Terbangun sebagai pangeran yang terusir, Raka membangun kekuatan dari desa bersama istri-istrinya serta para pengikut setianya demi merebut kembali tahta dan kerajaan mereka. Namun, menjelang perang, para istrinya khawatir; jika Raka gugur, garis keturunan Bharaloka akan punah. Dengan tekad membara, Raka berkata, “Aku pastikan kalian semua akan mengandung anakku!”
Voir plus“Pangeran, tolong pelankan gerakanmu...”
Suara desahan diiringi derit ranjang kayu bergema di ruang mewah itu. “Pangeran, sekarang giliranku, kamu melupakan istri keduamu?” Sebuah tangan putih, halus, namun kekar menarik tangannya yang tengah memeluk seorang wanita yang ada di bawah tubuhnya. “Di ... di mana ini ... Kenapa semuanya begitu ... nikmat...” Laki-laki yang disapa pangeran itu tak kuasa menahan gejolak yang terbakar di dalam tubuhnya. “Pangeran, jangan abaikan istri ketigamu...” “Pangeran ... aku sudah tak tahan...” Suara para wanita di sisinya saling bersahut-sahutan, menarik-narik tubuhnya seperti mahkota yang hendak diperebutkan. Sementara itu, pandangan Raka, pangeran tersebut, semakin buram dan mulai membuatnya terhuyung. “Apakah ini... surga?” *** “Bangun, Yang Mulia. Tolong jangan tinggalkan kami...” ucap seorang wanita cantik. Raka menatap kosong. Yang Mulia? Siapa yang dipanggil Yang Mulia? Aku? Raka ingin bertanya, tapi tenggorokannya kering dan lidahnya kelu. Napasnya berat. Suara teriakan lain terdengar dari luar dan lebih membuat dada bergetar. “Lindungi Pangeran Rajendra! Jangan biarkan mereka mendekat!” Raka kembali terkejut. Pangeran Rajendra? Siapa pula itu? Namun begitu ia menggerakkan tangannya, ia melihat kulit tangan yang bukan miliknya. Putih. Halus. Jari-jari panjang dan bersih. Bukan tangan keras dengan kulit sawo matang milik seorang polisi berpangkat rendah seperti dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Suara teriakan. Derap kaki. Gemuruh ledakan kecil terdengar di kejauhan. Kerajaan Bharaloka sedang terjadi peristiwa mengerikan. Kudeta dilakukan dan semua anggota kerajaan diburu untuk dibunuh. Suara perintah kembali menggema, dan wanita cantik lainnya, dengan pakaian perang sederhana tapi tubuh anggun luar biasa, mendekat dengan langkah mantap. “Cepat, bawa Pangeran ke tandu! Kita harus mundur sekarang!” teriaknya sambil menoleh ke belakang. Dia adalah Ranjani. Istri lain pangeran Rajendra. Empat pria bersenjata langsung mengangkat tubuh Raka dan meletakkannya di atas tandu darurat. Tubuhnya masih dipenuhi luka, tapi mereka tampak sangat berhati-hati, seolah memperlakukan tubuhnya seperti pusaka. Dalam kebingungannya, Raka melihat wajah wanita kedua itu. Tegas, cantik luar biasa, dan memiliki aura pemimpin. Tapi kenapa mereka semua memanggilnya pangeran? “Apa aku sedang mimpi? Atau ini rekaman VR?” batin Raka. Tandu bergerak cepat, diangkat oleh empat pria sambil berlari melewati jalan setapak hutan. Suara ledakan dan dering senjata kini semakin dekat. “Naikkan Pangeran dan para permaisuri ke atas kuda! Kita harus menyebrang sungai!” seru seorang pria tua berjanggut putih panjang. Wajahnya keras, matanya tajam. Dialah Surapati, pengawal senior kerajaan Bharaloka. Surapati harus berpikir cepat untuk menyelamatkan pangeran dan permaisuri. Dan jika hanya ditandu, mereka akan terkejar oleh pasukan musuh. Dalam waktu singkat, mereka