Share

Menjadi Wanita Kontrak

Cavin terkejut ketika melihat reaksi Alice. Ia segera menarik kembali tangannya yang hampir saja menyentuh tangan putih milik Alice. Bukannya marah, lelaki itu tetap saja menggoda Alice yang saat itu sudah naik pitam.

"Kamu jangan marah-marah, Sayang. Nanti, kecantikan kamu bisa hilang," katanya dengan nada yang lemah lembut.

Alice merasa jijik mendengarnya. Ia ingin sekali untuk cepat-cepat keluar dari mobil. Namun, dirinya tidak dapat melakukan hal itu. Perempuan tersebut mencoba untuk mengikuti jalan alurnya.

"Pak, Bapak bisa lakukan apa pun terhadap saya, tapi izinkan saya memberikan batasan untuk Bapak juga," kecam Alice dengan pandangan tetap mengarah ke depan.

Cavin mengernyit, ia tahu jika perempuan itu belum mengerti mengenai kegiatan yang akan dilaluinya malam ini. Lantas, lelaki tersebut hanya mengiakan saja sembari tetap berfokus untuk menyetir mobil.

Setengah jam kemudian, mobil tersebut telah sampai di suatu tempat. Tempat itu sangatlah ramai dengan berbagai lampu yang berwarna. Alice menjadi heran, ia baru pertama kali melihat tempat megah itu. Banyak sekali pria maupun wanita yang berpakaian keren. Alice juga terheran-heran dengan perempuan di sana yang memakai baju serba ketat.

Tak beberapa lama, Cavin keluar dari mobil. Ia membuka pintu dan mempersilakan Alice untuk keluar.

"Silakan keluar, Sayang!" ujarnya.

Perempuan bertubuh tinggi itu keluar dengan perasaan campur aduk. Apa yang akan dilakukan Cavin kepadanya? Terlebih, dirinya merasa takut terjadi apa-apa.

Cavin mengajaknya masuk ke diskotik. Alice hanya menurut saja, yang penting dirinya bisa pulang secepatnya dan bisa meraih uang. Hal itu sesuai dengan keinginan Tante Mona untuk mendapatkan uang banyak.

Lelaki berkemeja putih tersebut lalu mendatangi seorang wanita paruh baya yang tampak awet muda. Mereka berbisik-bisik sehingga Alice pun tidak tahu mengenai percakapan mereka. Di tengah percakapannya pun, wanita tersebut melirik Alice dengan kagum. Hal tersebut membuatnya semakin tidak karuan.

Setelah bercengkerama, akhirnya Cavin kembali menghampiri Alice. Ia mengajaknya masuk dan tampaklah suasana yang begitu ramai.

Banyak orang yang menari disertai lagu yang keras. Kerlap lampu sebagai warna menghiasi tempat tersebut. Alice melihat banyak orang yang meminum jus dari botol juga. Tak sedikit dari mereka yang mabuk akibat meminum terlalu banyak.

"Kita ada di mana, Pak?" tanya Alice dengan volume suara yang tinggi karena kebisingan lagu diskotik.

"Mulai saat ini, kamu jangan panggil saya Pak. Panggil saya Cavin."

Alice menunduk saja karena pria tersebut memang masih muda. Lantas ia mengangguk tanda mengerti. Di saat itu pula, Cavin mengajak perempuan bergaun merah itu menuju tangga. Alice merasa tenang karena dirinya bisa meninggalkan lantai satu yang begitu ramai dan bising.

Di lantai dua, semuanya terlihat terang dan tenang. Wanita paruh baya yang sebelumnya berinteraksi dengan Cavin pun muncul di sana. Kemudian, Cavin menghampiri wanita tersebut.

"Bagaimana, Mami? Apakah semuanya sudah siap?"

Alice terheran kembali mengenai maksud lelaki itu. Wanita tersebut kemudian mengajak mereka berdua ke salah satu kamar yang telah disiapkan sesuai dengan permintaan Cavin.

"Silakan, nikmati malam ini sebaik mungkin! Kamar istimewa ini Mami siapkan untuk kalian berdua."

Cavin terkesima melihatnya, begitu juga dengan Alice. Pandangan mereka menyelisik ke segala penjuru. Kamar yang luas disertai tempat tidur yang tinggi dan empuk membuat tempat tersebut seolah-olah hanya untuk mereka berdua saja.

