Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.
Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah.
"Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"
Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya.
"Tidak ada, aku baik-baik saja."
Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.
Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.
Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Hai! Jangan lupa subscribe cerita ini untuk dapat notifikasi bab selanjutnya. Jangan lupa juga buat follow akun author, like, love dan rating, ya!Love you all❤️***"Mas, kapan pulang? Kok sudah selarut ini belum sampai rumah juga, sih," ucapku melalui sambungan telepon."Sebentar lagi Mas pulang kok sayang," jawab Mas Chandra dengan nada santai. "Sudah, ya, Mas mau pulang dulu."Sesudah berkata demikian, Mas Chandra--suamiku langsung mematikan sambungan telepon. Tapi, tadi aku merasa ada yang janggal, saat tiba-tiba telingaku menangkap sebuah suara yang tidak asing, suara wanita.Hampir tiga puluh menit, aku berjalan mondar-mandir di ruangan tamu, menunggu kedatangan Mas Chandra yang tidak kunjung pulang."Mila, kenapa belum tidur?" Aku berbalik, menatap seorang wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu.
"Mas, kok pagi-pagi udah rapih, mau ke mana?" tanyaku dengan nada senormal mungkin, berusaha menyembunyikan rasa sakit dan kecewa, akibat luka yang telah dia torehkan."Ke kantor, memangnya ke mana lagi," jawabnya dibarengi dengan senyuman."Tidak, Mas. Aku hanya bertanya." Aku masih berfokus memakaikannya dasi, tidak ingin menatap matanya yang penuh kebohongan."Ibu sama Faris ke mana? Kok gak keliatan?" Dia bertanya tentang Faris--anak pertamaku yang sudah berusia lima tahun."Ibu lagi pergi ke kamar, Faris.""Ah, bagitu. Ya sudah, ayo turun. Mas, sudah lapar." Mas Chandra menggandeng tanganku keluar kamar. Jujur, sebenarnya aku jijik dengannya, apalagi ketika membayangkan tangannya menjamah wanita tidak tahu diri tersebut.Di kejauhan, kulihat ibu dan Faris sudah duduk di meja makan. Saat melihat kedatangan kami, Faris langsung turun, berlari ke arah Mas C
"Mila. Mau ke mana?" Mas Chandra yang masih berkutat di depan laptop, langsung menghentikan aktivitasnya ketika melihatku berdiri tepat di depannya."Bosen di rumah terus. Jalan-jalan, yuk, Mas!""Jalan-jalan ke mana, Sayang?" Mas Chandra membenarkan sedikit posisi kacamatanya. "Mas, sedang kerja, sayangnya.""Tapi, Mas." Aku bergelayutan manja di tangannya, sedikit menariknya untuk bangkit dari kursi. "Mas, sudah sering ke luar kota, masa aku minta jalan sekali aja gak mau. Gak kasian apa sama dedek bayinya." Sengaja aku mengelus perutku yang memang sudah sedikit buncit. Mengingat kehamilanku sudah masuk empat bulan.Mas Chandra terpejam sambil mengangguk pelan. Dia langsung menarik badanku ke dalam dekapannya. Kecupan hingga kecupan, dia daratkan di keningku.Seketika aku langsung menjauh badan, kala mengingat foto pernikahan antara Mas Chandra dan Dinda. Tentu saja, hal
"Mila, lihat ini!" Ibu menunjukan lokasi di mana mobil yang kendarai Mas Chandra berhenti di sebuah titik. Aku dan ibu saling pandang. Kami tahu betul daerah itu."Bu, ayo susul Mas Chandra ke sana!" saat aku hendak menarik tangan Ibu, tiba-tiba dia langsung menghentikan pergerakanku."Tunggu, Mila! Chandra kembali pergi ke tempat lainnya. Seperti ini--""Ke mall," potongku cepat.Segera kuraih tas yang tergelatak di atas sofa. Sebenarnya mesti usia kehamilanku masih kecil, tapi tetap saja ini sedikit menghambat pergerakanku.Menyedihkan memang, di saat wanita hamil lainnya mendapatkan perhatian lebih dari laki-laki yang dicintainya, aku malah harus mendapatkan kenyataan yang begitu pahit. Di mana suamiku sendiri, ternyata sudah menikah dengan adik sahabatku sendiri."Ayo, pergi!" Ibu menuntunku keluar rumah, menunggu taksi pesanan kami yang akan segera
"Chandra, apa yang kamu lakukan di sini?" Kali ini Ibu keluar, mengagetkan dua sejoli yang sedang dimabuk cinta."Ah, i--itu, Bu, aku akan membelikan Mila dan Ibu hadiah, tapi karena kalian datang kemari, jadinya gagal, deh," bohong Mas Chandra sambil bersikap seolah-olah merasa kecewa.Dih! Berani sekali dia berbohong seperti itu."Begitu, ya, jadi kami boleh dong, pilih-pilih tas di sini?" tanya ibu dengan mata berbinar. Sungguh, Ibu benar-benar sangat pintar.Sementara itu, Dinda yang berdiri di samping Mas Chandra terlihat mati kutu. Mampus kamu Dinda! Ini baru permulaan."Tentu saja, pilih-pilih saja. Terserah kalian mau beli yang bagaimana.""Bu, ini bagus. Kenapa tidak pilih itu saja?" ucap Dinda sambil menyerahkan tas yang ada di tangannya.Kulihat Ibu tidak menghiraukan Dinda, dia lebih memilih melihat tas tersebut sa
Aku benar-benar tidak menduga akan rencana Ibu. Bahkan, akupun lupa jika hari ini adalah anniversary pernikahan kami. Mungkin, karena aku terlalu kecewa dengan Mas Chandra, sehingga tidak memperdulikan hal itu lagi.Saat mobil kami tiba di depan rumah, seketika aku langsung tercengang ketika melihat dekorasi rumah yang cukup mewah. Aku tidak menyangka, hanya dalam hitungan jam saja, para orang-orang suruhan Ibu sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik.Kulirik Mas Chandra sekilas, laki-laki itu pun memperlihatkan ekspresi yang sama. Mungkin dia tidak menyangka, aku akan mempersiapkan hal seperti ini.Ya, tentu saja aku bisa! Setelah mengetahui perselingkuhan Mas Chandra dengan Dinda, aku semakin tidak bisa menahan diri. Aku tidak ikhlas, jika uang hasil jerih payah suamiku, di pakai poya-poya oleh orang lain selain istri dan keluarganya."Mas, kamu suka kejutan dariku dan ibu, 'kan?" Kulirik Ibu
"Aku ikut, ya!" Sengaja aku menggandeng Mas Chandra dengan erat. Memperlihatkan kemesraanku pada Dinda."Iya, Sayang.""Bram, apa kabar?" sapa Mas Chandra pada seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya."Baik, Dra." Laki-laki bernama Bram itu menatapku dari bawah hingga atas, membuatku sedikit risih. "Istrimu yang?" tanyanya dengan eskpresi sedikit terkejut.Ah, jadi dia yang bernama Bram. Aku ingat itu. Aku berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Bram yang di ajukan pada Mas Chandra."Dia istriku satu-satunya," jawab Mas Chandra dengan cepat. Peringgainya tiba-tiba berubah, bahkan dia sampai terpejam dalam waktu yang cukup lama.Seperti baru menyadari situasi, Bram mengangguk cepat, dia menggaruk tengkuknya. "Ah, i-iya. Hai salam kenal, aku Bram."Ragu-ragu aku menjabat tangannya. "Mila.""Mas, kenapa di