Rajendra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh rahasia."Saya mengenal Sundra. Sekarang dia bernama Asmaran, putra dari Patih Wigraha,” ucap Rajendra.Brajadipa semakin syok mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya."Tidak mungkin! Kamu pasti bohong, 'kan?" katanya, suaranya naik beberapa oktaf. "Sundra... d-dia sudah lama... mati di hutan bambu! Kami semua melihatnya dibakar oleh para prajurit!"Rajendra tidak membantah. Ia menarik badannya dan bersandar di sandaran kursi, membiarkan kebohongan yang ia ciptakan menyebar di ruangan itu. "Saya tidak berbohong. Juragan. Selama ini, Sundra telah hidup kesepian. Kebahagiaannya direnggut oleh orang-orang yang tidak memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai manusia dan perbedaannya. Jiwanya mati saat saya bertemu dengannya, tapi hatinya masih terang. Dia hidup dalam bayang-bayang masa lalu, diburu dan dicap sebagai iblis hanya karena dia berbeda."Mendengar kata-kata itu, Brajadipa langsung merasa sedih. Ia menutup
Juragan Brajadipa menatap Danu dengan tatapan bingung dan meremehkan. Namun Rajendra mendengar semua ucapan itu dengan jelas. Ia tersenyum tipis, senyuman yang penuh arti dan tidak bisa dibaca oleh orang biasa.Rajendra mengisyaratkan Guntur dan Surapati untuk tetap diam. Kemudian, ia pun berjalan menghampiri Brajadipa dengan langkah santai namun penuh percaya diri."Juragan," sapa Rajendra, suaranya tenang dan ramah, "saya yakin ada salah paham di sini. Anda salah mengartikan ucapan Danu."Rajendra mengulurkan tangannya, isyarat perdamaian dan juga dominasi.Brajadipa mengerutkan kening, tidak mengerti. Namun, ia tidak menolak jabat tangan Rajendra yang terasa hangat dan kuat.Rajendra menatap lurus ke mata Brajadipa, senyumnya semakin lebar."Bukan belum punya, Juragan. Hanya ingin menambah saja," ucapnya dengan nada tenang. "aku merasa ingin menambah sapi meskipun sudah memiliki 20 ekor."Sontak saja, apa yang dikatakan oleh Rajendra bagaikan guntur di siang bolong bagi Brajadipa.
Di tengah perjalanan, rombongan Rajendra menunggangi kuda di jalan setapak yang dikelilingi hutan lebat.Setelah beberapa saat, Aji menepuk bahu Layung yang duduk di depannya."Kak Layung,” panggil Aji, suaranya sedikit bersemangat, "aku rasa, aku harus turun di sini."Rajendra yang berjalan di depan mereka, menoleh ke belakang. "Kenapa, Aji?" tanyanya."Di sebelah selatan sana, Yang Mulia," jawab Aji sambil menunjuk ke arah semak belukar yang rimbun. "ada beberapa bahan yang saya butuhkan untuk tinta itu. Saya akan pergi ke sana untuk mengambilnya."Rajendra mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu.”Rajendra menoleh ke arah Layang. “Layung, temani Aji. Pastikan dia aman. Jangan biarkan dia pergi sendirian."Aji menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Yang Mulia. Saya bisa pergi sendiri. Saya sudah terbiasa dengan hutan. Lagipula, saya tidak ingin merepotkan Kak Layung. Dia bisa lebih berguna di sisi Anda.""Jangan membantah," kata Rajendra dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "hutan
Rajendra duduk di halaman depan rumah, di bawah pohon beringin rindang, menanti kedatangan Danu. Sambil menikmati sepotong roti, ia merasakan ketenangan desa yang sejuk.Namun, ketenangan itu tidak mampu meredam gelombang firasat aneh yang tiba-tiba menggelitik dadanya. Sebuah kegelisahan yang tidak berdasar. Firasat buruk ini adalah sesuatu yang sering ia rasakan saat ada sesuatu yang penting atau berbahaya akan terjadi. Pikirannya langsung tertuju kepada Tama yang sedang pergi ke pasar.“Apakah dia baik-baik saja?” batin Rajendra. Ia menghela napas. “Ah, sial. Jika ada ponsel, pasti akan lebih mudah untuk berkomunikasi. Teknologi memang sangat dibutuhkan di zaman ini.”Tidak lama kemudian, dari arah gerbang, dua sosok berjalan mendekat. Mereka adalah Danu dan Aji. Keduanya tampak berjalan dengan langkah tergesa-gesa."Selamat pagi, Yang Mulia!" sapa Danu, sedikit membungkuk. "maafkan kami terlambat datang. Ada sedikit urusan di jalan tadi."Rajendra melambaikan tangannya, wajahnya t
"Apa! Bergabung dengan Rajendra? Apa yang kalian katakan? Siapa Rajendra itu?!" bentak Kepala Desa Aditya, suaranya menggema di tengah pasar yang ramai.Wajah Aditya merah padam menahan amarah. "Kalian ini bodoh atau bagaimana? Meninggalkan pemimpin yang sudah lama melindungi kalian demi orang asing yang baru datang kemarin sore?!"Bhaskara menatap Aditya dengan tenang, meskipun di dalam hatinya ia mengakui kebenaran perkataan kepala desa. Namun, harga diri seorang pria yang telah kalah dalam pertarungan tidak bisa ia langgar."Kami kini adalah anak buah Yang Mulia Rajendra, Tuan Kepala Desa," jawab Bhaskara dengan suara mantap. "kami kalah dalam pertarungan melawan beliau. Itu adalah janji seorang pria, dan kami tidak ingin mati sia-sia melawan kekuatan yang jelas-jelas lebih unggul. Lebih baik kami hidup dan mengabdi."Aditya terkejut mendengar pengakuan Bhaskara bahwa mereka telah kalah dalam pertarungan. Ia selalu menganggap kelompok preman ini sebagai kekuatannya di pasar."Kalah
Di zaman itu, mereka belum mengenal keju. Mereka hanya mengonsumsi susu saja dan itu jarang sekali. Jika susu sudah tiga hari, biasanya mereka akan membuangnya karena dianggap telah basi. Rajendra tersenyum. "Sebuah makanan. Keju adalah olahan susu yang rasanya lezat, dan akan sangat cocok jika dinikmati bersama roti. Rasanya akan menjadi perpaduan yang luar biasa." "Wah, Tuan sangat hebat sekali!" puji Danu, matanya penuh kekaguman. Danu memang sama sekali tidak bisa membayangkan keju itu makanan seperti apa, namun jika Rajendra yang membuatnya, pasti akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Setelah perbincangan itu, Aji dan Danu pun izin untuk bergabung dengan yang lain. "Yang Mulia, kami izin untuk berlatih beladiri sekarang," kata Aji. "agar kami juga bisa menjadi orang yang tangguh." Rajendra mempersilakan. "Silakan. Latihlah dirimu dengan baik. Keterampilan bela diri akan sangat penting di masa depan." *** Matahari sudah meninggi, memancarkan kehangatan di atas pasar. Kerama