"Mami Bella tahu saja apa yang saya butuhkan. Terima kasih, Mami!" Cavin memuji wanita berambut panjang tersebut.

Lantas, wanita itu kemudian pergi dari kamar itu dan kembali menekuni pekerjaan kembali. Sementara, Cavin melirik Alice yang masih kebingungan.

"Malam ini, kamu cukup puaskan aku saja. Nanti, aku akan bayar dengan uang yang banyak."

"Apa?" Alice terkejut, ia sebenarnya tahu sejak awal bahwa lelaki itu akan menjadikannya kupu-kupu malam. Namun, entah mengapa rasanya syok mendengar perkataan dari Cavin.

Tak lama kemudian, Cavin membuka jas hitam yang telah lama membaluti tubuh. Kedua tangannya meraih lengan Alice dan mendorongnya duduk di tepi kasur. Alice hanya pasrah, ia meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semua itu akan berakhir setelah Cavin membayar dengan jumlah uang yang banyak. Setelah itu, Alice tidak mau berurusan dengannya lagi.

Cavin duduk tepat di sebelahnya. Ia perlahan menikmati tubuh perempuan tersebut. Sementara, Alice menutup mata untuk tidak melihat kejadian itu dengan tubuh yang sedikit menjauh.

"Cavin, tunggu!" Tiba-tiba, Alice membuka suara.

Lelaki berkumis tipis tersebut akhirnya berhenti dan membiarkan Alice berbicara. Rupanya, perempuan bergaun merah itu meminta izin terlebih dahulu ke toilet sebelum menikmati malam yang indah. Ia ingin melancarkan aksi untuk lari dari tempat itu.

"Ya, sudah. Silakan!" Akhirnya, Cavin mengizinkan tanpa curiga sedikit pun bahwa itu adalah alasannya saja.

Akhirnya, Alice memiliki kesempatan untuk pergi. Ia beranjak dari tempat tidur menuju toilet. Meski tidak tahu di mana letak toilet berada, tetapi setidaknya bisa menjauh sejenak dari Cavin yang semakin ganas untuk memenuhi hasrat.

Alice berjalan tak tentu arah. Ia mencari cara supaya dapat keluar dari tempat itu. Akhirnya, ia menemukan sebuah tangga yang merupakan jalan yang dilalui sebelumnya. Lantas, perempuan itu pun menuruni tangga tersebut.

Di lantai satu, semuanya menjadi semakin ramai. Banyak orang yang saling berdesak-desakan karena menari. Alice mencoba melewati semua kerumunan tersebut meski berhimpitan dengan mereka.

"Itu dia jalan keluarnya!" Alice merasa senang setelah menemukan pintu utama menuju jalan keluar.

Tiba-tiba saja, terdapat seseorang yang menepuk pundaknya. Alice terkejut sambil berpaling. Matanya terbelalak ketika terdapat Cavin di belakang.

"Aku sudah duga kalau kamu mau lari, Sayang."

Alice menelan saliva dengan kasar. Ternyata, Cavin mengikuti dari belakang semenjak perempuan berbibir merah itu keluar dari kamar. Cavin mengajak kembali ke lantai dua. Meski awalnya menolak dan tetap ingin kabur, akhirnya Alice mengalah. Genggaman tangan yang erat dari Cavin membuatnya tidak bisa berkutik.

Setelah di lantai dua dan berada di dalam kamar, Alice hanya duduk termenung saja. Sementara, Cavin berdiri tegak tepat di depannya. Walau perbuatan Alice membuat lelaki berambut pendek itu geram, tetapi ia dapat memakluminya.

"Kali ini, aku akan maafkan kamu. Untuk ke depannya, aku tidak segan-segan berbuat hal yang di luar batas. Alice, kamu sangat cantik malam ini," ujarnya dengan nada begitu pelan, tetapi menyakitkan.

Alice hanya bisa menangis. Kini, ia hanya bisa pasrah untuk merima semua keadaan. Terlebih, Tante Mona berkata bahwa dirinya harus membayar uang makan dan juga tempat tinggal untuknya. Entah, mengapa sang tante malah menagih hal tersebut. Bukannya wanita itu sudah berjanji untuk merawatnya semenjak kedua orang tua Alice telah tiada?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status