Pagi hari seperti biasa aku berkutat di kedai. Semua masakan sudah siap, dan pelanggan semoga semakin banyak. Biasanya, kalau makan siang nanti, mereka suka membludak.Oya, tadi aku mendapat pesan balasan dari Mas Aryo yang semalam itu. Ternyata mbahnya memang telah berpulang kepada Sang Agung. Aku pun turut berbela sungkawa. Mau ke sana tapi jauh, cukup doa saja. Kasihan sekali Mas Aryo. Dia sudah yatim piatu, Mbahnya juga sekarang sudah berpulang. Padahal aku tahu, Mbahnya itu masih sehat sekali, meski sudah renta. Alhamdulillah hubungan aku dan Mas Aryo sampai saat ini masih baik-baik saja. Silaturahmi kami masih terjalin."Mbak, saya mau ayamnya empat ya, sama tumis dua bungkus." Seorang pelanggan tiba."Baik, Mbak, saya bungkuskan, ya." "Iya, Mbak. Oiya, Mbak, apa di daerah sini ada kost-kostan murah, ya? Soalnya saya punya saudara perempuan mau kuliah di daerah sini, Mbak. Sebenarnya saya juga tawarin di rumah saya, tapi mungkin sungkan, karena di rumah saya banyakan. Rumah se
PoV Nur***"Eh, Nur, kontrakan di jalan Kelelawar mau dijual katanya. Itu yang punya udah meninggal, anaknya mau jual. Kan ada lima pintu, anaknya ada 6. Katanya mau dijual, uangnya mau dibagikan."Menul yang saat ini berkunjung ke kedai makananku bercerita. Dia masih melahap kacang kupas sudah habis lima bungkus. 5 × 2000 sudah 10 ribu. Memang bagus punya teman seperti dia. Kecuali kalau ngutang, aku bisa bangkrut. Tapi dia bukan tipikal penghutang. Haha."Memang kenapa kamu cerita ke aku, Nul?" tanyaku. Tangan masih menulis barang belanjaan yang akan dibeli. "Bukan kenapa, Nur. Beli sana, punya uang gak? Harganya di sana memang agak mahal, tapi kamu bisa jadi juragan kontrakan Nur!" jawab Menul lagi dengan wajah serius terus mengupas kulit kacang."Ah, aku mana ada uang. Pasti ber M M, kan. Aku gak ada uang sebanyak itu." "Yaelah, kayaknya gak sampai milyaran. Paling ratusan juta aja. Ya, dekat-dekat ke 1 M." Aku menarik kedua ujung bibir. "Sama aja, Nul, aku ada uang dari mana.
"Bukan iri, tapi sayang. Mbak kebayang kalau wajah Mbak yang mulus kena jerawat atau beruntusan? Kecantikan bisa lenyap seketika!" komentarku lagi.Dia malah tertawa. "Hahaha. Skincare aku bagus. Mahal. Terjamin. Terdaftar BPOM. Semua yang aku pakai itu mahal. Ya, seperti yang artis-artis pakai lah!" jelasnya angkuh. Aku tersenyum sinis."Lah, dia gak tahu apa ya, Nur? Artis juga banyak wajahnya yang rusak. Katanya ke dokter termahal, operasi juga gagal. Pengen cantik, jadi kayak botol kecap. Hahaha." Si Menul menertawakan. Aku juga ingin, tapi takut dosa. Wkwkwk."Eh enak saja kau gentong minyak! Perlu kamu tahu, aku mau suntik putih terus operasi pipi biar agak tirus. Bukan bulet kayak serabi mirip pipimu!"Mendengar pernyataan Mbak Widya barusan aku malah cemas. "Ngapain sih Mbak harus operasi segala? Mbak itu sudah cantik dan seharusnya memang disyukuri dan dirawat saja!" Tapi dia malah tertawa mendengar nasehatku. "Hahaha, sudahlah kamu jangan iri. Kamu juga jangan banyak ngomon
PoV Panjul**"Jul, sini! Sini Ibu mau ngomong!"Malam hari setelah Widya tertidur pulas aku pergi ke dapur. Tapi Ibu malah meminta mendekat dengan wajahnya yang bikin penasaran."Ada apa, Bu?" tanyaku sembari mendekat."Sini! Ayok kita bicara!" sahut Ibu dengan nada tipis dan pelan. Sepertinya ia tak mau menantunya terbangun."Apa sih, Bu?" Wajah Ibu sudah horor. "Kamu ini, Panjul! Keterlaluan uang kamu semua kamu berikan sama si Widya. Jatah Ibu mana? Kamu tahu, Widya ngatur uang Ibu!" celetuknya kesal. Oh, jadi karena itu?"Aduh, Bu, ya mau bagaimana lagi. Widya beda sama Nur yang pintar dibohongi. Dia geledah semua isi sakuku, bahkan gajiku saja semuanya di transfer ke rekening milik dia. Kapan aku bisa bawa uang ke Ibu?" jelasku memang benar begitu kenyataannya.Ibu malah menjewer kupingku. "Aduh, aduduh, sakit, Bu, sakit!" Aku meringis.Gigi putih Ibu mengerat. "Kamu keterlaluan, Panjul! Setelah ibu rasa-rasa kamu menikah dengan Si Widya itu jadi pemborosan dan pengiritan sama
PoV Panjul*Entah kenapa ada niat untuk cek kamar Ibu yang pintunya masih menutup. Biasanya jam segini Ibu sudah bangun untuk membuatkanku sarapan nasi goreng. Tapi sekarang tidak, di meja makan belum ada apa-apa."Bu!" teriakku dengan nada yang tak begitu tinggi.Cklek!Langsung kubuka pintu, ternyata Ibu tidak ada di kamar. Aku cek lemari, semua pakaian Ibu sudah tak ada satu pun. Bahkan tas hitam besar yang waktu itu membawa pakaian Ibu pun tidak ada. Aku yakin, Ibu pasti pergi.Lalu segera kuambil HP untuk menghubungi Ibu. "Ada apa, Bang?" tanya Widya yang terbangun dan masih menguap."Ibu gak ada.""Paling di belakang, Bang," jawabnya santai dengan tumpukkan kantuk."Maksudnya Ibu tidak ada, itu Ibu minggat. Pasti Ibu pulang lagi ke rumahnya."Mendengar informasi dariku Widya terperanjat kaget. Ia terbangun dan langsung loncat. "Apa? Pergi? Pergi ke rumahnya lagi? Aduh, ayok cepat kita jemput Ibu, Bang, ayok! Jangan biarkan Ibu sendiri di rumahnya!" cutusnya Seperti kebakaran j
PoV Panjul*"Bos, maaf, maafkan saya." Tatapan Bos sudah tak enak. Dia melihatku seperti seekor kucing yang sedang lahiran."Coba kamu perhatikan, ini seharusnya harus selesai 70%. Paling tidak, pengerjaan harus sudah selesai 55%. Nah ini, kenapa masih begini? Tadi saya lihat sejak datang, para pekerja juga kayaknya malas-malasan. Mereka sibuk yang minum kopi, bolak-balik bawa martil, ngaduk semen sama pasir juga lama! Gimana ini? Baru setelah saya datang mereka kerja giat begitu!" celetuk bosku. Gawat, dia sudah marah begini. Bola matanya sampai akan loncat ke dasar lantai. Memang dasarnya matanya menonjol, sedang marah begini jadi semakin menakutkan.Aku yang memang merasa salah pun hanya menunduk diam. Saat ini kufokuskan tanah yang masih belum dipasang paving untuk menghindari tatapan bos."Maaf, Bos." Baru aku meminta maaf lagi."Kalau kamu bosan dengan pekerjaan ini biar saya kasih ke orang lain!" tandasnya.Aku pun terperangah kaget. "Jangan, Bos, jangan. Saya yakin ini bukan
Pluk!Amplop di tanganku seketika jatuh beriringan dengan kagetnya bola mata ini yang semakin melebar. "Pecat? Saya dipecat? Saya salah apa, Bos?" "Salah kamu, karena kinerja kamu tidak memuaskan saya. Kalau saya ini adalah orang yang harus terus mempekerjakan orang-orang seperti kamu, mana bisa perusahaan saya maju! Sekarang kamu tinggalkan proyek ini dan jangan pernah kembali lagi. Kamu saya PECAT!"Seperti petir yang tiba-tiba menggelegar di siang bolong. Kata 'pecat' yang terlontar dari mulut Bos membuat para pekerja melirik ke arahku. Pasti mereka juga kaget."Bos, tapi …!" Aku merengek tak mau dipecat. Mau makan apa nanti? Apalagi pengeluaranku membengkak sejak menikah dengan Widya. Belum lagi biaya sewa rumah yang begitu besar karena aku hanya menyewa rumah mewah itu dan pura-pura membelinya. Itu supaya Widya bahagia menikah denganku dan bisa membanggakanku kepada orang lain. Maka dari itu aku tak setuju saat Widya usul rumah Ibu dijual."Bos, Bang Panjul dipecat?" sahut salah
PoV Nurul***"Bagaimana kalau Bang Yadi meminta lebih dari hubungan kita sebelumnya yang hanya sering chatan. Bang Yadi ke mari sengaja ingin melihat kabar Dek Nur. Entah kenapa Bang Yadi malah nyaman bila bisa dengar kabar Dek Nur."Jleb!"Apa, Bang?" Kuteguk liur yang begitu pekat ini setelah mendengar pernyataan Bang Yadi barusan. Dia menghampiriku di rumah di sore hari ini. Sebelumnya dia juga sudah bilang, akan main-main ke mari. Dia adalah pria yang satu kontak denganku, dan tak ayal kami sesekali ngobrol di kedai tempat aku bekerja. Maksudnya kedai milikku, yang tak diketahui oleh orang lain."Hati Bang Yadi tidak bisa dibohongi. Bang Yadi tidak maksa, karena rasa suka tidak bisa dipaksakan. Hanya saja, Bang Yadi datang ke mari itu karena rasa suka ini berlebihan. Mungkin kedengarannya kurang tahu diri. Apalagi Bang Yadi bukan orang kaya. Sedangkan Dek Nur sekarang sudah punya segalanya." "Punya segalanya apa, Bang?" heranku."Eh. Ya maksudnya punya rumah loteng, dan juga be