Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?
Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian? Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk. "Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din." Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata. Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan. "Pak Juan hari ini pulang, Mbak. Katanya ada urusan penting di kantor yang harus diselesaikan langsung," jelasnya sambil membereskan ruang tamu. Jantungku berdebar tak karuan mendengar itu. Entah kenapa, setiap kali Pak Juan ada di rumah, ada perasaan canggung yang sulit dijelaskan. Mungkin karena sikapnya yang sering perhatian pada hal-hal kecil. Aku melanjutkan pekerjaanku seperti biasa, memastikan Dean sudah siap menyambut kepulangan ayahnya. Aku memastikan Dean sudah bersih dan rapi. Bocah itu tampak ceria, mengenakan pakaian terbaiknya. Saat suara mobil Pak Juan terdengar, Dean merangkak dengan semangat ke arah pintu. Pak Juan masuk, wajahnya terlihat lelah tetapi tetap membawa senyum tipis. "Halo, bos kecil," sapanya sambil berjongkok untuk menyapa Dean lalu menggendongnya. Matanya kemudian beralih padaku, memberikan anggukan kecil. Aku yang berdiri di dekat Dean berniat membantu menggendong bocah itu, tetapi tangan kami tak sengaja bersentuhan. Sentuhan itu hanya sesaat, tetapi cukup untuk membuatku menarik tangan dengan gugup. Pak Juan pun terlihat sama kikuknya, meski ia langsung mengalihkan perhatian dengan menggendong Dean dan mencium pipinya. "Sudah besar, ya? Papa hampir nggak mengenali bos kecil," ucapnya dengan nada lembut, membuat Dean tertawa kecil. Aku hanya berdiri di sana, berusaha mengendalikan debar jantungku. Pak Juan menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. "Dini, nanti ke ruang kerja sebentar, ya? Saya ada sesuatu yang ingin dibicarakan." Aku mengangguk pelan, meski tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang mulai merayap. Setelah memastikan Dean tertidur, aku menuju ruang kerja Pak Juan. Ia sudah menungguku di sana, duduk dengan santai di kursinya. Pak Juan langsung mengisyaratkan aku untuk duduk di hadapannya. "Ada yang ingin saya tanyakan," katanya tanpa basa-basi begitu aku duduk. Aku mengangguk pelan, menunggu ia melanjutkan. "Apa kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan itu seperti tamparan. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Bahagia? Apa itu penting saat aku hanya berusaha bertahan hidup? "Kenapa Pak Juan tanya seperti itu?" aku mencoba mengalihkan. Ia menghela napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang penuh arti. "Karena saya melihat kamu seperti seseorang yang terjebak. Kamu melakukan segalanya untuk orang lain, tapi lupa bertanya pada dirimu sendiri, apa yang sebenarnya kamu inginkan." Aku tersenyum tipis, pahit. "Tugas saya sekarang hanya memastikan semuanya baik-baik saja, Pak. Kebahagiaan saya tidak penting." "Kamu salah, Dini," jawabnya cepat. "Kebahagiaanmu penting, terutama untuk anakmu. Jika kamu tidak bahagia, bagaimana kamu bisa memberikan yang terbaik untuk dia?" "Kalau saya berhenti sekarang, siapa yang akan menopang keluarga saya? Siapa yang akan merawat suami saya? Saya tidak punya pilihan," jawabku akhirnya, suara bergetar menahan emosi. Pak Juan mengamati wajahku beberapa detik sebelum akhirnya bersandar di kursinya. "Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi sebenarnya pilihan itu ada. Kamu hanya perlu keberanian untuk mengambilnya." Aku tertegun. Kata-katanya benar, tetapi apa aku punya pilihan? Siang itu, setelah keluar dari ruang kerja Pak Juan, aku memutuskan untuk menelepon Mas Sandi. Aku harus bicara dengannya, menjelaskan semuanya, dan mungkin mencari solusi bersama. Panggilan tersambung, tetapi yang menjawab bukan Mas Sandi. "Halo, ini siapa?" suara seorang perempuan terdengar di seberang sana. Aku terdiam, merasa aneh. "Saya Dini, istrinya Mas Sandi. Bisa bicara dengan Mas Sandi?" Perempuan itu tertawa kecil. "Oh, jadi kamu istrinya. Kiranti di sini, partner bisnis suamimu. Dia sedang sibuk, nanti saja kamu telepon lagi, ya." Mendengar itu, aku pun memutuskan sambungan telepon. Partner bisnis? Perempuan itu terdengar begitu santai, tetapi nadanya membuat perasaanku tak nyaman. Aku terdiam duduk dengan menyandarkan kepalaku yang terasa berat, tak tahu harus bagaimana lagi. Pikuranku terasa buntu, seolah masalah datang bertubi-tubi menghampiriku. Aku ingin beranjak masuk ke dalam kamarku, tetapi suara ponselku berdering, menampilkan nama Mas Sandi. Aku segera mengangkatnya. "Din, ada apa telepon?" tanya Mas Sandi. "Mas, aku mau tanya soal Kiranti. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia yang mengangkat teleponmu tadi?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak. "Kiranti itu partner bisnis sekaligus teman lama. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku hanya ingin membangun usaha kecil supaya kamu nggak perlu bekerja jauh lagi." "Tapi kenapa kamu tidak pernah cerita sebelumnya? Kenapa dia bisa sedekat itu denganmu sampai mengangkat teleponku?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi. "Din, aku sudah bilang, dia hanya teman!" suara Mas Sandi mulai meninggi. "Kenapa kamu selalu mencurigai aku? Apa kamu pikir aku tidak pantas dipercaya?" "Mas, aku nggak bilang begitu. Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya," balasku, mencoba menenangkan diri. "Din, aku nggak mau ribut sekarang. Aku lagi sibuk. Kita bahas ini nanti," katanya buru-buru. "Sibuk? Selalu sibuk! Mas, kapan kamu bisa benar-benar ada untuk aku?" aku mulai kehilangan kendali. "Din, jangan mulai lagi. Kamu cuma capek, makanya sensitif," balasnya dengan nada defensif. "Aku capek, Mas, karena kamu nggak pernah paham. Semua beban ini aku yang tanggung, tapi kamu malah—" suaraku tercekat, mencoba menahan emosi. "Jadi sekarang aku yang salah? Aku cuma berusaha memperbaiki keadaan kita, Din. Kalau kamu nggak mau bantu, ya sudah!" bentaknya sebelum memutus telepon. Aku menatap layar ponselku dengan tangan gemetar. Masalah ini seperti tidak ada ujungnya. Siapa sebenarnya Kiranti? Apa benar dia hanya teman? Malam itu, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap Dean yang tertidur nyenyak. Di luar, hujan turun membawa hawa dingin yang menyelimuti rumah. Langkah kaki mendekat, dan aku mendapati Pak Juan berdiri di ambang pintu, membawa selimut tambahan. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut. Aku mengangguk, meskipun jelas-jelas aku tidak baik-baik saja. Pak Juan mendekat, menyelimuti Dean, lalu menatapku. "Kalau kamu butuh bantuan, katakan. Jangan memikul semuanya sendirian," ucapnya sebelum pergi, meninggalkan aku dengan pikiran yang semakin kacau. Di antara suara hujan yang terus berjatuhan, pikiranku dipenuhi kebimbangan. Antara kenyataan yang membuatku lelah dan jalan yang mungkin ada, aku tahu satu hal—aku tak bisa terus seperti ini. Tetapi, bagaimana caranya melangkah keluar dari lingkaran ini? Suara hujan terus berlanjut, seperti melodi sedih yang mengiringi malamku. Di antara bayangan masa lalu, keraguan pada suamiku, dan perhatian Pak Juan yang semakin sering kurasakan, aku tahu satu hal—aku tidak bisa terus seperti ini. Tetapi untuk mengambil langkah pertama, aku harus mencari keberanian.Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju