Share

Tuduhan Agus

Penulis: Aw safitry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-10 05:57:44

"Siapa ini, Bu?" tanya Agus dengan tatapan penuh selidik. 

Sumi bangkit dari duduknya, lalu menuntun sang Suami agar ikut duduk di sebelahnya. Tentunya dengan senyum yang seolah dipaksa. Karena terlihat jelas di wajah wanita itu jika dia tengah ketakutan. 

"Ini Ustadz Bai sama Mbak Ken istrinya. Mau silaturahmi ke sini. Mereka itu yang mengajar Anindita di pondok," jelas Sumi memperkenalkan Bai dan Ken pada Agus. 

"Betul, Pak," sahut Bai dengan senyuman dan anggukan kepala. 

Sedangkan Ken hanya membalasnya dengan anggukan kepala. 

"Terus, ada urusan apa ke sini? Apa anak saya di pondok membuat kerusuhan?" tanya Agus lagi sambil menatap Bai dan Ken serius. 

"Oh, tidak, Pak. Justru, Anindita salah satu santri yang berprestasi di kelasnya," jawab Bai. "Seperti apa yang dikatakan oleh Bu Sumi, saya ke sini hanya ingin menjalin silaturahmi saja. Tidak lebih," sambungnya. 

Sumi menyentuh telapak tangan sang Suami dan menggenggamnya lembut. Sebagai kode untuk tidak terlalu curiga pada tamunya. 

Agus pun menoleh ke arah sang Istri. "Apa? Aku curiga sama kamu? Kayak yang sudah-sudah," ujarnya sambil menatap tajam sang Istri.

Melihat penampilan Bai dan Ken yang terkesan sangat agamis, membuat Agus menaruh curiga padanya.

Bai dan Ken saling pandang. Semakin merasa tidak enak hati. Karena kehadirannya jelas tidak diharapkan oleh Agus.

"Mas, kemarin aku kerasukan lagi pas jenguk Anindita di pondok. Aku malu sekali karena bikin heboh di sana. Apalagi ... sedang banyak tamu dari wali santri yang juga menjenguk anaknya yang ada di pondok."

Sumi menarik napas dalam. Telapak tangannya semakin erat menggenggam tangan sang Suami yang tampaknya mulai paham arah pembicaraannya akan ke mana. 

Sumi menatap Bai dan Ken dengan perasaan tidak enak. "Ustadz Bai itu yang menyadarkan Ibu dari kerasukan kemarin, Pak. Jadi ... Ibu berniat meminta bantuannya untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi sama keluarga kita," papar Sumi serius.

"Dengan cara rukiyah?" Nada suara Agus meninggi seketika. Juga kedua matanya yang langsung melotot menatap sang Istri. 

"Rukiyah syar'i, Mas. Beda dengan rukiyah yang sebelumnya." 

"Kamu itu nggak ada kapoknya. Perukiyah itu sama dengan dukun. Mereka hanya mengelabuimu saja. Memeras uang kita untuk kekayaan mereka!" tuduh Agus sambil menatap tajam dan menunjuk ke arah Bai yang mengembuskan napas panjang. 

"Bapak jangan asal menuduh suami saya begitu, ya!" balas Ken yang seketika itu langsung berdiri. Dia tidak terima jika sang Suami yang teramat dicintainya dituduh dengan tuduhan yang keji. 

Padahal, Bai sama sekali tidak memungut biaya jika setiap kali selesai merukiyah seseorang yang meminta bantuannya. 

"Sayang ...." Bai menggenggam telapak tangan Ken dengan lembut sembari menggelengkan kepalanya. Lalu mengisyaratkan dengan matanya yang menunjuk tempat duduk. Menyuruhnya untuk duduk kembali ke kursinya. 

Dengan menahan kesal, Ken pun akhirnya menuruti apa yang diperintahkan sang Suami. Dia duduk kembali ke kursinya sambil membuang napas kasar. 

"Mas, apa yang dituduhkan kamu itu nggak benar. Justru mereka tidak mau dibayar saat menolong aku kemarin. Dosa besar kamu memfitnah orang sebaik Ustadz Bai dan Mbak Ken."

Sumi membela Bai dari tuduhan suaminya. 

"Saya nggak pernah menarik tarif untuk pengobatan rukiyah yang saya jalani, Pak. Gratis." 

Bai bicara dengan setenang mungkin. Bahkan, diiringi dengan senyuman yang membuat lesung pipit dikedua pipinya terbentuk. 

Agus pun tertawa miring sambil menatap sinis ke arah Bai dan Ken. 

"Aku nggak percaya sama kalian. Lebih baik kalian pulang dan jangan lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" 

Kedua bola mata Sumi melebar sempurna. "Mas, apa-apaan kamu ini? Mereka itu tamuku. Mereka akan membantu kita," ujar Sumi penuh penekanan.

Begitu juga Ken yang akan membalas perlakuan Agus. Namun, Bai mencegahnya. Bai pun berdiri sambil menggandeng tangan sang Istri. Bersiap untuk pulang.

"Baik, Pak. Maaf ... jika kedatangan kami mengganggu ketentraman keluarga Pak Agus dan Bu Sumi. Kami permisi ...." 

"Silakan. Pintunya ada di sebelah sana!" Jari telunjuk Agus menunjuk ke arah pintu utama. 

Tanpa banyak bicara lagi, Bai menggandeng tangan Ken keluar dari rumah itu dengan perasaan tak menentu. 

"Ustadz!" 

Sumi berlari menghadang langkah Bai dan Ken yang baru saja keluar dari pintu. 

Digenggamnya tangan Ken yang sebelahnya. "Maafkan saya dan suami, ya, Ustadz, Mbak Ken. Sungguh ... saya sangat-sangat minta maaf..," ucap Sumi dengan perasaan bersalah. 

"Sudah, Bu Sumi. Nggak apa-apa kok. Saya juga minta maaf, jika kehadiran saya malah membuat keluarga Bu Sumi tidak nyaman," balas Bai dengan tenang. 

Sumi menggeleng pelan. "Tidak. Tidak begitu, Ustadz. Ini hanya-" 

"Sumi, masuk!" bentak Agus yang berdiri di ambang pintu dengan berkacak pinggang.

"Lebih baik Ibu masuk. Sebelum suami ibu yang sombong itu marah besar," ujar Ken yang mulutnya sudah gatal ingin berbicara. Tapi, ditahan-tahan oleh sang Suami. 

"Maaf ...." 

Dengan berat hati, Sumi pun merelakan tamunya pergi karena diusir oleh suaminya. 

Bai dan Ken pun akhirnya pergi meninggalkan rumah besar tersebut dengan mengendarai motor matic-nya.

"Mas, kamu itu gimana sih? Dihina gitu kok diam saja?" 

"Aduh ... sakit, Sayang," keluh Bai sembari meringis kesakitan karena Ken mencubit perutnya dengan kuat. Melampiaskan emosinya yang tadi belum terlampiaskan. 

Kebiasaannya, jika dia tengah kesal itu mencubit apa saja yang menempel di telapak tangannya. Dan saat ini, tangan Ken tengah menempel di perut sang Suami. Dia membonceng Bai sambil memeluknya.

"Gemas aku tuh sama kamu, Mas," sahut Ken dengan gemas. 

"Biru-biru nanti badan aku habis kamu cubitin. Ini lebih sakit daripada tuduhan suami Bu Sumi tadi," sahut Bai sembari melirik wajah sang Istri yang keningnya membentuk kerutan. 

"Becanda, Sayang," ralat Bai dengan senyum manis hingga gigi gingsulnya terlihat begitu menawan. Telapak tangan satunya menggenggam telapak tangan istrinya agar tidak kembali mencubit perutnya. Sedangkan yang satunya lagi, memacu gas motornya. 

"Kamu tuh aneh tahu, Mas. Dihina kok santai saja. Aku yang gemas jadinya." 

"Biarlah, Sayang. Biar Allah yang membalasnya. Lagian kan, aku nggak seperti yang dituduhkan suaminya Bu Sumi itu," jawab Bai dengan santai.

***

Selang beberapa hari kemudian, rumah sederhana Bai dan Ken kembali kehadiran tamu. 

"Iya. Wa'alaikumsalam ...," sahut Ken dari dalam rumah. Lalu, membuka pintu rumahnya. 

Seketika itu, dia melebarkan kedua bola matanya saat melihat siapa tamu yang datang mengetuk pintu rumahnya. 

"Bu Sumi?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Tertangkap

    “Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Sebab Akibat

    Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Ketahuan

    Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Diinterogasi

    Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berbuntut Panjang

    Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kelicikan Paklek Bimo

    Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status