semua naik ke atas beberapa ekor kuda, Raka diapit dua wanita cantik. Lalu sepuluh pengikut yang setia padanya, harus bergantian naik ke atas kuda karena hanya ada 3 kuda lagi yang tersisa. Perjalanan menuju pinggir sungai dipenuhi ketegangan. Tapi akhirnya, saat matahari mulai turun, mereka berhenti di tepi aliran sungai yang jernih. Udara dingin menyapa kulit mereka yang berkeringat. Raka didudukkan bersandar pada batang pohon besar. Dadanya naik turun, sementara seorang wanita cantik mengelilinginya. Seorang wanita yang tadi dilihat oleh Raka saaat pertama kali bangun, datang. “Bagaimana kondisimu, Yang Mulia?” tanya wanita bernama Kirana itu. Raka mengangkat alis. “Kamu bertanya padaku?” “Ya, tentu saja. Siapa lagi yang berhak dipanggil Yang Mulia kalau bukan dirimu?” jawab Kirana. Raka menghela napas berat. Ia tak tahan lagi. “Aku bukan Pangeran Rajendra. Aku adalah Raka Adiwangsa.” Semua yang mendengar itu terdiam. Bahkan suara burung pun seperti lenyap dari hutan. “Benarkah, kamu bukan Pangeran Rajendra?” tanya Kirana. Tangan lentiknya menyentuh dada Raka yang terbuka akibat luka. Desiran aneh menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Raka mematung. Selama 25 tahun hidupnya, belum pernah ada wanita secantik ini yang menyentuh tubuhnya. Raka bahkan tak pernah punya pacar karena wajahnya yang tidak menarik. Namun saat ini, dia hidup di raga seorang pangeran yang tampan. “I-iya...” jawab Raka terbata. “aku bukan pangeran. Siapa kalian sebenarnya?” Kirana, menatap Raka dalam-dalam sekali lagi. “Kamu sungguh bukan suamiku?” “Ini omong kosong!” bentak seorang wanita lainnya. “dia hanya terbentur keras. Kepalanya pasti belum waras.” Semua orang langsung menoleh ke arah wanita tersebut dengan ekspresi terkejut. “Tuan Putri Ranjani, tolong jaga bicaramu!” ucap Surapati. Semua orang tegang. Mereka tahu, Pangeran Rajendra dulu adalah pribadi kejam dan temperamental. Sekali marah, satu nyawa bisa melayang. Kirana memegang lengan Ranjani dengan wajah yang cemas. “Minta maaflah. Kamu tahu bagaimana pangeran,” ucap Kirana. Ranjani menggertakkan gigi. Tapi akhirnya menunduk. “Maafkan aku Yang Mulia.” Ketika semua orang sudah mengira jika pangeran Rajendra akan murka, mereka dibuat terkejut karena nyatanya tidak ada ledakan emosi. Tak ada tatapan mematikan seperti biasanya. Bukan amarah dan perintah membunuh. Raka malah berkata, “Aku ingin buang air kecil.” Kirana tertawa pelan setelah mendengarnya. “Yang Mulia mau buang air kecil? Baiklah, biar aku menemanimu, Yang Mulia. Itu tugas istri, bukan?” ucap Kirana. Raka membelalak. “Istri?” “Bukankah sudah dibilang kalau kami berdua adalah istrimu, Yang Mulia,” jawab Kirana sambil tersenyum manis. “dan sebenarnya masih ada dua lagi. Tapi ...” Seketika, raut wajah Kirana berubah drastis. Wajahnya yang ceria berubah suram. “Apa? Masih ada dua lagi? Jadi … aku punya empat istri?” tanya Raka dalam hati. Raka semakin bingung dengan apa yang terjadi. Dan hal ini membuat kepalanya berdenyut. Tiba-tiba saja potongan ingatan mulai muncul. Dia ingat saat pagi tadi, ia masuk ke rumah seorang ilmuwan tua yang mati terbunuh. Sebagai petugas polisi, ia ditugaskan mengolah TKP. Namun, ketika sedang memeriksa barang bukti yang bisa membawa kepada kebenaran yang terjadi, Raka menemukan sebuah bom