"Ketika cinta berubah menjadi luka, dan pengorbanan dibalas dengan pengkhianatan. Dini, seorang istri yang berjuang keras demi suami yang ia cintai, terjebak dalam perjanjian dengan majikannya demi biaya pengobatan. Namun, kebenaran yang terungkap menghancurkan dunianya—uang yang ia kirimkan digunakan untuk mahar pernikahan suaminya dengan sahabatnya sendiri. Dibuang oleh keluarga dan suaminya, Dini harus bangkit dari kehancuran. Akankah ia mampu menemukan kembali harga dirinya di tengah luka pengkhianatan ini? Sebuah kisah menyayat hati tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan seorang perempuan."
View More"Aku mau operasi, Din. Aku nggak tahan lagi!" Suara Mas Sandi menggema di telingaku, sarat dengan keputusasaan.
Aku menggenggam ponsel erat, napasku tercekat. "Mas, aku—" "Jangan bilang sabar lagi!" bentaknya. "Kalau kamu memang peduli, carikan aku uang buat operasi! Aku capek jadi cacat!" Dadaku sesak. Aku ingin menolongnya, tapi bagaimana? Dompetku kosong, pekerjaanku sebagai pengasuh anak tak cukup untuk biaya operasi yang puluhan juta. Aku bahkan baru mulai bekerja, lalu bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk operasi? Mas Sandi menghela napas berat, lalu suaranya merendah. "Atau kamu udah nggak peduli lagi? Udah punya laki-laki lain di kota?" Dada ini semakin perih. "Jangan bilang gitu, Mas! Aku cuma butuh waktu." "Berapa lama lagi? Sampai aku mati?" sambungnya tajam. Sambungan terputus. Aku menatap layar ponsel yang menggelap, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Aku harus bagaimana? Detik itu juga, getaran ponsel di tangan Dini membuatnya terlonjak. Layar menyala, menampilkan nama yang sudah terlalu familiar: "Ibu Mertua". Dengan jantung berdegup kencang, Dini membuka pesan yang baru saja masuk. "Dini, kamu bisa nggak sih jadi istri. Sandi butuh uang untuk operasi tapi kamu malah santai hidup enak di kota. Cepat kirim uangnya sekarang! Kamu jangan jadi istri yang durhaka!" Setiap kata seakan menghujam ke dalam hatinya, membawa rasa sakit yang tak tertahankan. Air matanya mulai menggenang, mencoba menahan rasa sakit yang begitu dalam. Saat itu juga, tangisan Dean, anak asuhnya yang masih balita, memecah keheningan. Anak kecil itu terbangun dengan wajah merah dan air mata yang mengalir deras. Dengan cepat, Dini menghampiri, mengangkat tubuh kecil Dean dan mengayunkan pelan di pangkuannya sambil menepuk-nepuk punggungnya. Pelan-pelan, tangisan itu mereda dan Dean kembali terlelap dalam dekapan hangatnya. Dini kembali menatap layar ponselnya, rasa bingung dan keputusasaan menerpanya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengumpulkan uang yang dibutuhkan untuk operasi Sandi. Pikirannya melayang ke pekerjaan harian yang sudah menguras banyak tenaga dan waktu, namun penghasilannya tidak seberapa. Dini menghela napas panjang, mencari kekuatan untuk menghadapi cobaan yang tampaknya tak kunjung usai. Tiba-tiba pintu kamar Dean terbuka lebar. Dini buru-buru menghapus air mata sebelum menoleh ke arah orang yang tengah berdiri di sana. Pak Juan berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam. "Kamu butuh uang, Dini?" Aku membeku. Bagaimana dia tahu? "Berapa?" tanyanya tegas. Aku menelan ludah, lalu menjawab dengan suara gemetar, "D-dua puluh juta, Pak." Dia menyilangkan tangan di dada. "Aku bisa memberimu uang itu. Tapi ada syaratnya." Jantungku berdegup kencang. "Syarat apa, Pak?" Pak Juan melangkah lebih dekat. "Tinggalkan suamimu itu setelah dia operasi dan kamu jadi milikku." Darahku seakan berhenti mengalir. "Apa?" "Kamu butuh uang. Dan aku akan memberikannya." Matanya menatap lurus padaku, tanpa ragu. Aku menggeleng panik. "Pak, kenapa saya harus meninggalkannya!" "Sampai kapan? Suamimu lumpuh, tidak bisa bekerja, dan kamu yang menanggung semuanya. Kamu pikir ini akan berakhir baik?" Aku terdiam. Aku ingin menolak, tapi kata-kata itu menusuk terlalu dalam. "Ambil waktu sebentar, tapi jangan terlalu lama. Suamimu butuh