공유

Bab 5

작가: Syaard86
last update 최신 업데이트: 2025-01-09 14:25:51

Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.

Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.

Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya.

"Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.

Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat.

"Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.

Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.

Pak Juan tampak cemas, tapi sempat mematung di tempat. "Pak Juan, cepat!" seruku membuyarkan lamunannya. Ia segera tersadar, mengambil dompetnya, lalu mengikuti langkahku keluar.

Sesampainya di rumah sakit, Dean segera diperiksa oleh dokter dan dinyatakan harus dirawat inap. Sepanjang proses itu, Pak Juan hampir tidak melepaskan pandangannya dari Dean, dan sesekali dariku.

"Pak Juan, kalau mau ke kantor nggak apa-apa. Biar saya yang jaga bos kecil," ujarku setelah memastikan Dean tenang di ranjangnya.

"Tapi, Din..." Pak Juan tampak ragu.

"Nggak papa, Pak. Bos kecil akan baik-baik saja," kataku meyakinkannya.

Pak Juan mengangguk, tapi masih tampak gelisah. "Kalau ada apa-apa, langsung kabari saya, ya," pesannya sebelum keluar dari ruangan.

Siang harinya, Pak Juan kembali dengan membawa makanan. "Kamu makan dulu, Din. Biar Dean aku yang jaga," katanya sambil meraih Dean dari pangkuanku.

Saat ia mengangkat Dean, tanpa sengaja tangannya menyentuh lenganku. Meski hanya sekilas, aku merasa seperti tersetrum.

"Maaf, Din. Aku nggak sengaja," ucapnya buru-buru, wajahnya tampak canggung. Aku hanya mengangguk, berusaha menenangkan diriku.

Malam di Ruang Rawat

Malam harinya, aku dan Pak Juan tidur tetap berada di ruangan Dean. Ia duduk di sofa bed di sudut ruangan, sementara aku berada di ranjang mendampingi Dean yang tertidur.

"Pak Juan, Bapak bisa istirahat. Saya yang jaga bos kecil," kataku memecah keheningan.

Pak Juan yang fokus pada tabletnya, mendongak ke arahku. "Nggak apa-apa, Din. Kamu juga perlu istirahat," balasnya dengan suara lembut, tapi tegas.

Aku menghela napas, tidak ingin berdebat lagi. Ruangan itu menjadi sunyi, hanya terdengar bunyi lembut dari alat medis di dekat ranjang Dean.

Namun, keheningan itu membuatku merasa canggung. Sesekali aku melirik ke arah Pak Juan. Ia tampak gelisah, berusaha mencari posisi tidur yang nyaman.

"Apa nggak dingin, Pak?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.

Ia menoleh, sedikit terkejut. "Sedikit, tapi aku nggak apa-apa."

Aku ragu sejenak sebelum menawarkan selimut cadangan. "Ini, Pak. Gunakan saja selimut ini."

Pak juan menerima selimu itu, tapi tangan kami sempat bersentuhan. Seketika, aku menatik tanganku dengan gugup. Pak Juan tampak salah tingkah, lalu buru-buru mengucapkan terima kasih.

Semalaman, aku sulit tidur. Meskipun ruangan itu cukup besar, keberadaan Pak Juan begitu terasa. Beberapa kali aku mendengar suara kursi sofa berderit saat ia bergerak gelisah.

Hingga, di tengah malam, aku terbangun oleh suara air dari kamar mandi. Samar-samar, aku mendengar sesuatu.

"Dini..."

Aku mengerutkan kening, mengira itu hanya halusinasiku. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. "Dini... ah."

Jantungku berdetak lebih cepat. Apa mungkin itu Pak Juan? Atau aku hanya salah dengar? Pikiranku berusaha menyangkal berbagai kemungkinan.

Ketika akhirnya Pak Juan keluar dari kamar mandi, ia tampak sedikit terkejut melihatku terjaga. "Kamu masih terjaga, Din?" tanyanya, mencoba terdengar santai.

"Baru saja bangun," jawabku singkat sambil membenahi selimut Dean. Aku memilih tidak membahas apa yang baru saja kudengar.

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Dean akhirnya diizinkan pulang. Pak Juan terlihat sangat lega, bahkan wajahnya lebih cerah daripada biasanya.

"Nanti, kalau Dean sudah lebih sehat, papa janji kita jalan-jalan, ya," ujarnya lembut sambil mengelus rambut bocah kecil itu.

Dean tersenyum kecil, meski tubuhnya masih terlihat lemah. Aku yang menyaksikan interaksi itu ikut tersenyum. Di balik tatapannya yang tegas, Pak Juan ternyata ayah yang sangat penyayang.

"Oh ya, Din. Selama di rumah sakit, kamu kerja keras banget. Aku mau kasih bonus buat kamu. Terima kasih, ya," katanya tulus.

Aku tersenyum, merasa dihargai. 

Beberapa hari setelah Dean pulang, Pak Juan benar-benar menepati janjinya. Ia mengajakku dan Dean ke pusat perbelanjaan.

"Ayo, Din, kita jalan-jalan biar Dean nggak bosan di rumah terus," katanya pagi itu. Aku sempat ragu, tapi melihat antusiasme Dean, aku pun setuju.

Di mal, kami berjalan-jalan sambil melihat-lihat pakaian anak-anak. Pak Juan terlihat serius memilihkan pakaian untuk Dean, sementara aku membantu Dean mencoba beberapa baju. 

Kami merasa seperti keluarga yang utuh dan hangat. Pak Juan, meskipun tenggelam dalam kesibukannya, selalu menyisihkan waktu berkualitas untuk putra semata wayangnya. Dia memerankan peran ganda sebagai ayah dan ibu, membuat dada ini berdesir dengan iri. 

 "Bisakah Mas Sandi mencintai anak kita kelak seperti itu?" pikirku sambil memandang Pak Juan yang tengah memilih baju untuk Dean.

"Dean suka ini?" tanyaku sambil menunjukkan kaus berwarna biru.

Dean mengangguk, dan Pak Juan tersenyum. "Bagus. Kamu memang tahu apa yang Dean suka," ujarnya sambil menatapku.

Aku tersipu mendengar ucapannya, tapi sebelum sempat membalas, ponselku tiba-tiba bergetar di saku. Aku mengeluarkannya dan melihat nama ibu mertuaku di layar.

"Dini, kamu harus tanggung jawab! Sertifikat rumah sudah diambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak kirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan!" suara ibu mertuaku langsung terdengar keras begitu aku menjawab panggilan itu.

Jantungku serasa berhenti. "Tapi, Bu, bukannya dulu aku sudah kirim uang untuk melunasi hutang itu?" tanyaku berusaha tenang.

"Lunasi apanya! Sekarang kamu pulang kalau nggak percaya. Percuma kerja di kota tapi nggak ada hasilnya!" teriaknya lagi sebelum menutup telepon.

Aku terdiam, merasa kepalaku berputar.

"Dini, ada apa?" suara Pak Juan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihat tatapannya yang penuh perhatian.

"Nggak apa-apa, Pak. Cuma telepon dari rumah," jawabku singkat, berusaha menenangkan diri.

Pak Juan tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk cerita, ya. Aku bisa bantu kalau perlu."

Aku hanya tersenyum kecil, merasa bingung harus berkata apa.

Sisa waktu di pusat perbelanjaan itu terasa sedikit canggung bagiku. Meskipun aku berusaha menyembunyikan kegelisahanku, aku tahu Pak Juan bisa merasakannya.

Sepulang dari mal, aku memutuskan untuk berpikir lebih jernih sebelum mengambil tindakan. Aku tahu, masalah ini belum selesai, dan mungkin akan semakin rumit.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 128

    Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 127

    Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 126

    Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 125

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 124

    Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 123

    Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 122

    Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 121

    Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 120

    Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status