Rombongan Amukti Muda Giriprana, yang awalnya dipenuhi aura kesombongan, kini diliputi ketegangan yang pekat. Suasana sepi di desa itu bukan lagi tanda yang aneh, melainkan pertanda buruk. Wira menunjuk ke tanah, membuat semua orang terdiam."Ada apa, Wira?" tanya Giriprana, nadanya dipenuhi ketidaksabaran."Coba lihat ini, Yang Mulia," jawab Wira, suaranya bergetar. Ia menunjuk ke tanah yang berwarna lebih gelap. Tanah itu lembap, dan di sana-sini, ada tetesan merah yang kering. "Ini... darah."Semua mata terbelalak, termasuk Giriprana. Ia ternganga. Ia tidak bisa percaya. Ia langsung menyimpulkan bahwa telah terjadi pembantaian. Pikirannya tidak bisa memproses hal lain. Desa ini, yang dikuasai preman-preman kejam, telah dibantai. Siapa yang bisa melakukan ini?"Cari! Cari jejak darahnya! Cari mayatnya!" teriak Giriprana, suaranya nyaris pecah. "Aku ingin tahu siapa yang berani berbuat sejauh ini!"Semua anak buah Giriprana, yang berjumlah 15 orang, yang merupakan gabungan dari anak
Tama menggeram marah. Ia menatap mata Aditya, yang dipenuhi kegilaan, dan ia merasa seolah-olah ia sedang menatap sebuah jurang. L"Kamu sungguh tidak tahu diri!" geram Tama. "Kamu berani sekali mengatakan hal seperti itu!"Aditya hanya tersenyum. Senyumnya dipenuhi dengan provokasi. "Silakan saja bunuh aku," tantang Aditya, suaranya serak namun penuh keyakinan. "Bunuh aku sekarang juga. Karena sebentar lagi, sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada kalian. Kalian akan mati! Aku tidak akan rugi. Aku akan mati, tapi kalian semua juga akan mati! Hahaha!"Tama tidak tahan. Darah panasnya mendidih. Ia menjambak rambut Aditya hingga membuatnya berdiri, lalu ia memukul wajah Aditya dengan tinju kanannya. Sial!Pukulan itu sangat keras. Bibir Aditya mengucurkan darah segar. Posisi Aditya yang diikat di tiang, membuat pukulan itu tidak membuatnya terpental, tetapi justru lebih menyakitkan. Rasanya seolah seluruh kekuatan pukulan Tama diserap oleh tiang itu dan memantul langsung ke tubuh Adit
Pemandangan pembangunan yang terus berpacu di depan mata Rajendra membuatnya merasa puas. Namun, ia tidak lupa bahwa setiap langkah maju harus diperhitungkan dengan matang.Surapati, yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam urusan pemerintahan dan strategi, berjalan di sampingnya, mengamati setiap detail."Yang Mulia," ucap Surapati, nadanya serius. "Saya rasa, Anda tidak seharusnya memberikan wilayah terlalu luas kepada Manadipa. Wilayah kita ini masih sangat kecil, dan kita perlu benteng yang tebal dan kokoh, yang tentunya akan memakan banyak lahan. Jika kita terlalu bermurah hati, kita bisa menyesalinya di kemudian hari."Rajendra mengangguk, ia mengerti kekhawatiran itu. "Aku sedang menimbang dan menghitungnya, Paman. Aku akan memberikan yang terbaik untuk kedua belah pihak."Surapati menghela napas, ia menghargai jawaban Rajendra. "Sebenarnya, wilayah kita ini sangat kecil. Jadi, saya hanya mengingatkan saja, Yang Mulia. Jangan diambil hati. Saya hanya khawatir.""Tenang saja,
Bhaskara menatap Rajendra dengan mata penuh tanya, tubuhnya masih sedikit gemetar. Ia telah melihat banyak hal aneh, tapi kegilaan yang disertai ancaman kehancuran dari Aditya ini terasa berbeda."Yang Mulia," ucapnya, suaranya parau. "Apa yang harus kita lakukan? Jika memang diperintahkan untuk membunuh... saya akan melakukannya."Rajendra menggelengkan kepalanya dengan tegas. Tatapannya lurus, menunjukkan tidak ada keraguan sedikit pun. "Tidak perlu, Bhaskara. Jangan lakukan itu. Kita bukan pembunuh. Jangan kotori tanganmu. Apalagi saat ini desa kita baru akan bangkit, tidak perlu ada darah kotor yang mengalir dari diri orang jahat seperti Aditya.""Tapi, dia akan menjadi masalah, Yang Mulia," balas Bhaskara, kekhawatirannya terlihat jelas. "Kata-katanya... saya tidak bisa mengabaikannya.""Aku tahu," jawab Rajendra. "Aku merasakan hal yang sama. Aku percaya firasatmu."Rajendra menatap Bhaskara, lalu melanjutkan. "Untuk saat ini, amati saja perilakunya. Jika dia mulai berteriak lag
Rajendra menatap tajam pria di hadapannya. Rambutnya disisir rapi, dengan seragam militer yang terawat, ia adalah salah satu prajurit kerajaan Widyaloka yang kemarin beristirahat di belakang Desa Gunung Jaran.Sambil menahan gejolak di hatinya, Rajendra tetap tenang. Ia menatap pria itu, wajahnya datar. "Apa yang membuat utusan Raja Wicaksana datang kemari, Tuanku?"Prajurit itu tersenyum sombong. Ia menatap kerumunan yang cemas di sekitarnya, lalu kembali menatap Rajendra."Saya datang atas perintah Raja Wicaksana," ucap pria itu, nadanya dingin dan penuh otoritas. "Saya diperintahkan untuk membeli roti sebanyak 1000 potong dan harus dikirimkan besok."Rajendra terkejut. 1000 potong? Ini adalah pesanan yang sangat besar. Jika ia bisa membuat 1000 potong roti, ia bisa mendapatkan uang yang banyak. Dan yang lebih penting, ia bisa mendapatkan kesempatan untuk mencari tahu tentang Ayana, istri pertamanya, yang sekarang menjadi istrii Raja Wicaksana."Saya sanggup," jawab Rajendra. "Tapi.
Manadipa terdiam sesaat, senyum di bibirnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi serius seorang pebisnis ulung. Ia menyadari bahwa ia tidak berhadapan dengan pangeran lugu yang mudah dimanfaatkan. Rajendra di depannya adalah seorang pemimpin yang cerdas dan penuh perhitungan. Tidak ada gunanya lagi berbasa-basi."Yang Mulia memang cerdas," ucap Manadipa akhirnya, nadanya penuh rasa hormat. "Tidak ada yang bisa lolos dari pandangan tajam Anda.""Jadi, apa yang kamu inginkan, Juragan?" tanya Rajendra, nadanya tegas dan langsung ke inti.Manadipa menarik napas dalam, lalu ia menjelaskan rencananya. "Saya ingin sebuah wilayah, Yang Mulia. Sebuah wilayah di samping komplek kerajaan yang sedang Anda bangun. Saya akan menjadikan wilayah itu sebagai komplek bisnis."Raut wajah Ranjani dan Arwan langsung berubah. Mereka terkejut. Rencana ini... ini adalah sesuatu yang belum pernah mereka dengar. Sebuah wilayah khusus untuk bisnis?Rajendra menatap Manadipa, ia mengerti. Ini adalah ide ya