“Manggamu masih cukup banyak. Kau keberatan jika aku menaruhnya di kulkas?” Abihirt bertanya lambat. Tidak ada tanggapan. Dia setengah menunduk, tetapi mendapati mata Moreau sudah menutup rapat.
Gadis itu benar – benar tertidur dengan nyaman, sedikit memberi peringatan agar Abihirt bergerak hati – hati. Dia memang tidak berharap akan membangunkan Moreau—mungkin memindahkan ke kamar adalah jalan pintas terbaik. Mula – mula, Abihirt mengatur posisi lengan yang masih mendekapnya supaya secara perlahan terlepas. Tidak sulit membuat tangan Moreau tergoler, kemudian dia segera mengangkat tubuh gadis itu. Sedikit terasa berbeda. Kening Abihirt mengernyit samar, berpikir mungkin efek sering membawakan makanan di tengah malam membuat Moreau mengalami penambahan berat badan. Dia tidak berharap gadis itu akan mengajukan protes, karena sebentar lagi program untuk merayakan ulang tahun mendiang ibunya akan segera sampai. Tubuh Moreau diletakkan dengan hati – hati di atas kSudut bibir Barbara melekuk tipis saat terbangun mendapati suaminya masih di ranjang yang sama dengan posisi telentang. Abihirt memang mengambil jarak agak berjauhan. Ini sering terjadi setelah pria itu tahu bahwa dia secara sengaja melubangi alat kontrasepsi di malam itu. Persetan. Barbara tidak begitu peduli jika Abihirt akan menciptakan suasana pengabaian seperti ini dalam kurun waktu tak diinginkan. Paling tidak, rencananya telah berhasil. Dia sudah menunggu saat – saat yang lain untuk menciptakan prospek terbaik di waktu mendatang. Harus secepatnya terjadi. Ada pertemuan penting hari ini. Barbara tidak bisa terlalu lama terpaku mengamati tidur suaminya yang tenang. Lagi pula, mereka juga tidak melakukan banyak percakapan, meski dia selalu bersikap paling berisik. Membicarakan sesuatu yang terkadang tidak penting. Ntahlah, Abihirt terlihat lebih sering mengumpulkan minat bicara kepada orang lain, asal tidak dengannya. Asal pria itu tidak terlibat dalam pelbagai bentu
[Kau sudah sampai di rumah?] Moreau mengernyit dalam saat membaca pesan dari Abihirt. Dia sedang melakukan perjalanan pulang dengan Juan sebagai supir paling setia. Mereka sebentar lagi akan sampai, tetapi mendapati Abihirt mengajukan pertanyaan—yang tidak biasa selama beberapa waktu belakangan, cukup membuat dia penasaran ... mengapa pria itu menanyakan hal tersebut? Apakah ada sesuatu yang akan ayah sambungnya lakukan? Jika memang seperti itu. Seharusnya bukan hal buruk yang terbayangkan di puncak kepala Moreau. Dia hanya—belakangan ini merasa diliputi pelbagai antisipasi. Berharap bukan apa – apa. Berharap Abihirt tidak tiba – tiba memintanya menunggu pria itu di ruang merah. Karena bagaimanapun, polanya selalu sama. Abihirt akan memastikan, maka mereka dapat menyusun kesepakatan. Ada sedikit suasana traumatis yang ingin Moreau singkirkan. Hubungan mereka memang sudah beranjak lebih baik, tetapi dia belum siap mengenai sesuatu yang melibatkan rasa sakit sendirian.