operasi, kan?" katanya dingin. Aku terhuyung mundur. Tidak! Aku tidak bisa! Tapi kalau aku tidak melakukannya… Mas Sandi… Tanganku mengepal. Air mataku jatuh, dan aku tahu, aku tak punya pilihan. "Pikirkan baik-baik, semua keputusan ada padamu," ucap Juan datar sebelum ia benar-benar meninggalkan kamar anaknya. Dini mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangannya, sambil matanya masih tertuju pada pintu yang baru saja ditutup oleh Pak Juan. Hatinya terasa tercabik-cabik antara dua pilihan yang sulit. Sandi, suaminya yang terbaring lemah di rumah sakit, membutuhkan operasi segera untuk kesembuhannya. Namun, untuk mendapatkan uang yang cukup, ia harus menerima tawaran majikannya, Pak Juan, yang mengharuskan ia meninggalkan suaminya, Sandi, untuk selamanya. Dini terisak dalam diam, rasa keputusasaan menyergapnya. Dilema yang menghantui pikirannya membuatnya semakin tidak berdaya. "Bagaimana mungkin aku harus memilih antara suami dan majikanku?" gumamnya lirih, seraya jari-jarinya mencengkeram erat selimut yang tergeletak di pangkuannya. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, menggantung di bahunya seperti beban yang tak terangkat. Di luar sana, malam semakin larut, namun dalam kegelapan kamar itu, pikirannya terasa semakin terjebak dalam labirin kecemasan dan ketakutan. Ia tahu keputusan yang diambil akan mengubah hidupnya dan keluarganya selamanya. Dengan napas yang berat, Dini berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk membuat pilihan yang terbaik bagi mereka semua. Dini merasa kaki dan pikirannya tak bisa berhenti bergerak. Langkah kaki ringan namun cepat mengelilingi kamarnya yang remang-remang, mencerminkan pergolakan batin yang sedang dialaminya. Tangannya sesekali menarik helaan napas yang dalam, berusaha mencari jawaban atas tawaran Juan. "Aku harus bagaimana?" gumamnya seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Lantas, ponsel yang baru saja ia letakkan di atas meja tiba-tiba berbunyi mengejutkan, memecahkan keheningan malam. Layar ponsel menunjukkan nama 'Ibu Mertua'. Jantungnya berdegup kencang sebelum jari-jarinya yang gemetar menekan tombol jawab. "Halo," sahutnya dengan suara yang berusaha tenang. "Dini, kamu harus tanggung jawab!" suara Bu Marlinah seketika terdengar keras di seberang sana, membuat Dini mengerutkan kening. "Sandi mau mengakhiri hidupnya karena kamu nggak bisa ngasih uang buat dia operasi. Kalau sampai terjadi apa-apa sama dia kamu yang patut di salahkan!" nada suara meninggi, terdengar keputusasaan dan amarah. Dini membeku, tangannya memegang telepon terasa dingin. Kata-kata itu seperti guntur yang menghantam keras, meninggalkan keheningan yang menggema di hatinya. Pagi itu, sinar matahari yang cerah menerobos jendela dapur tempat Dini tengah menyiapkan sarapan. Suasana hening hanya diselingi suara gemericik air dan desis panci di atas kompor. Sambil menuangkan jus, ia berpapasan dengan Juan yang sudah duduk di ruang makan. Juan memandangnya dengan senyum yang tak sepenuhnya tulus. "Bagaimana, Dini? Sudahkah kamu mempertimbangkan tawaranku semalam? Sebaiknya kamu cepat-cepat mengambil keputusan, lepaskan saja beban yang memenuhi pikiranmu," katanya, nada suaranya terdengar mengejek dan penuh penekanan pada setiap kata. Dini terpaku sejenak, tangannya yang memegang gelas berhenti di tengah udara. Matahari pagi yang cerah tadi seakan berubah suram dalam pandangannya, dia menelan ludah, berusaha meredam gejolak di dalam dadanya. Pikirannya yang sempat tenang kini kembali kacau, semua kembali menguap saat mendengar kata-kata Juan yang menusuk hatinya itu. Pak Juan tersenyum tipis, senyuman yang sulit ku tafsirkan. "Kita bicarakan nanti. Untuk sekarang, fokuslah pada suamimu. Pastikan dia tidak mencoba hal bodoh lagi." Aku mengangguk, tetapi rasa penasaran dan kekhawatiran mulai menyelimuti hatiku. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Juan dariku?Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments