Ini adalah hari yang mendebarkan. Hugo sudah tahu siapa diriku sebenarnya.
Felix menelponku untuk bertemu dengannya di apartemen Hugo. Aku hanya mengiyakan.
Kepalaku masih pening dan aku belum mengatur strategi untuk menghadapi Hugo hari ini.
Aku melihat beberapa pesan masuk dan ada pesan dari Anthony. Dia mengirimkan pesan bahwa pengerjaan makam Theo sudah selesai semuanya.
Aku membuat kopi dan menyantap roti panggang. Kemudian kuputuskan untuk pergi ke makam Theo sebelum ke apartemen Hugo.
Makam Theo terletak cukup jauh di Forest Lawn Memorial Park. Lokasinya berada di California selatan. Setibanya di daerah itu aku berhenti terlebih dahulu untuk membeli bouquet bunga.
Graveyard itu adalah salah satu makam paling indah di California. Suasana Hollywood Hill yang tenang membuat perasaanku juga sedikit lebih tenang.
Aku mencari makam Theo sesuai petunjuk Anthony. Namun aku terkejut melihat seseorang sudah berada disana. Seorang pria mengenakan mantel hitam dan setelan suit hitam. Bunga segar sudah menghiasi pusara Theo.
“Emily,” sapa pria itu. Dia adalah Hugo.
Dia menyadari kedatanganku dan menyapaku dengan cara bicara yang sama sekali tidak berubah.
Aku berjalan mendekat dan berhenti di samping Hugo. Kuletakkan bunga di pusara Theo. Lalu aku menyapa Hugo.
“Kau sudah tau selama ini?” tanyaku.
Hugo menghela nafas.
“Kemunculanmu membuatku mengetahui apa yang terjadi kepada Theo.”
Hugo berbicara dengan tenang. Aku merasa tidak bisa menyia-nyiakan kesempatanku.
“Bagaimana dia bisa meninggal?” aku memberanikan diri bertanya.
“Overdosis. Dia memakai obat-obatan,” jawab Hugo singkat.
“Apa penyebab dia meninggal?”
Yap. Aku sedang menginterogasi Hugo
Dia menoleh ke arahku dan menatap mataku sambil berkata, “Aku tidak membunuhnya.”
“....” Aku sedikit tergagap.
“Lanjutkanlah. Aku akan menunggumu di luar.”
Hugo pergi meninggalkanku sendiri. Aku berdoa kepada Tuhan yang jarang kusapa.
Selama ini aku menganggap Theo hilang dalam hidupku dan tidak pernah ada untukku. Namun saat aku melihat makamnya, aku merasakan kehilangan yang berbeda. Kehilangan yang sangat menyakitkan.
Setelah mengatur perasaanku, aku berjalan ke luar menemui Hugo. Dia menungguku seorang diri.
“Emily, aku turut berduka. Theo adalah sahabatku,” katanya dengan halus dan hampir terdengar tulus.
“Kau lebih mengenal Theo dari pada aku. Aku hanyalah–”
Tak kusangka, aku terisak.
“Emily….”
Hugo memelukku dan membiarkanku menangis di pelukannya.
Sudah lama aku tidak merasa kenyamanan yang menghangatkan hatiku seperti ini. Aku tidak menyangka Hugo yang terlihat dingin bisa membuatku merasa hangat.
“Kau tumbuh dengan sempurna,” kata Hugo tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi. “Theo selalu bercerita tentang bagaimana hebatnya dirimu.”
Anthony dan Hugo mengatakan hal yang sama, jika Theodore sering menceritakan tentang diriku.
“Hentikan. Tak ada gunanya lagi sekarang,” sanggahku.
Aku tidak ingin merasa semakin menyesal.
“Katakan apa rencanamu,” kata Hugo.
“Aku ingin tahu tentang semua yang Theo kerjakan dan penyebab dia overdosis sampai merenggut nyawanya.”
Hugo tersentak. Dia menghela nafas. Wajahnya menunjukkan kesedihan dan kekecewaan.
“Kita selesaikan sekarang. Felix sudah menyiapkan semua data kepemilikan aset Theo yang akan dialihkan atas namamu.” Hugo berkata dengan tegas.
Aku masih terdiam. Bagaimana jika sesuatu terjadi kepadaku?
Sebuah mobil datang ke arah kami. Sopir Hugo sudah datang menjemput.
Hugo membuka pintu penumpang untukku dan menungguku masuk. Aku ragu-ragu untuk ikut dengannya. Aku membutuhkan seorang pengacara. Aku berpikir untuk menghubungi Anthony.
“Percaya pada hatimu, Emily.”
Hugo menunggu keputusanku. Demi Tuhan! Aku adalah pengacara. Baiklah, mari kita selesaikan.
Selama perjalanan menuju Baverly West, Hugo menghabiskan waktu dengan memandangi jalanan Southern California yang lenggang. Dia menoleh ke kaca mobil samping kiri. Entah apa yang dia pikirkan.
Aku pun juga. Aku menoleh ke samping kanan dan memandangi jalanan. Kami tidak berbicara sama sekali. Bahkan supir juga tidak berkata apapun.
Aku tidak mampu berpikir jika nanti terjadi proses negosiasi. Aku belum sepenuhnya belajar tentang bisnis dan manajemen perusahaan.
Suasana di dalam mobil ini sama sekali jauh berbeda dengan suasana di ruangan restoran tadi malam. Ah, mengingat itu pipiku kembali bersemu.
Setibanya kami di apartemen Hugo, Felix langsung menyambutku. Dari ekspresi wajahnya aku tahu bahwa dia baru mengetahui siapa aku sebenarnya. Itu artinya hanya Hugo yang tahu jati diriku selama ini.
“Emily, kapanpun kau siap.” Felix mengisyaratkan dia siap dengan semua dokumen aset dan saham yang dimiliki Theo.
“Siap tidak siap,” jawabku.
Dengan perlahan dan teratur Felix mulai menjelaskan satu per satu. Aku mengikuti Felix dan melempar beberapa pertanyaan singkat yang kuperlukan. Aku tetap akan mempelajarinya dengan Anthony untuk mencocokkan datanya.
Selama Felix menjelaskan panjang lebar, Hugo terus menatapku dari seberang meja. Dia tidak mengalihkan pandangannya dariku. Tatapannya dalam dan tenang. Ini membuatku salah tingkah mengingat kejadian semalam.
“Beberapa restaurant terdaftar atas nama Theo dan tidak masuk dalam bursa saham.” Felix melirik Hugo yang kemudian mengangguk kepadanya.
Felix menyodorkan satu dokumen bertuliskan “Are You Hungry Baby?”. Aku sedikit terkejut.
“Apakah ini bisnis legal?” tanyaku langsung kepada Felix.
“Tentu saja. Kuharap ini tidak terlalu mengejutkanmu,” jawab Felix.
“Apakah Theo memiliki bisnis ilegal?” tanyaku lagi.
Felix terdiam. Tiba-tiba Hugo menyahut dan memotong pembicaraan kami.
“Semua yang kau harus tahu sudah dijelaskan oleh Felix. Tidak ada lagi yang perlu kamu ketahui. Cocokkan itu dengan pengacara Theo.”
Aku diam dan berpikir. Hugo menyembunyikan sesuatu.
“Saat ini aku hanya bisa memberikan salinannya. Silahkan cek lagi dan aku akan menjelaskannya kembali kepadamu.”
Felix memberikan seluruh dokumen kepadaku.
“Terima kasih Felix. Kau tahu, semua ini tidak mudah untukku. Aku masih harus mempelajarinya,” kataku.
“Tak perlu khawatir.” Felix menjawab sambil tersenyum hangat. Dia menyadari bahwa sekarang aku juga menjadi bos-nya.
Malam pun tiba. Aku membantu Felix membereskan beberapa pekerjaan. Hugo sedang merekrut karyawan-karyawan executive baru untuk membantu manajemen holding company.
Theo meninggalkan begitu banyak pekerjaan. Aku hampir memberanikan diri bertanya kepada Felix bagaimana hubungan Hugo dan Theo, namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
Felix meninggalkan ruang utama menuju ruang kerja Hugo. Aku menghela nafas lega setelah beberapa pekerjaan berhasil diselesaikan. Aku merebahkan tubuhku di sofa. Tanpa sadar aku tertidur.
Aku kaget menyadari sebuah selimut menutup tubuhku yang tertidur di sofa. Ada sebuah pesan tertulis di meja,
‘Aku akan kembali. Hugo.’
Tampaknya Felix dan Hugo pergi meninggalkanku sendirian. Dengan malas aku membereskan dokumen dan laptopku.
Tiba-tiba aku berpikir untuk mencari tahu database customer ‘’Are You Hungry Baby?’. Kubuka lagi laptop dan langsung sibuk mengotak-atik data.
Akhirnya aku menemukannya. Aku memasukkan sebuah nama di kolom pencairan. Andrew Maddox–mantan kekasihku. Dan benar saja dia beberapa kali tercatat mengunjungi restaurant erotik yang sekarang menjadi milikku.
Dengan kesal aku berjalan menuju ruang makan dan mengambil sebotol whiskey. Aku langsung menenggaknya dan membawa botol itu kembali ke tempatku semula.
Aku tiba-tiba teringat betapa Andrew menghancurkan seluruh hatiku saat itu. Sedangkan, Theo adalah anak yang liar. Dia membuat Mom dan Dad menjadi over protektif kepadaku. Terlebih, masalah laki-laki.
Andrew juga jemaat gereja katolik yang taat seperti orang tuaku. Dia mendukung ide pacaran sehat dan no sex sebelum menikah. Harusnya aku tahu itu hanya bualan saja.
Dia berkata tidak pernah benar-benar tertarik kepadaku. Dia membutuhkanku untuk membangun image pria baik yang kini sudah langka.
“Dasar laki-laki brengsek!” Aku berteriak.
Kemudian aku kembali meneguk alkohol untuk yang kesekian kalinya.
Aku masih bisa menyadari kedatangan Hugo. Aku melihatnya duduk diam di sofa seberang sambil memperhatikanku.
Entah apa yang terjadi, namun keesokan harinya aku terbangun di kamar Hugo tanpa sehelai kain menutupi tubuhku!
“Apa kau sudah gila?” Aku menjauhkan wajahku dari Benjamin. Dia masih merapatkan tubuhnya. Kedua tangannya merengkuh pinggangku. Dia benar-benar tidak peduli apapun. “Tidak ada CCTV disini,” sahutnya. Benjamin benar-benar membuat skandal ini menjadi sesuatu yang sangat serius. Harus kuakui aku sedikit menikmati tantangan ini, namun aku harus lebih hati-hati. “Aku tau. Tapi bukan berarti kau bisa berbuat semaumu. Kenapa kau sudah datang?” tanyaku mengalihkan perhatiannya. “Apa lagi? Tentu saja agar aku bisa mengunjungi kantor barumu.” Ben akhirnya melepaskan pelukannya dan merebahkan tubuhnya di sofa. “Ruangan ini dulu juga seperti ruanganku sendiri. Apa kau tau Theo memiliki ruangan rahasia?” Pertanyaan Ben membuatku melirik ke arahnya. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Theo menghabiskan hampir sebagian waktunya di gedung ini. Ada penthouse di lantai atas yang sering dia gunakan untuk istirahat. Anehnya karyawan disini hampir tidak ada yang melihat Theo. Melihat kebiasaannya, dia pas
Aku masih menunggu jawaban Hugo. Apakah dia akan membiarkanku menjadi pengacara Hugo, atau dia akan melarangku seperti sebelumnya. Hugo memandangku dengan tatapan dingin. Aku sudah tidak menemukan lagi dimana tatapan Hugo yang penuh cinta kepadaku sebelumnya. “Sepertinya kau sudah mulai akrab dengan Benjamin, Emily.” Kata-kata Hugo membuat jantung Emily mulai berdebar. “Entahlah, ku pikir juga begitu. Dia mencarimu. Aku mencarimu. Tapi justru aku dan dia yang bertemu karena kami tidak tau kemana kau pergi,” jawab Emily dengan nada bicara menyindir. “Kau mencari masalah yang seharusnya tidak harus kau temui karena aku sudah berusaha menjauhkan dari semua itu. Tapi sepertinya usahaku sia-sia. Kau benar. Kau berhak tau apapun mulai dari sekarang. Semakin lama kau semakin salah paham. Baiklah, mengapa kita tidak makan malam bersama dengan Benjamin. Layaknya sebuah keluarga,” kata Hugo. Aku terkejut mendengar rencana Hugo untuk mengadakan makan malam bersama Benjamin. Kami bertiga akan
“Sampai kapan kau akan memelukku, Ben? Seseorang bisa saja memergoki kita,” kataku. Aku sudah menyerah untuk mencoba melepaskan diri dari Benjamin yang tiba-tiba memelukku dari belakang. “Anak-anak berada di rumah barat bersama Mathilde. Hugo masih akan kembali saat akhir pekan. Kenapa kau tidak bisa tenang, Em?” keluh Benjamin. “Tidakkah kau sadar saat ini aku sedang berselingkuh dengan adik iparku sendiri?” balasku. Menyebutkan kata berselingkuh membuatku ngeri. “Berselingkuh? Emily, kau tau Hugo tidak benar-benar mencintaimu. Dia menikahimu karena rasa bersalahnya kepada Theo. Dan kau pemilik saham utama. Berselingkuh? Yang benar saja,” jawab Benjamin. Aku masih merasakan sedikit sakit hati saat Benjamin mengatakan bahwa Hugo tidak benar-benar mencintaiku. “Aku berpikir apa yang kita lakukan kemarin adalah kesalahan saja. Dan kita tidak akan mengulanginya,” kataku lirih sambil menghela nafasnya. Benjamin mendekatkan bibirnya ke telingaku, dia masih memeluk tubuhku dari belaka
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Kita juga harus menunda keberangkatan kita ke Afrika karena ada masalah di Kimberly,” jawab Ben. Kurasa dia meneleponku bukan untuk mengajakku ke Afrika. Ada urusan lain yang dia inginkan dariku. “Apa maksudmu? Kenapa kita ada masalah dengan Kimberly?” tanyaku. Semua berlian yang diperjualbelikan di hampir seluruh dunia harus memiliki sertifikat dari organisasi Kimberly buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka bertugas untuk memastikan bahwa berlian yang dijual perusahaan-perusahaan perhiasan adalah hasil dari penambangan legal. “Tidak semua berlian yang kita peroleh adalah berlian bebas konflik. Sebagian adalah berlian berdarah,” kata Ben. Kurasakan kakiku gemetar mendengar informasi dari Ben. Oh God. Apa yang telah mereka semua lakukan selama ini? “Em, dengarkan aku. Aku juga baru mengetahuinya. Tapi kita hanya perusahaan pembeli. Kita akan menyalahkan penjual yang memberikan berlian dari daerah konflik. Aku tidak bisa sembarangan menyer
Ben membalas tamparanku dengan ciuman yang kasar dan keras. Tubuhku reflek memberontak. Namun Ben mencengkeram erat kedua tanganku hingga aku tidak bisa bergerak. Aku tak berdaya menghadapi Ben yang terus melumat habis bibirku. Tenagaku melemah. Perlawananku tidak ada artinya. Namun saat Ben mencium leherku, aku merasakan getaran yang hebat di sekujur tubuhku. “Emily, aku lebih pantas untukmu. Kau akan bahagia bersamaku. Kau dan aku. Kita bersama akan menaklukkan semuanya. Percayalah padaku.” Ben menatapku tajam. Dia bicara kepadaku sambil memegang kedua pipiku untuk memastikan aku mendengar ucapannya. Mataku nanar melihat Ben seakan aku sedang beradu pandang dengan Hugo, laki-laki yang pernah membuatku tergila-gila. Mata sayu Benjamin membuat hatiku ragu. Pandangannya dalam dan tajam. Sosok yang selama ini datang di setiap mimpi burukku berubah dari seoramg monster menjadi bajingan liar yang menawan. Sial! Aku pasti sudah gila.Ben mendekatkan bibirnya yang gemetar oleh desahan n
“Kau dengr aku, Em. Tinggalkan Hugo dan pergi bersamaku.” Benjamin mengulangi perkataan yang sama sekali tidak masuk akal untukku. Ini seperti kisah drama telenovela murahan. Aku jelas tidak ingin mengiyakan, namun terlalu takut untuk menolak. Bagaimana jika Benjamin berbuat nekat?Belum ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Dadaku sesak penuh penyesalan karena keputusanku yang salah kaprah. Suasana menjadi hening dan menegangkan. Aku tidak mendengar pergerakan Benjamin. Tiba-tiba kedua tangan Benjamin memegang lenganku. Dia berada di depanku. Sepertinya dia sedang berjongkok menghadap ke arahku. Perlahan tangannya mulai membuka tali penutup mataku. Aku mengerjap beberapa kali, kemudian mataku beradu pandang dengan mata tajam Benjamin. Sepasang mata yang terlihat tidak mengenal rasa takut. Benjamin belum melepaskan kedua tanganku yang masih terikat u kursi. “Maafkan aku, Emily. Seharusnya kau mengenalku lebih dulu. Tapi kematian Theo sangatlah tidak mudah. Jika saja kita berte