Moreau segera menjatuhkan bokong di atas sofa, merasa sangat ingin meluapkan semua rasa lelah. Mungkin jika ada yang bersedia memijat kakinya, dia tidak akan merasa keberatan. Cukup disayangkan bahwa di sini hanya diliputi keheningan yang bergemuruh. Moreau berulang kali menghela napas kasar dan perlahan memutuskan untuk benar – benar telentang sembari menatap langit – langit ruang tamu. Tidak ada hal yang ingin dilakukan saat ini. Dia memejam. Tidur sebentar sepertinya tidak apa – apa. Barbara tidak datang. Dapat dipastikan tidak akan memutuskan untuk datang, sehingga beberapa waktu berikutnya dia terbebas dari pelbagai komentar tidak menyenangkan, apabila wanita itu melihat kekacuan di sini. Sulur – sulur kening Moreau mengernyit ... kali ketika dia merasakan sentuhan dari seseorang. Ujung jemari yang terasa kasar—setidaknya, menuntut agar dia secara naluriah menatap langsung siapa pelaku utamanya. Sedikit tak menyangka bahwa Abihirt akan tersentak ketika mereka mel
“Bagaimana latihanmu hari ini?” Alih – alih menjawab pada point utama. Abihirt malah berbalik mengajukan pertanyaan—secara tidak langsung mengakui bahwa pria itu hanya mencari pengalihan supaya mereka tidak membicarakan hal – hal seperti sebelumnya. “Latihan kami lancar. Fitting baju juga mulai pelan – pelan dilakukan. Aku hanya kasihan kepada Juan. Dia harus menahan berat badanku yang ... katanya bertambah.” Moreau mengedikkan bahu tak acuh. Dia tahu betul penyebab utamanya, tetapi dengan sengaja bersikap pura – pura tak percaya. Pura – pura tidak terpengaruh apa pun. Asal, belum ada perubahan signifikan dari bagian tubuhnya sampai program acara Abihirt tiba. Tidak akan lama lagi—bahkan, sudah terlalu dekat. Sebelah alis Moreau mengernyit herat ketika mendapati sorot mata ayah sambungnya seperti menyiratkan sesuatu. Barangkali ada sesuatu yang Abihirt pikirkan? Dan pria itu belum bisa mengenyahkan hal tersebut dari permukaan. “Kau seperti ingin menertawakan
Wajah pria itu kemudian menunduk, menjatuhkan mulut di depan dada Moreau dan samar – samar geraman tertahan terdengar di sana. “Jangan nakal, Abi. Apa kau tidak lelah terus meminta hal ini dariku?” tanya Moreau, sekadar ingin tahu apakah Abihirt sering melakukan hubungan badan bersama ibunya ketika pria itu kembali ke rumah? Meski tidak akan mengajukan pertanyaan secara gamblang. Sedikit tidak lelah jika hal tersebut memang adanya, tetapi dia tidak bisa melakukan apa pun. Duri tidak pantas mengajukan protes. Seperti ini sudah cukup atau seharusnya dia menjaga jarak. Ironinya, semua selalu masuk pada pengecualian. Moreau tak bisa melakukan apa pun. Terlalu mudah disetir oleh keraguan di dalam dirinya, apakah harus tetap dilanjutkan—dengan perasaan yang masih menggantung sangat erat, atau malah menyiapkan peringatan untuk benar – benar melupakan semua yang pernah terjadi antara mereka. “Kau selalu membuatku merasa lapar. Bagaimana aku akan lelah?” Tidak sadarkah A
“Buka bajumu.” Satu perintah tegas seperti melibatkan badai ketegangan di sekitar. Moreau belum siap melakukan apa – apa, tetapi Abihirt telah melumat bibirnya, seakan sedang memberi penegasan bahwa dia adalah suatu properti yang secara hak dan keputusan, utuh milik pria itu. Sungguh, sambil menanggapi lumatan mulut Abihirt. Moreau merasa kewalahan saat ujung jemari pria itu menyapu lembut pada celah lembab di kedua kakinya. Mereka masih berpakaian lengkap, tetapi tidak sulit bagi Abihirt jika memang pria itu ingin langsung bertelanjang. “Abi,” Moreau mengerang kecil saat satu jemari Abihirt mencelup ke dalam tubuhnya. Senyum samar terasa di balik ciuman bibir mereka. Dia berusaha mengatakan sesuatu. Hampir tidak ada yang terungkap. Malah, secara mendadak Abihirt berkata, “Berbaringlah.” Berbaring di atas sofa .... Moreau mengerti. Dia tidak mengatakan banyak protes saat Abihirt mengangkat tubuhnya, lalu dengan hati – hati mengatur agar dia telentang.
Suara geraman samar dari pria itu membuat Moreau cukup puas. Dia menyeringai saat sentuhannya hampir menggapai sesuatu yang keras di balik celana panjang Abihirt. Kemudian segera berhenti saat hanya perlu menyingkirkan tali pinggang dan apa pun yang masih menutup utuh di sana. Dia juga bisa menggoda ayah sambungnya saat pria itu merasa punya pelbagai krisis hak untuk menggantung keinginan mereka. Sial. Moreau merasa tiba – tiba ingin mencicipi kepala kentanan Abihirt. Belajar cara menjadi liar mungkin tidak apa – apa. Bukankah Abihirt sendiri yang telah mengajarkan banyak hal? Sambil mendorong permukaan dada pria itu. Moreau mengatur supaya dia duduk di pangkuan ayah sambungnya, lalu secara perlahan beranjak turun ke bawah, merangkak mundur seperti belut licin yang baru terbebas dari genggaman tangan. Sudah terduga bahwa Abihirt menyukai saat – saat dia memberi isyarat ketika ingin membuka kepala ikat pinggang pria itu. Abihirt mengangkat pinggul sekadar mempermudah a
“Engh ... Abi ...,” Moreau mengerang protes saat tiba – tiba Abihirt berhenti, meski mulut pria itu masih bergerak menggoda payudaranya yang mengilap oleh banjir keringat. Tubuh mereka licin bersama, tetapi tidak dimungkiri bahwa Abihirt masih begitu mantap menggenggam, meski pria itu pula yang berharap mereka mengambil jeda beberapa saat. “Kau bisa memohon kepadaku, Tuan Putri.” Suara serak dan dalam Abihirt serak saat berbisik dekat. Moreau tahu pria itu masih mendambakan keberlanjutan. Namun, ayah sambungnya benar – benar ingin melihat apa yang mungkin akan dia lakukan ketika semua seperti ini; diam, sementara hasrat telah meledak hebat. “Aku mohon, Daddy ....” Itu yang Moreau katakan. Dia mendeteksi cara Abihirt mendesis, kemudian tubuh mereka kembali saling menumbuk. Semua sensasi berakhir saling menyambut. Moreau secara naluriah mengetatkan ujung jari – jari tangan di bahu Abihirt. Membiarkan kukunya yang panjang menancap dalam. Dia memejam nikmat dengan k
“Aku akan masuk. Kau janji tidak akan lama?” tanya Moreau. Terlalu lama berdiam diri di dalam mobil bukan prospek bagus. Mereka memang tiba sesaat setelah Juan mengajukan pertanyaan. “Aku janji tidak akan lama. Hanya mengambil beberapa pakaian dan keperluanku saja.” Benar. Moreau meminta Juan untuk menginap lagi. Menemaninya sampai merasa lebih baik dan bisa melakukan segala aktifitas sendiri. Mobil yang Barbara katakan sudah siap dari proses perbaikan ... memang sudah di kirim ke rumah ini. Hanya saja, dia sudah terbiasa bersama Juan yang selalu menyetir. “Kalau begitu hati – hati di jalan. Jangan ngebut, kau mengerti?” “Ya, Amiga. Tidak perlu khawatir.” Moreau tersenyum tipis, kemudian memutuskan untuk membuka sabuk pengaman. Dia melambaikan tangan setelah menginjakkan kaki di halaman depan rumah. Menunggu sampai mobil Juan hilang dari tikungan, baru melanjutkan langkah membuka pintu yang tampak sedikit ... aneh. Kening Moreau mengernyit, mengin
“Jadi kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam Abihirt persis begitu dekat. Lagi – lagi Barbara menelan ludah kasar, bahkan segera tersentak saat ruang untuk beranjak mundur telah habis dibatasi dinding kamar. Napas Barbara segera tercekat diliputi tangan kasar Abihirt yang mencekiknya dengan hebat. Pria itu kalap. Hampir tidak pernah ada tindakan mengerikan seperti ini, dan Barbara tidak bisa melakukan apa pun ... selain berharap Abihirt akan segera sadar. “Aku yakin kau juga sudah tahu kalau keputusan untuk menikahimu hanyalah ajang pembalasan dendam. Sekarang kau akan merasakan semua akibat dari perbuatanmu di masa lalu.” Di mata kelabu itu, sungguh tidak ada ampun. Barbara bisa melihat dengan sangat jelas bahwa Abihirt luar biasa membencinya. Ternyata begitu banyak topeng penyelematan, meski saat ini ... semua akan diselesaikan hingga tuntas. Barbara memejam sebentar. Cengkeraman Abihirt masih cukup memberinya kesempatan bicara. Dia mati – matian men
Ujung tenggorokan Barbara seakan tercekat membayangkan pernikahan ini adalah ajang balas dendam. Dia tidak sedang mengenakan kostum penyesalan. Apa yang terjadi 20 tahun lalu adalah murni atas ketertarikan seseorang terhadap seseorang lainnya. Dia memang ... tahu bahwa Soares Villur Alcaraz telah memiliki istri. Begitu pula dengan mendiang suaminya, Jeremias Riveri. Namun, kematian Vanesia adalah gambaran tidak terpikirkan. Dia merasa .... ketika Soares akan memilihnya, itu merupakan bentuk keajaiban yang pantas. Mereka sempat merencanakan pernikahan setelah kematian Vanesia, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Rasa bosan ... hal tersebut dapat dipahami. Lagi pula, bersama Soares, Barbara sudah mendapat apa yang dia inginkan. Kemudian, dia mulai mengejar Jeremias. Semua terjadi seperti itu. Abihirt .... Barbara tidak bisa diam begitu saja. Perhatiannya mengedar ke pelbagai arah. Dia sebaiknya menggeledah supaya menemukan petunju
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal