"Maafkan hamba, Yang Mulia," ujar Surapati, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. "kami sudah mencari ke segala penjuru, namun kedua sapi yang hilang itu tidak dapat ditemukan. Sepertinya para pencuri itu sangat profesional."Rajendra menghela napas. "Tidak apa-apa, Paman. Lalu, apakah ada petunjuk tentang siapa pelakunya?"Surapati mengangguk, matanya menatap tajam ke arah Rajendra. "Ada, Yang Mulia. Menurut pengamatan Layung, dan berdasarkan serbuk yang kami temukan di sekitar area kejadian, kami menduga kuat para pencuri itu berasal dari Kerajaan Lingga."Rajendra mengerutkan keningnya, bingung. "Serbuk? Serbuk apa yang Paman maksud?""Serbuk yang dapat membuat seseorang tertidur pulas, Yang Mulia," jelas Surapati. "kami menemukan jejak serbuk itu di beberapa tempat. Ini adalah teknik khas yang hanya dimiliki oleh Kerajaan Lingga."Rajendra terkejut. Alisnya terangkat tinggi. Di zaman yang masih mengandalkan kekuatan fisik dan senjata tajam, penggunaan serbuk tidur adalah sesuatu y
Dipa terkejut. Matanya sedikit melebar, terlihat jelas gurat ketakutan.Dipa buru-buru menggeleng. "T-tidak ada, Tuan Putri Ranjani. Saya tidak memikirkan apapun. Hanya mengingat pertarungan Yang Mulia Rajendra tadi. Pertarungan itu, sungguh mengejutkan."Dipa mencoba mengalihkan pandangan, menghindari tatapan tajam Ranjani.Namun, Ranjani masih menatap Dipa, matanya menyipit penuh kecurigaan. Sebagai seorang wanita yang peka dan adik ipar Rajendra, ia tahu betul gelagat Dipa. Dia tahu jika Dipa sedang berbohong karena dia melihat dari matanya, ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang besar."Jangan bohong padaku, Dipa," ucap Ranjani, suaranya lembut namun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "kamu tidak bisa menyembunyikannya dariku. Aku mengenalmu sudah lama. Ada apa? Katakan saja."Apa yang dikatakan oleh Ranjani membuat Dipa semakin takut. Ia tahu ia tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini.Akhirnya, dengan napas berat, dia pun memberanikan diri menceritakan apa yan
Ayana berdiri membeku di ambang tenda mewah, tatapannya terpaku pada siluet yang memudar di kejauhan. Dipa. Pria itu. Jika Dipa ada di sana, itu berarti Rajendra juga.Jantungnya berdebar kencang, perasaannya campur aduk antara kerinduan, ketakutan, dan secercah harapan yang baru saja menyala.Dia ingin sekali mengejar, memanggil nama Rajendra, berlari mendekapnya, atau setidaknya memastikan bahwa itu benar-benar dirinya. Namun, kakinya terpaku di tempat, seolah ada rantai tak terlihat yang mengikatnya.Ayana sadar akan bahaya yang bisa terjadi jika dia memaksa diri pergi kepada Rajendra di hadapan rombongan Raja Wicaksana. Sebuah skandal, atau bahkan hukuman mati, bisa menimpa mereka berdua. Sebagai permaisuri Raja Wicaksana, gerak-geriknya diawasi."Semoga saja Dipa melihatku," bisik Ayana dalam hati, matanya berkaca-kaca menatap punggung Dipa yang perlahan menghilang ditelan kegelapan malam."Semoga dia memberitahu tentang keberadaanku ini agar Pangeran Rajendra mau membawaku kemba
Tama berbisik kepada Guntur, senyum mengembang di wajahnya. "Hei, Guntur! Kau tahu? Aku pernah melakukan ini bersama Pangeran! Rasanya sungguh luar biasa, surgawi!"Guntur mengangguk setuju, matanya berbinar mengingat kenikmatan itu. "Aku juga pernah, Kak! Sejak itu, aku jadi ketagihan! Kombinasi yang tak terkalahkan!"Sarta ikut tersenyum. "Aku juga. Tidak ada yang bisa menandingi roti Pangeran Rajendra!"Tama tertawa kecil, bangga. "Hahaha! Kalian semua payah! Hanya aku yang tahu cara terbaik makan roti dan daging ini!"Raja Wicaksana mengambil dagingnya. Ia hendak memakannya secara terpisah, mengira Rajendra hanya menyarankan untuk makan roti dan daging secara bergantian."Tunggu, Yang Mulia!" seru Rajendra, suaranya menghentikan gerakan tangan Raja Wicaksana.Semua mata langsung menoleh ke arah Rajendra, penasaran dengan apa yang akan ia lakukan.Rajendra melangkah maju, mengambil satu roti dari keranjang yang dipegang Sarta. Lalu dia membelahnya menjadi dua bagian, membentuk kant
Sebuah alasan yang dibuat-buat, namun ia harus mengatakannya. Dia tidak bisa membiarkan keraguan ini terlihat. "Jadi, berikan saja tanganmu padaku!"Sontak saja, perkataan Wasita itu bagai petir di siang bolong, menyambar dan membakar amarah para pengikut Rajendra."Apa?!" Tama berteriak, amarahnya meledak. Dia mencengkeram gagang pedangnya dengan erat, matanya merah menyala. "Bajingan! Kau berani bicara begitu pada pemimpin kami?! Jangan bermimpi!"Sarta langsung maju satu langkah, berdiri di depan Rajendra, tubuhnya menjadi perisai. "Senapati Wasita! Taruhan kita adalah roti! Bukan tangan Yang Mulia! Kau melanggar aturan!""Benar!" Guntur menggeram, kapak di tangannya bergetar. "kau pikir kami akan membiarkanmu melukai Rajendra? Langkahi dulu mayat kami!""Hanya seorang pengecut yang melanggar janji!" Dipa ikut berseru, menatap Wasita dengan jijik. "kau tidak punya kehormatan sama sekali!"Wasita menyeringai, pandangannya dingin dan menghina. Dia melambaikan tangannya seolah mengusi
Suara pedang Rajendra yang jatuh mengoyak keheningan, menciptakan resonansi mengerikan di antara pepohonan yang disinari rembulan. Bagi para pengikut Rajendra, bunyi itu tak ubahnya lonceng kematian yang berdentang di telinga mereka.Seketika, getaran dingin merayapi punggung, mencengkeram jantung, dan mengeringkan darah di setiap pembuluh. Mereka melihat pedang Rajendra tergeletak tak berdaya di tanah, memantulkan cahaya obor yang menari-nari, seolah mengejek kekalahan sang pemimpin.Tama adalah yang pertama kali memecah kesunyian yang menyakitkan. Matanya membelalak, wajahnya pucat pasi bagai mayat hidup."Kalah? Yang Mulia kalah? Ini tidak mungkin! Tidak mungkin!" Suaranya bergetar, lebih seperti bisikan putus asa yang tertahan di tenggorokan, daripada seruan kemarahan.Pikiran Tama menolak untuk menerima kenyataan pahit yang terhampar di depan mata. Bagaimana mungkin Pangeran Rajendra bisa kalah?Sarta, di sampingnya, hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Ekspresinya campur aduk