Jleb!Begitu kagetnya dengan aksara yang berjejer rapi di kertas. Bola mata ini membelak mengetahui ini semua. Aku tak tahu ini tulisan siapa.… anakmu. Maafkan aku yang tidak bisa membiayainya. Suamimu sekarang orang kaya, pasti Widya bisa sekolah sampai SMP setidaknya. Jangan mencariku, aku sudah tak mau lagi hidup denganmu Ningsih. Aku juga sudah menikah lagi. Widya itu anakmu saja, bukan anakku. Aku gak mau akui dia.EndangItu isi di surat yang lebih dari separuhnya sudah terbakar. Jadi aku hanya bisa membaca ujungnya saja. Jadi kami memang bukan saudara sebapak? Ini adalah bukti yang membuatku semakin yakin. Ibu ditinggal suaminya yang pertama? Masya Allah.Lalu, ada secarik kertas lagi. Dan ini hanya terbakar seperempatnya. Ya Gusti, untung aku cepat menginjak api, jadi tidak sampai terbakar kertasnya.… ke kamu, karena kamu istri yang baik. Usia siapa yang tahu ya, Win. Jaga anak kita, dan aku menitipkan harta untuk Nurul. Abang menulis ini karena perasaan Abang kurang enak.
"Sayang, Abang pengen."Bang Panjul menghampiri ke kamar baru ini. Dia sepertinya sudah selesai menyeruput kopi. "Pengan apa, Bang?" tanyaku balik. Ini malam kedua di rumah ini. Badan juga masih ringsek setelah beres-beres. Baru beres hari ini. Rumah ini lumayan kotor di pojok-pojoknya. "Pengan anu dong, Yang," jawabnya sok manja.Entah bagaimana aku harus menolak karena jijik pada pria itu. Bu Ustazah bilang nolak suami itu dosa, tapi suami yang bagaimana? Borok-borok ingin berhubungan, melihat wajahnya saja kadang asam lambung kumat tanpa permisi.Ini seharusnya jadwal datang bulan. Aku harap, si tamu merah tiba. "Sebentar, Bang," ujarku karena tadi juga bawah perut sudah mules. Seperti biasa kalau ada tamu, pasti agak mules, dan pinggang juga serasa copot. Kuharap bukan hanya efek dari kerja berat tadi.Dan ternyata Dewi Fortuna, seperti apa kata di film berpihak. Benar saja, tamu merah ternyata sudah datang, namun warnanya masih agak gelap. Ada kesenangan tersendiri atas tamu in
"Tapi dingin, Sayang!" Dia hampir menyingkirkan es batu di kepalanya, tapi kurang berhasil."Eh, diem, Bang, Nur gak mau Abang geger otak. Ini bagus nih, biar sembuhkan luka." Padahal aku tidak tahu, hanya ingin kompres saja otaknya yang korslet."Ih, dingin, Nur, dingin!" Dia agak menggigil, aku lumayan puas."Eh, diam, Bang, Nur ini ahli beginian. Ini pengobatan tradisional," dalihku lagi. Terus sekamin kutekan saja es batu sampai kepalanya mungkin beku. Mampus kamu, Bang Panjul!"Hihi. Hihhhh. Hih … udah, dingin. Udah reda kok pening dan sakitnya." Dia berusaha mengendalikan."Alhamdulillah, Alhamdulillah. Jadi kalau semakin lama, justru ini semakin bagus, Bang. Bentar, tanggung, setengah jam lagi."Dia loncat kaget. "Hah, setengah jam? Mati membeku aku, Nur!" Hatiku tergelak tawa. Baguslah, biar otakmu yang panas dengan hasrat liar itu jadi sejuk sebentar.***"Nur, ini rumah sudah Mbak sertifikatkan. Masih dalam proses. Ini akan jadi atas nama Mbak ya? Lagian rumahnya juga ditem
"Oiya, Mbak, aku nemu foto ini. Kira-kira, ini foto Ibu sama siapa ya, Mbak?" Segera kuperlihatkan foto yang kutemukan waktu itu, "dan Nur juga pernah denger kalau bapak masih punya harta peninggalan, dari tetangga. Emang bener ya, Mbak? Kok aku gak tahu?" Seketika Mbak Widya pun seperti tertikam oleh belati tajam. Dia melotot meneguk liur saat kuberikan foto itu. Hayok, dia akan menjelaskan bagaimana?"Foto apaan ini?" Dia menyelidik benda tipis di tangannya."Itu anak kecil mirip sekali dengan Mbak. Kalau sama aku gak mungkin mirip, secara telinga anak kecil itu agak melebar ke pinggir. Itu Mbak 'kan? Dan ada tahi lalatnya di dagu sebelah kiri." Sebelum Mbak Widya beralasan, aku sudah mencecar duluan. Supaya apa, supaya dia tidak bilang kalau itu adalah gambar diriku."Eh, ini kamu dapat dari mana?" Mbak Widya Masih terpelongok kaget."Dari lemari, beres-beres aku, Mbak," jawabku santai."Eh, ya ini foto almarhum ibu sama bapak lah, Nur. Kenapa kamu nanya?" tanya balik Mbak Widya.
Gegas aku pun segera menuju ke rumah Juragan Tohir untuk menanyakan kepentingan Mbak Widya datang ke kediamannya. Dia itu bukan orang jumawa yang sadis, tapi biasa saja, ramah dan tidak akan mungkin marah-marah saat kutanya.Dan kutanyakan semuanya mengenai Mbak Widya, bahkan dia juga tidak tahu kalau aku malah tidak tahu Mbak Widya menjual harta peninggalan Bapak yang 100 tumbak itu padanya. Begitu sesak dadaku, ternyata Mbak Widya memang melempar sertifikat tanah untukku ke Juragan Tohir. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa apa-apa saat ini. Juragan sudah bayar cash dengan nominal fantastis.Yang 30 tumbak juga ternyata digadaikan dengan harga 50 juta. Ah, entah untuk apa Mbak Widya, dan dia menggadaikannya di saat dia masih bersama Mas Aryo.Begitu bodohnya aku, sampai Mbak Widya tidak jujur mengenai hak milikku. Tega sekali dia. Aku menganggapnya kakak, sedangkan dia menganggapku musuhnya."Nur!"Tiba-tiba suara orang memanggil dari arah belakang. Aku yang masih berjalan menu
"Kalau iya, apakah … apakah laki-lakinya itu … em, … laki-lakinya itu B–Bang Panjul?" Huwh … bak bisul yang sudah meletus. Aku pasrah atas tanggapan Mas Aryo."Nur?" Dia kaget."Kenapa, Mas? Mas kaget ya?" Wajah Mas Aryo memperlihatkan raut wajah kurang enak. Aku pun kini seperti paham."Nur … kenapa kamu …?"Ah, aku sudah menduga memang hasratku tidak salah. "Jadi … jadi Mas Aryo pernah melihat Mbak Widya dengan suamiku, Mas?" Aduh, sesak sekali nafas. Tenggorokan juga tercekak bicara seperti ini.Mas Aryo geleng-geleng kepala bermaksud tak habis pikir. "Maafkan Mas yang tidak bisa menjaga dan mendidik mbakmu, Nur."Tegh!Dan liurku terteguk lagi dengan susah payah. Meski berat, tapi ini kenyataan. Bahkan Mas Aryo sudah tahu sejak awal, sedangkan aku belakangan. Berarti kebejatan mereka sudah berulang kali."Jadi … jadi Mas Aryo juga … hiks!"Astaga, Nur, kamu ternyata sekarang baru bisa meneteskan air mata untuk pria bajingan dan mbakmu yang bunglon itu. Ya Gusti, hatiku benar-ben
Saat ini Mbak Widya seperti biasa keluar. Sepertinya dia mau shoping lagi. Astaghfirullah, Bu, kenapa Ibu amanatkan harta dari Bapak ke Mbak Widya? Astaghfirullahaladzim! Istighfar, Nur, istighfar.Surat gugatan cerai dari Mas Aryo baru akan kuberikan nanti saja. Aku juga sudah ijin padanya, supaya besok saja aku memberikan pada Mbak Widya. Biar Mbak Widya tidak tahu kalau aku sudah bertemu dengan suaminya itu. Lagipula, Mas Aryo juga tidak menghubungi mbakku dulu.Kucari ke sana dan ke mari, ternyata sertifikat rumah ini tak juga kutemukan. Entah di mana Mbak Widya menumpuknya. Apa ditanam di tanah? Hadeuh, ampun!Di setiap laci tidak ada, di bawah kasur tidak ada, di belakang lemari tidak ada. Dia pasti menyembunyikannya. Namun aku salah, terlalu luas pikiranku mencari sertifikat itu, yang ternyata ada di laci meja rias Mbak Widya. Dia punya banyak peralatan make up, dan ini pasti meja rias peninggalan orang yang tinggal di rumah ini.Akhirnya, aku temukan juga sertifikatnya. Lantas
Terus suaraku semakin keras. Dan benar saja, si pria semprul itu muncul. Pasti dia sangat kaget dan kesal."Sayang, Nur, kenapa?" Bang Panjul menyergapku yang kini terduduk di lantai dengan wajah cemas. Wajah dia nampak begitu berkeringat. Dasar semprul!"Kenapa, Yang?" Dia terus bertanya sembari kini membenarkan resleting. Pasti mereka akan … ah, sakit, sakit sekali hati ini. Tusukannya tidak terasa tapi aku sudah lemas seakan mati.Mbak Widya tidak berani keluar, sepertinya karena dia hanya pakai lingerie saja. Mungkin mereka tidak tahu aku mengetahui ini."Bang, Bang! Di dalam ada itu … tadi … tadi kayak ada bayangan hitam, Bang. Aduh, jangan-jangan hantu, Bang!" Aku mengerang ketakutan. Sumpah, sebenarnya ini hanya sandiwara saja untuk mengurangi perzinahan mereka lebih lanjut. Hanya ini yang bisa aku lakukan."Hah, bayangan?" Dia kaget, dan itu yang aku harapkan. Bang Panjul benarkan sarung sembari dikibas-kibas. Pasti gegara hasrat yang tertunda."Iya, Bang, jangan-jangan rumah