. Untung saja, jarak dari pesantren ke rumah Husain tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit perjalanan. 

Tak perlu waktu lama, Bai dan Ken sampai di lokasi yang ternyata sudah ramai sekali orang. 

"Astaghfirullahal'adzim ... kenapa jadi seramai ini, Mas?" gumam Ken sembari menatap kerumunan orang-orang yang tengah berkumpul di depan rumah Husain. 

"Nggak tahu. Tapi ... Bu Suminya di mana?" Bai mengitari pandangannya ke sekitar. Mencari keberadaan Sumi yang belum terlihat batang hidungnya. 

Hingga sebuah tawa yang sangat keras terdengar di telinganya. Dia pun mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara yang ternyata ada di atap rumah Husain. 

"Astaghfirullahal'adzim ... itu Bu Sumi, Sayang!" pekik Bai sambil menunjuk ke arah Sumi yang tengah berdiri sambil tertawa di atap rumah. 

"Astaghfirullahal'adzim ... bahaya sekali itu, Mas. Aduh ... kalau nanti Bu Sumi jatuh bagaimana?" Ken pun tak kalah panik. 

Mereka berjalan memecah kerumunan. Dan saat sampai di depan, Husain langsung menghampirinya. 

"Ustadz, tolong bantu Mbak Sumi. Saya takut sekali Mbak Sumi kenapa-kenapa, Ustadz," pinta Husain dengan menatap Bai dan Ken penuh harap. Terlihat jelas di wajahnya ada guratan kekhawatiran.

"Ya. InsyaAllah ... saya akan bantu sebisanya," sahut Bai sedikit panik. Namun, dia berusaha mengendalikannya agar tetap tenang.

Dia menatap ke arah Sumi yang tengah tertawa lagi di atap. 

"Bu Sumi, turun!" teriak Bai sembari terus mengucap dzikir sambil memutar tasbih di telapak tangannya.

"Jangan ikut campur urusanku!" balas Sumi sambil menatap tajam ke arah Bai dan Ken.

"Bu Sumi telah meminta tolong padaku. Jadi ... sudah menjadi kewajibanku untuk membantunya mengusirmu dari tubuh Bu Sumi. Ayo cepat turun dan jangan sakiti raga Bu Sumi." Bai mencoba membujuk Sumi untuk turun. 

"Tidak. Aku akan membawa raga wanita munafik ini pergi sejauh mungkin dan membuatnya mati tersiksa." Sumi tertawa melengking.

Bersamaan dengan itu, angin besar berembus sangat kencang. Hingga menjatuhkan dahan pohon mangga yang ada di belakang kerumunan. 

Refleks, semua orang menoleh ke arah belakang dan berlari menyelamatkan diri. Dan  saat Bai menoleh ke arah atap rumah Husain, Sumi sudah tidak berada di sana. 

Dia pun mengitari pandangannya ke sekitar dan dikejutkan lagi oleh suara Sumi yang ada di belakang Bai dan Ken. 

"Kamu mencariku, Ustadz Bai?" tanya Sumi dengan suara berat dan tatapan mata merah tajam. 

Tanpa aba-aba, Sumi langsung mencekik leher Bai dengan erat. Tubuh Bai yang tidak siap pun terdorong ke belakang hingga punggungnya menabrak pohon mangga yang cukup besar. 

"Siapa pun yang ikut campur dalam urusanku akan mati!" tegasnya sambil terus mencekik leher Bai hingga wajahnya memucat. 

"Lepaskan suamiku!" Ken pun langsung mencoba melepaskan cengkraman tangan Sumi dari leher suaminya. 

Namun, sayang. Dia malah jadi ikut dicekik lehernya dan dan diperlakukan seperti Bai.

Semua orang yang melihatnya pun panik dan mereka semakin ketakutan melihat hal tersebut. Mereka tidak ada yang berani mendekat. Takut jika Bai dan Ken gagal dan malah mati tercekik oleh Sumi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Tertangkap

    “Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Sebab Akibat

    Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Ketahuan

    Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Diinterogasi

    Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berbuntut Panjang

    Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kelicikan Paklek Bimo

    Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status