Share

BAB 3 | Reveal Secrets

“Orang tuanya yang telah membunuh mama kamu.” Alan berkata tenang namun pembuluh darah yang terlihat tegang di lehernya menandakan amarah yang tertahankan. Pada akhirnya, Alan telah membeberkan fakta kematian Xania pada Alexa.

Alexa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, karena apa yang dikatakan Alan tidak pernah terpikirkan olehnya. Mamanya dibunuh? Dan pembunuhnya orang tua kekasihnya? Tapi ... saat itu Alan memberitahunya kalau Xania—

“Mama kamu bukan meninggal akibat kecelakaan. Maafkan Papa yang telah merahasiakan hal ini,” tutur Alan seakan sadar arah pikiran Alexa saat ini.

Alan membalikkan badan, melangkah mendekati putri satu-satunya yang berdiri mematung dengan tatapan tidak percaya. Mata Alan menatap lekat manik mata cokelat Alexa yang sama persis seperti milik Xania dan sekarang Alan merasa menyesal telah memberitahu Alexa tentang kematian Xania. Salah satu pesan yang dikatakan Xania sebelum pergi untuk selamanya ialah jangan pernah memberitahu Alexa mengenai kematiannya.

Alexa ingin mendengar dari mulut papanya kalau semua ini hanya candaan garing Alan. Namun, raut yang tampak di wajah Alan sangat serius dan papanya itu bukanlah orang yang gemar bercanda. Apalagi pembahasan ini menyangkut dengan kematian mamanya. Kaki Alexa melemas, ia duduk di kasur milik papanya.

“Ta-tapi bukannya kedua orang tua Dave telah meninggal, Pa?” tanya Alexa nada suaranya terdengar parau.

“Ya, mereka kecelakaan di hari yang sama dengan meninggalnya mamamu,” jawab Alan mengalihkan tatapannya.

Pikiran dan hatinya berkecamuk, Alexa diam untuk beberapa menit mencoba menenangkan diri. Merasa sedikit lebih tenang dan berhasil mengembalikan kesadaran seutuhnya Alexa berdiri. Entah kenapa Alexa ragu kalau orang tua Dave yang telah membunuh mamanya. Ia merasa ada yang janggal dengan jawaban Alan yang terbilang singkat.

“Kenapa Papa yakin kalau orang tua Dave yang membunuh mama? Bukankah ini janggal kalau orang tua Dave juga meninggal di hari yang sama dengan mama? Berarti pembunuh sebenarnya—“ ucapan Alexa terpotong oleh suara Alan.

“Berhenti menerka-nerka Alexa! Sudah jelas kalau mamamu dibunuh oleh mereka!” bentak Alan yang kemudian mengusap wajahnya merasa sudah kelewatan pada Alexa. Alan menghembuskan napas pelan lalu melanjutkan perkataannya dengan intonasi kembali normal. “Jauhi Dave, Papa tidak ingin kamu memiliki hubungan dengannya. Papa tidak akan merestui hubungan kalian.”

***

Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Alexa yang tidak bisa tidur memilih pergi ke ruangan favorit mamanya, ruang baca. Ruang berbentuk persegi itu menjadi ruang yang sering dikunjungi Xania dari ruangan-ruangan lain di rumah ini. Rak buku setinggi dua meter dipenuhi berbagai jenis buku yang dikelompokkan sesuai warna.

Xania memilih tema transisional pada ruang baca, tema ini menggabungkan desain interior antara tema tradisional dan modern. Di tengah ruangan terdapat satu set sofa, meja kecil, dan lampu yang menghadap langsung pada tungku perapian. Desain lantai kayu menjadi pilihan sebagai alas ruangan, karena lantai kayu memberikan kesan hangat dan alami.

Suasana ruangan yang sunyi membuat Alexa merenungkan nasib hubungannya dengan Dave. Apakah ia harus mengakhiri hubungannya? Tapi terlalu cepat menyimpulkan kalau kedua orang tua Dave yang membunuh mamanya. Alexa yang selalu berpikiran panjang, tentu saja memikirkan hal yang membuatnya ragu.

Helaan napas berat keluar dari mulutnya, ia mengedarkan pandangan mengamati ruangan yang dipenuhi dengan buku. Tatapannya berhenti pada buku yang disimpan tidak sesuai warna sampul. Xania tidak mungkin menyimpan buku asal-asalan karena Alexa tahu mamanya itu sangat teliti dan suka kerapian. Apa mungkin papanya?

Kakinya mendekati rak buku tersebut lalu ia meraih buku bersampul merah tua. Alexa membuka buku setebal lima senti yang berada di tangannya. Ternyata itu sebuah album foto, di dalamnya terdapat foto masa kecil Alexa dari ia lahir hingga berusia lima tahun. Lembar demi lembar dibuka membuat memorinya mengingat kembali setiap momen di foto ini.

Sebuah foto terjatuh saat ia membuka lembar selanjutnya. Alexa mengambil dan melihatnya, ia mengerutkan dahi saat melihat foto tersebut, ini bukan foto masa kecilnya. Foto itu menampilkan tiga orang remaja, dua perempuan dan satu laki-laki yang usianya diperkirakan sekitar tujuh belas tahun. Sepertinya ini foto lama, terlihat dari kertas foto yang sudah usang, pikir Alexa.

Alexa membalikkan foto tersebut, ia melihat sebuah tulisan tangan. Xania, Vega, Dean—tulisan yang terdapat dibalik foto. Ah, sekarang Alexa tahu siapa remaja di foto ini yang tidak lain adalah mamanya dan kedua orang tua Dave.

“Mereka teman dekat?” gumam Alexa yang mendadak bingung. Karena selama ini ia tidak pernah tahu kalau ternyata mamanya dekat dengan orang tua Dave. Apa papanya tahu hal ini? Atau mungkin Dave tahu? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Alexa menggelengkan kepala pelan, ia akan bertanya pada papanya besok.

***

“Pa, Alexa mau bertanya sesuatu,” ujar Alexa yang melihat Alan telah menyelesaikan sarapannya. Ia mengeluarkan sebuah foto dari sakunya lalu memperlihatkan pada Alan. “Papa tahu siapa orang di foto ini?” tanyanya.

“Ya,” jawab Alan singkat setelah melihat foto itu.

“Apakah Papa dan mama berteman dekat dengan orang tua Dave?” tanya Alexa hati-hati, ia tidak ingin amarah papanya kembali memuncak.

“Tidak. Papa tidak termasuk, Papa mengenal mereka saat kuliah,” tutur Alan.

I see! Pantas saja Alan tidak ada di foto itu, yang Alexa simpulkan sekarang kalau Xania dan orang tua Dave memang punya hubungan pertemanan yang cukup dekat.

“Kalau begitu, bukankah pertemanan mereka cukup dekat? Berarti tidak mungkin orang tua Dave membunuh mama,” ucapan Alexa terlalu berani dan Alexa menyadari itu. Alexa menggali hal ini semata-mata bukan karena ia tidak percaya pada papanya melainkan fakta bahwa Alan telah merahasiakan kematian Xania dan tidak menjelaskannya secara rinci pasti ada sesuatu.

“Percayalah Alexa, bahwa manusia itu mudah berubah. Semua itu terjadi hanya karena bisnis! Uang! Mereka rela membunuh teman sendiri untuk kepentingan mereka. Berhenti meragukan siapa pembunuh mamamu!” Alan beranjak dari duduknya seakan tidak ingin lagi mendengar perkataan sang putri.

Alexa dengan cepat ikut berdiri lalu berkata, “Pa! Ini semua tidak masuk akal!”

Langkah Alan terhenti mendengar suara Alexa yang meninggi. Tanpa membalikkan badan Alan mendengarkan semua perkataan Alexa.

“Kalau ini soal bisnis dan uang yang diinginkan orang tua Dave, mengapa mereka juga mati? Aku tahu, Papa juga ragu soal ini. Tapi keraguan Papa itu tidak berhak menyalahkan orang lain atas kematian mama!” Napas Alexa memburu, ia marah namun sebisa mungkin menahan nada suaranya agar tidak semakin meninggi.

Alan dan Alexa saling bungkam untuk beberapa saat hanya terdengar suara kayu yang terbakar di tungku perapian. Alexa memandang punggung papanya, ia merasa bersalah atas ucapannya barusan. Alexa mungkin tidak memahami kondisi Alan pasca ditinggalkan Xania, bagaimana pria paruh baya itu tersenyum lebar di depannya namun menangis sendiri saat tidak ada siapa pun.

“I'm sorry ... ” nada suara Alexa melemah, ia mengakui dirinya salah. 

“It's okay,” setelah mengucapkan itu Alan kembali melangkah meninggalkan Alexa yang berdiri lemah di ruang makan.

•To Be Continued•

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status