"Tapi dingin, Sayang!" Dia hampir menyingkirkan es batu di kepalanya, tapi kurang berhasil."Eh, diem, Bang, Nur gak mau Abang geger otak. Ini bagus nih, biar sembuhkan luka." Padahal aku tidak tahu, hanya ingin kompres saja otaknya yang korslet."Ih, dingin, Nur, dingin!" Dia agak menggigil, aku lumayan puas."Eh, diam, Bang, Nur ini ahli beginian. Ini pengobatan tradisional," dalihku lagi. Terus sekamin kutekan saja es batu sampai kepalanya mungkin beku. Mampus kamu, Bang Panjul!"Hihi. Hihhhh. Hih … udah, dingin. Udah reda kok pening dan sakitnya." Dia berusaha mengendalikan."Alhamdulillah, Alhamdulillah. Jadi kalau semakin lama, justru ini semakin bagus, Bang. Bentar, tanggung, setengah jam lagi."Dia loncat kaget. "Hah, setengah jam? Mati membeku aku, Nur!" Hatiku tergelak tawa. Baguslah, biar otakmu yang panas dengan hasrat liar itu jadi sejuk sebentar.***"Nur, ini rumah sudah Mbak sertifikatkan. Masih dalam proses. Ini akan jadi atas nama Mbak ya? Lagian rumahnya juga ditem
"Oiya, Mbak, aku nemu foto ini. Kira-kira, ini foto Ibu sama siapa ya, Mbak?" Segera kuperlihatkan foto yang kutemukan waktu itu, "dan Nur juga pernah denger kalau bapak masih punya harta peninggalan, dari tetangga. Emang bener ya, Mbak? Kok aku gak tahu?" Seketika Mbak Widya pun seperti tertikam oleh belati tajam. Dia melotot meneguk liur saat kuberikan foto itu. Hayok, dia akan menjelaskan bagaimana?"Foto apaan ini?" Dia menyelidik benda tipis di tangannya."Itu anak kecil mirip sekali dengan Mbak. Kalau sama aku gak mungkin mirip, secara telinga anak kecil itu agak melebar ke pinggir. Itu Mbak 'kan? Dan ada tahi lalatnya di dagu sebelah kiri." Sebelum Mbak Widya beralasan, aku sudah mencecar duluan. Supaya apa, supaya dia tidak bilang kalau itu adalah gambar diriku."Eh, ini kamu dapat dari mana?" Mbak Widya Masih terpelongok kaget."Dari lemari, beres-beres aku, Mbak," jawabku santai."Eh, ya ini foto almarhum ibu sama bapak lah, Nur. Kenapa kamu nanya?" tanya balik Mbak Widya.
Gegas aku pun segera menuju ke rumah Juragan Tohir untuk menanyakan kepentingan Mbak Widya datang ke kediamannya. Dia itu bukan orang jumawa yang sadis, tapi biasa saja, ramah dan tidak akan mungkin marah-marah saat kutanya.Dan kutanyakan semuanya mengenai Mbak Widya, bahkan dia juga tidak tahu kalau aku malah tidak tahu Mbak Widya menjual harta peninggalan Bapak yang 100 tumbak itu padanya. Begitu sesak dadaku, ternyata Mbak Widya memang melempar sertifikat tanah untukku ke Juragan Tohir. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa apa-apa saat ini. Juragan sudah bayar cash dengan nominal fantastis.Yang 30 tumbak juga ternyata digadaikan dengan harga 50 juta. Ah, entah untuk apa Mbak Widya, dan dia menggadaikannya di saat dia masih bersama Mas Aryo.Begitu bodohnya aku, sampai Mbak Widya tidak jujur mengenai hak milikku. Tega sekali dia. Aku menganggapnya kakak, sedangkan dia menganggapku musuhnya."Nur!"Tiba-tiba suara orang memanggil dari arah belakang. Aku yang masih berjalan menu
"Kalau iya, apakah … apakah laki-lakinya itu … em, … laki-lakinya itu B–Bang Panjul?" Huwh … bak bisul yang sudah meletus. Aku pasrah atas tanggapan Mas Aryo."Nur?" Dia kaget."Kenapa, Mas? Mas kaget ya?" Wajah Mas Aryo memperlihatkan raut wajah kurang enak. Aku pun kini seperti paham."Nur … kenapa kamu …?"Ah, aku sudah menduga memang hasratku tidak salah. "Jadi … jadi Mas Aryo pernah melihat Mbak Widya dengan suamiku, Mas?" Aduh, sesak sekali nafas. Tenggorokan juga tercekak bicara seperti ini.Mas Aryo geleng-geleng kepala bermaksud tak habis pikir. "Maafkan Mas yang tidak bisa menjaga dan mendidik mbakmu, Nur."Tegh!Dan liurku terteguk lagi dengan susah payah. Meski berat, tapi ini kenyataan. Bahkan Mas Aryo sudah tahu sejak awal, sedangkan aku belakangan. Berarti kebejatan mereka sudah berulang kali."Jadi … jadi Mas Aryo juga … hiks!"Astaga, Nur, kamu ternyata sekarang baru bisa meneteskan air mata untuk pria bajingan dan mbakmu yang bunglon itu. Ya Gusti, hatiku benar-ben
Saat ini Mbak Widya seperti biasa keluar. Sepertinya dia mau shoping lagi. Astaghfirullah, Bu, kenapa Ibu amanatkan harta dari Bapak ke Mbak Widya? Astaghfirullahaladzim! Istighfar, Nur, istighfar.Surat gugatan cerai dari Mas Aryo baru akan kuberikan nanti saja. Aku juga sudah ijin padanya, supaya besok saja aku memberikan pada Mbak Widya. Biar Mbak Widya tidak tahu kalau aku sudah bertemu dengan suaminya itu. Lagipula, Mas Aryo juga tidak menghubungi mbakku dulu.Kucari ke sana dan ke mari, ternyata sertifikat rumah ini tak juga kutemukan. Entah di mana Mbak Widya menumpuknya. Apa ditanam di tanah? Hadeuh, ampun!Di setiap laci tidak ada, di bawah kasur tidak ada, di belakang lemari tidak ada. Dia pasti menyembunyikannya. Namun aku salah, terlalu luas pikiranku mencari sertifikat itu, yang ternyata ada di laci meja rias Mbak Widya. Dia punya banyak peralatan make up, dan ini pasti meja rias peninggalan orang yang tinggal di rumah ini.Akhirnya, aku temukan juga sertifikatnya. Lantas
Terus suaraku semakin keras. Dan benar saja, si pria semprul itu muncul. Pasti dia sangat kaget dan kesal."Sayang, Nur, kenapa?" Bang Panjul menyergapku yang kini terduduk di lantai dengan wajah cemas. Wajah dia nampak begitu berkeringat. Dasar semprul!"Kenapa, Yang?" Dia terus bertanya sembari kini membenarkan resleting. Pasti mereka akan … ah, sakit, sakit sekali hati ini. Tusukannya tidak terasa tapi aku sudah lemas seakan mati.Mbak Widya tidak berani keluar, sepertinya karena dia hanya pakai lingerie saja. Mungkin mereka tidak tahu aku mengetahui ini."Bang, Bang! Di dalam ada itu … tadi … tadi kayak ada bayangan hitam, Bang. Aduh, jangan-jangan hantu, Bang!" Aku mengerang ketakutan. Sumpah, sebenarnya ini hanya sandiwara saja untuk mengurangi perzinahan mereka lebih lanjut. Hanya ini yang bisa aku lakukan."Hah, bayangan?" Dia kaget, dan itu yang aku harapkan. Bang Panjul benarkan sarung sembari dikibas-kibas. Pasti gegara hasrat yang tertunda."Iya, Bang, jangan-jangan rumah
Tok tok tok!Tok tok tok!"Nur!"Siang hari tepat pukul sepuluh siang pintu rumah diketuk seseorang. Apa Bank Emok? Ah, aku tak punya tunggakkan. Atau Bu RT? Ah, ini bukan jadwal tagihan bulanan. Siapa ya?Daripada batin yang rusuh menduga-duga, lebih baik kubuka saja pintunya. Tak berselang lama, tamu pun kini menampakkan wajahnya.Eh, aku kaget. Di balik pintu ada sosok wanita yang tidak asing bagi bola mataku."Ibu?"Yang datang adalah ibunya Bang Panjul, Bu Romlah yang profesinya tukang dagang nasi uduk di tempat tinggalnya."Eh, Ibu?" sapaku langsung lalu menyalami beliau pun mengecup punggung tangannya."Nur, sehat, Nur? Ibu ke mari dapat alamat rumah ini dari Panjul." Ibu mertua menjawab manis. Lekas kusuruh Ibu untuk masuk dan duduk. Lalu kubawakan segelas air putih tapi bersama pocinya. Supaya kalau mau lagi tidak jauh."Silahkan diminum, Bu," tawarku lalu duduk setelah menyibak rok supaya rapi saat ditindih bokong.Seperti biasa basa-basi bertanya kabar dan sejenisnya. Hingg
"Eh, kalau dikasih tahu orang tua itu ya jangan jawab terus, Nur. Kamu ini." Ibu mertua nampak semakin kesal. Dia pasti kaget kenapa aku bisa menjawab demikian.Sebenarnya memang kami sudah tak begitu asing. Dengan jarak rumah memang kadang terlewat, jadi bagiku keluarga Bang Panjul tidak seasing itu. Tapi, gara-gara ini, Ibu mertua jadi berani nyerocos seenak jidatnya."Nur, jangan lupa sisihin untuk beli sawah dan tanah, untuk bekal hari tua, biar nanti setelah tua gak kuli." Ibu mulai lagi. Karena tadi bilang kalau dia bicara aku jangan jawab terus, makanya tidak kujawab. Aku anteng saja menyidik kuku-kuku jari tangan dengan santai."Ibu ingetin juga, kalau jajan jangan yang aneh-aneh dan gak ada vitaminnya. Jangan jajan cuma seblak, bakso, itu gak boleh. Kalau mau ngemil, kamu itu lebih baik yang alami, kayak ubi, singkong direbus. Begitu."Aku tidak ingin menjawab karena katanya juga kalau Ibu bicara, aku jangan jawab. Lihat saja, bagaimana Ibu saat ini."Nur," heran Ibu.Aku asy