Entah jam berapa mereka selesai. Yerin sudah terlelap sejak tadi. Arsen menatap jam dinding. Ia mengusap lengan Yerin yang keluar dari selimut. Hembusan nafas wanita itu begitu tenang. Arsen tidak mau membangunkan Yerin—ia memilih untuk turun dari ranajng. Hanya menggunakan jubah tidurnya—ia mengambil rokok di dalam nakas. Setelah itu pergi ke balkon kamar mereka. menutup pintu agar asap rokoknya tidak sampai masuk ke dalam kamar. Arsen memandang langit yang begitu gelap. Lalu, memantik api untuk menyalakan rokoknya. Tangannya mengapit rokok dengan lihai—menyesap rokok itu dengan nikmat. Mengembuskan asap ke udara. Di sisi lain. Yerin sedang tertidur berusaha memeluk Arsen. Karena pria itu tidak ada di sampingnya, membuat Yerin membuka mata. Benar—meski matanya berat. ia masih bisa membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Suaminya tidak ada di sampingnya. “Sayang….” Yerin turun dari ranjang. Berjalan ke balkon—mendekati suaminya. Sampai duduk di ata
21++ “Tadi Bastian terlihat sangat sedih,” ucap Yerin masuk ke dalam mansion. “Mangkanya aku bilang kalau terus menangis batalkan saja.” Yerin menoleh dan melotot pada Arsen. “Maksudnya, dia bisa berangkat saat siap saja. daripada menangis terus.” Arsen menangkap pinggang Yerin—memeluknya dari belakang. “Mungkin dia merasa sedikit berat pergi. Apalagi hubungan kalian baru membaik. Dia baru merasakan kehangatan keluarga….” Lirih Yerin. “Benar.” Arsen menaruh wajahnya di ceruk leher Yerin. “Nanti kita ke sana. sekalian liburan.” Yerin sumringah mendengar ucapan Arsen. “Benarkah?” “Ehm..” Arsen mengecup leher Yerin. “Tapi buat aku senang dulu.” Yerin memutar tubuhnya—mengalunkan tangannya di leher Arsen. “Selalu seperti itu.” Yerin mendengus pelan. Arsen menunduk—mencium bibir istrinya. Ciuman yang lembut berubah menjadi liar. Semakin intens. Sampai Yerin baru sadar kalau mereka berad di ruang tamu. Bagaimana kalau ada orang lain yang melihat mereka. Yerin
Waktunya tiba…. Bastian sudah berada di bandara. Tinggal menunggu informasi keberangkatan saja. Yerin bersindekap di samping Arsen. Menatap dua anak yang berada di seberang mereka. Dua anak itu saling merangkul dengan mesra. “Mentang-mentang aku sudah tidak jadi guru mereka, mereka jadi bermesraan seenaknya di depanku.” Yerin mengadu pada Arsen. Arsen sibuk dengan tabletnya. Tablet yang menampilkan grafik entah apa itu. Yerin mengerucutkan bibirnya diabaikan Arsen. “Aku mendengarkan,” balas Arsen tanpa menoleh. fokusnya masih berpusat pada tablet. Yerin menggeleng pelan. “Bagaimana kalau kita ada di posisi itu ya?” tanyanya. “Bagaimana kalau kita ternyata juga harus ldr?” Arsen langsung menutup tabletnya. “Aku tidak akan membiarkannya.” Yerin mendongak. “Kenapa? Usia seperti mereka memang sedang fokus belajar.” “Meskipun seperti itu. Aku pasti tidak akan bisa. aku pasti akan mencari segala cara agar kamu tetap di sampingku.” Arsen memeluk pinggang Yerin dari samping. Y
Hari berganti dengan begitu cepat. Tinggal besok Bastian akan berangkat ke New York untuk pelatihan pemain basket. Untuk itu, hari ini ia memutuskan menghabiskan waktu bersama Eve. Bastian menyetir mobil—pinjam mobil kakaknya. Selagi bisa pinjam kenapa tidak.. Lagipula ia belum ingin punya mobil sendiri meski kakaknya sudah menawarkan membelikannya mobil. Perjalanan yang tidak terlalu lama. Mereka sampai juga di sebuah pantai. Katanya akan piknik di bawah pohon rindang sembari menatap pantai yang indah. “Semuanya aku masak sendiri.” Eve mulai membuka bekal makannya. Mereka duduk beralaskan tikar dan di bawah pohon yang rindang. “Waah…” Bastian menjadi bersemangat mencicipi masakan buatan Eve. Karena selama ini tidak pernah? tapi ia tidak curiga sama sekali. Nasi goreng, ayam goreng saus dan capcay. Bastian menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. “Gimana?” tanya Eve dengan antusias. Bastian terdiam…. Mengunyah—dengan eskspresi yang aneh. “Ehm…” mengang
Bastian tidak menginginkan apapun. Meski melihat semua teman-temannya sibuk dengan keluarga masing-masing. Tapi dia cukup dengan dirinya sendiri. Tidak masalah… Ia menghela nafas pelan. Sampai panggilan dari seseorang membuatnya menoleh. Ayah Eve memanggilnya untuk berfoto. Bastian segera mendekati Eve sembari membawa pialanya. “Bagus… satu dua tiga…” arahan dari ayah Eve yang memotret mereka. “Lebih dekat.” Ibu Eve yang menyuruh mereka untuk lebih dekat. Bastian dan Eve berpandang dengan canggung. Bastian hanya mendekat—tidak berani menyentuh Eve. Tapi Eve tiba-tiba merangkul lengannya. Kemudian tersenyum ke kamerah. “Bagus!” seru Ibu Eve. “Aku tidak percaya dengan foto Dad!” Eve mendekat. Meski membawa kamera, Eve tidak bisa percaya sepenuhnya pada ayahnya. Hasil kamera bapak-bapak. Eve menghentakkan kakinya kesal. “Tuh kan! aku jadi pendek sekali.” “Kamu memang pendek, Bastian yang tinggi,” balas ayahnya yang tidak mau disalahkan. “Itu bagus kok…
Graduation Day. Semua siswa berada di ruang auditorium untuk menerima ijazah. Ada orang tua yang turut hadir. Bangku terdepan diisi oleh guru-guru dan donatur seperti Arsen. Setelah sambutan dari kepala sekolah, waktunya sambutan dari angkatan yang lulus. Mantan ketua osis maju. “Check-check ehem…” Semua tertawa. Laki-laki yang sedang berada di podium itu mengambil mic. Kemudian mengambil langkah lebih maju. “Mari kita rayakan kelulusan ini dengan bahagia. Semuanya… Mari kita beri pujian pada diri sendiri yang sudah bertahan sejauh ini.” “Kalian hebat. kalian kuat. Dan kalian berhasil melewati masa-masa sulit saat berada di sini. tidak lupa terima kasih juga pada orang tua kita. merekalah yang telah bekerja keras agar kita bisa belajar dengan nyaman.” “keluar dari Sekolah bukanlah akhir, tapi awal untuk kita. Saya tahu pasti ada beberapa keluhan untuk sekolah. tapi, bagaimana pun juga sekolah adalah tempat belajar dan juga…” Laki-laki itu tertawa pelan. mengedik