waktu. Ketika dia berusaha untuk menghentikan waktu pada bom tersebut, justru bom itu meledak. “Apakah karena hal itu aku berada di sini? Apakah ini adalah kehidupan setelah kematian?” tanya Raka dalam hati. Kini Raka semakin bingung. Raka tersentak saat Kirana menarik tangannya, membawanya menuju semak-semak di tepi sungai. “Aku bisa sendiri,” ucap Raka panik. “Tapi tanganmu terluka. Biar kubantu untuk membukanya,” kata Kirana. “A-aku tidak...” Tangan Kirana perlahan bergerak ke arah ikatan celananya. “Ya Tuhan. Apa-apaan ini?” batin Raka, jantungnya berdetak liar.Rajendra baru saja masuk ke dalam kamarnya, niat hati ingin merebahkan diri. Namun, belum sempat ia rebahan, telinganya menangkap suara langkah kaki tergesa-gesa di luar rumah, diikuti oleh sapaan panik Sarta yang disambut oleh suara berat Paman Surapati.Firasat buruk yang tadi mengganggu pikirannya, kini terasa begitu kuat, menjeritkan bahaya yang tak terelakkan.Rajendra buru-buru keluar kamar, langkahnya cepat. Ia melihat Sarta berdiri dengan wajah pucat di depan pintu, dan Surapati di sampingnya, ekspresi serius terpancar jelas di wajahnya."Ada apa, Sarta?" tanya Rajendra, suaranya dipenuhi kecemasan yang tak bisa disembunyikan.Suara langkah kaki dari kamar sebelah menarik perhatian. Kedua istri Rajendra, Kirana dan Ranjani, keluar kamar, mata mereka dipenuhi rasa penasaran sekaligus kekhawatiran. Mereka bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti suasana.Sarta, dengan napas terengah-engah, akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata."Yang Mulia ... Kepala Desa ... Kepa
Dalam sekejap mata, saat penjaga pertama baru saja mengayunkan tombaknya, Dahana telah lenyap dari pandangan. Bukan menghilang begitu saja, melainkan bergerak dengan kecepatan yang melampaui batas pandang manusia biasa.Dahana kemudian muncul di sisi penjaga itu, seperti hantu yang melayang. Tangannya mencengkeram erat batang tombak yang dipegang oleh penjaga kepala desa, jari-jarinya seolah terbuat dari besi, mengunci gerakan.Dengan tarikan kuat yang tak terduga, Dahana menarik tombak itu ke belakang hingga tubuh lawan terpelanting ke tanah. Kepalanya terbentur keras, suara "duk!" pelan namun mematikan.Tombak direbut paksa dari genggamannya, dan tanpa jeda, dilempar jauh ke dalam kegelapan malam, menancap kuat ke batang pohon di kejauhan.Penjaga kedua, yang sempat teriak terkejut, mengayunkan pedangnya dengan panik. Namun, sebelum senjata itu berayun setengah lingkaran, Dahana sudah berada di hadapannya.Sebuah tendangan kilat menghantam lutut penjaga itu.BUUK! KRAAAK!Suara tula
"Baik, Yang Mulia, saya akan melaksanakan sesuai dengan perintah," ucap Surapati, mengangguk tegas, wajahnya menunjukkan keseriusan dan loyalitas.Rajendra mengangguk. Setelah itu, Rajendra kembali ke rumahnya, sementara Surapati segera bergerak, mengumpulkan pasukannya.Di depan pos keamanan, Surapati menyampaikan apa yang dikatakan oleh Pangeran Rajendra. Suasana mendadak menjadi tegang. Para prajurit mendengarkan dengan saksama, mata mereka memancarkan kewaspadaan yang baru."Mulai sekarang," kata Surapati, suaranya lantang, "kita akan meningkatkan patroli dan penjagaan di seluruh desa. Kita akan membagi kelompok menjadi tiga, masing-masing terdiri dari dua orang. Ini adalah strategi baru dari Yang Mulia untuk memastikan keamanan maksimal."Ia kemudian menjelaskan sistem rotasi yang rumit namun efektif. "Kelompok pertama akan ditempatkan di pos depan, dekat gapura. Kelompok kedua di pos belakang desa, di area hutan yang rawan. Lalu, kelompok ketiga akan terus berkeliling desa, berp
Asmaran mengerutkan keningnya, ekspresi bingung terlihat jelas di wajahnya yang berminyak karena keringat. Permintaan Rajendra tentang anak panah dari besi bisa dia buat, tetapi ide "pelontar sebagai pengganti busur panah" benar-benar di luar nalar dan pengetahuannya sebagai pandai besi."Untuk anak panah dari besi, saya sudah menguasainya, Yang Mulia," ucap Asmaran, suaranya terdengar ragu. "tapi untuk yang dimaksud Yang Mulia, pengganti busur panah itu, saya belum paham sama sekali. Bagaimana bentuknya dan bagaimana mekanismenya?"Rajendra tersenyum tipis. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk memperkenalkan teknologi dari dunianya. Ia melirik sekeliling, matanya menangkap bongkahan arang dan potongan kayu berdiameter sekitar satu meter yang tergeletak di dekat tumpukan besi."Asmaran, kemarilah," ucap Rajendra, menunjuk ke arah potongan kayu besar itu. "aku akan mencoba menjelaskannya dengan cara yang paling mudah kau pahami."Asmaran segera mendekat, rasa ingin
Rajendra melangkah lebih jauh, menembus kerapatan hutan bambu yang rimbun di luar batas desa. Semakin dalam ia masuk, semakin aneh.Perasaan tidak enak, aura dingin yang menusuk, kegelisahan yang tadi menyelimuti hatinya, perlahan mulai memudar. Sebuah kelegaan kecil menyelimuti dirinya, namun juga memicu pemikiran baru."Perasaan itu ... sepertinya hanya ada di dalam desa," gumamnya, langkahnya melambat.Ia menyadari, jika ada sesuatu yang akan terjadi, atau seseorang dengan niat jahat, ia pasti berada di dalam desa Gunung Jaran."Jadi, bahaya itu ada di sana," pikirnya.Rajendra memutuskan jika dia tidak akan berlama-lama di tempat Asmaran. Ia harus menyelesaikan urusannya dengan cepat dan kembali ke desa.Ia pun mempercepat langkahnya lagi. Tak berapa lama, ia tiba di gubuk kecil tempat Asmaran tinggal. Bau asap dan logam terbakar menyeruak, aroma khas seorang pandai besi sejati.Asmaran terlihat sedang menempa besi dengan palu besar, percikan api beterbangan di sekelilingnya. Namu
Setelah mendapat perintah dari ayahnya, wanita itu pun langsung menyiapkan ramuan penyembuhan Dewa.30 menit kemudian Bastian selesai melakukan gerakan-gerakan yang diberikan oleh Lee sesuai dengan durasi yang dibatasi oleh pria tua itu."Bagaimana, apakah ada sesuatu yang kamu rasakan di dalam dirimu?" tanya Lee ketika Bastian baru saya duduk di sampingnya.Lantai yang dingin itu biasanya tidak terasa dingin oleh Bastian setelah latihan, namun saat ini ini entah kenapa lantai itu terasa lebih dingin."Aku merasa tubuhku menjadi lebih enteng. Tapi sebenarnya aku menginginkan latihan yang berat. Paling nggak seperti latihan pertama kali yang mengangkat beban air," ucap Bastian yang merasa kurang dengan latihan yang diberikan.Lee mengangkat kedua alisnya seraya bertanya, "Kenapa? Apa kamu nggak puas dengan latihan sekarang?""Aku tidak berkeringat sama sekali, menurutku ini tidak seperti latihan. Lebih tepatnya seperti meditasi," jawab Bastian.Mungkin Bastian lupa dengan perkataan dar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires