Amora berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen baru yang kini disebut sebagai "rumah." Ia baru saja 'sah' menjadi istri seorang Dirgantara. bahkan Gaun putih sederhana yang ia kenakan tadi masih membalut tubuhnya dengan sangat indah. Jika pernikahan ini karena cinta, Sudah bisa dipastikan dirinya akan menjadi pengantin wanita paling bahagia di dunia ini. tapi nyatanya, Ia harus menelan pil pahit karena semuanya hanyalah sebuah perjanjian. Pernikahan yang sangat Amora impikan, hanyalah sebuah perjanjian.
Amora semakin dibuat lirih saat ia menatap jari manisnya yang tak melingkar apapun. Seharusnya ada cincin di sini. tapi justru yang ia lihat hanyalah jemarinya saja tanpa cincin pengikat. "Hahaha, Apa yang kau harapkan Amora! semuanya hanya perjanjian. Hamil lah dan lahirkan anaknya setelah itu kau harus siap dibuang seperti sampah." Ujarnya pada dirinya sendiri sembari menatap ke depan cermin. "Oh, kau masih di depan cermin? keluarlah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Itu Dirga, Suaminya. masih dengan ekspresi yang sama. bedanya, nada bicara Dirga sedikit berubah. Dan kata 'Suami' Yang ia sematkan pada Dirga, terdengar sangat lucu baginya. Amora menghela nafas panjang. "Biarkan aku melepaskan pakaian ini sebentar." ujarnya. Dirga tak menjawab, pria itu langsung keluar membuat Amora berdecak kesal, "Bahkan kau tak mau membantuku untuk melepaskan ini." Ucapnya. Setelah Dirga keluar, Amora segera membuka gaun tersebut. Walaupun kesusahan, akhirnya ia berhasil. Amora melangkah menuju koper miliknya dan mengeluarkan selebar gaun rumahan yang terlihat santai namun tak terlalu murah. gaun bermotif poladot berwarna putih peach itu terlihat begitu cocok di kulit Amora yang bersih dan cerah. Setelah selesai, ia lalu keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang santai yang ada di samping dapur. Di sana ia sudah melihat Dirga. Pria itu tak sendiri. di samping Dirga ada seorang laki-laki yang mengenakan jas dokter. Egheemm. Amora berdehem, menarik perhatian dua orang yang sedang sibuk berbicara tersebut. "Oh, kau sudah di sini. duduklah!" perintah Dirga. Amora menurut. gadis itu melangkah menuju sofa yang ada di seberang Dirga. "Amora, dia dokter Hans. dia yang akan menjaga ayahmu selama kau di sini." Amora menatap Dirga dan Hans bergantian. "Ke--kenapa dia? Aku masih bisa menjaga ayahku Dirga." protes Amora. "Dan kau pikir aku akan mengizinkan?" "Dirga!" "Tugasmu hanya melahirkan anakku Amora. setelah itu kau bebas menjaga ayahmu." Amora benar-benar dibuat tak habis pikir dengan apa yang ada dalam pikiran Dirga saat ini. membiarkan orang lain menjaga ayahnya disaat dirinya masih sehat seperti ini? sangat tak masuk akal. "Kau tak sedang bercanda denganku kan?" Amora merasakan matanya memanas. "Apa aku terlihat bercanda?" "TAPI KENAPA? Kenapa Dirga? Aku masih sehat, aku masih kuat untuk menjaga ayahku. ini tak masuk dalam perjanjian kita. Kau minta aku melahirkan anakmu kan? Akan aku lakukan Dirga, tapi biarkan aku tetap menjaga ayahku. dia butuh aku Dirga." Air matanya sudah terjaut. Hatinya sangat terluka. Sementara Dirga yang melihatnya hanya berdecak malas. pria itu seolah tak peduli dengan air mata yang saat ini menetes dari mata cantiknya Amora. Yang ada dalam benak Dirga saat ini adalah, ia bisa mendapatkan keturunan dengan cepat. Karena itu, Dirga ingin Amora tidak terpengaruh dengan pikiran kesehatan ayahnya. "Kau terlalu berlebihan Amora. Padahal yang ku tawarkan padamu sangatlah menggiurkan. Seorang dokter pribadi yang ku utus langsung untuk membantumu menjaga ayahmu, tapi reaksimu sangat berlebihan." Ujar Dirga masih dengan raut tenang. Sementara Amora merasakan jantungnya berdenyut pilu. Dirga benar-benar keterlaluan. Membuat keputusan sepihak sesuai keinginan pria tersebut. "Tapi aku masih sanggup menjaga ayahku Dirga. Aku mohon biar aku yang menjaga ayahku sendiri. Hanya dia satu-satunya yang aku punya." "Tak akan Amora. Kau tak boleh keluar dari apartemen ini. Kau pikir apa alasanku membawamu ke apartemen baru dari pada tinggal di apartemenku sebelumnya? Karena aku ingin tak ada yang tahu kita menikah." Amora merasakan dunianya hancur. Sakit yang Dirga berikan padanya sungguh tak bisa ia tahan. "Baik. Kau hanya ingin aku punya anak dan melahirkan anak itu bukan? Ayo lakukan! Kita lakukan sekarang." Ucap Amora lirih. Bahkan ia tak memikirkan rasa malunya lagi. Dirga mengetatkan rahangnya kuat lau menatap Amora dengan tatapan tajam. Namun Amora tak peduli. Ia tak memikirkan rasa sakit lagi. Raga dan jiwanya sudah hancur. Semua sudah dikendalikan sampai waktu yang tak bisa di tentukan. Amora menatap dokter Hans. Namun ia tak bisa bicara sepatah katapun. Amora memutuskan untuk berdiri dan kembali ke kamarnya, membanting pintu kamar tersebut cukup keras. Dirga menatap Hans, "Pergilah dan lakukan tugasmu." Titahnya pada Hans. Pria itu mengangguk dan memilih izin dari kediaman itu. Setelah mengantarkan Hans sampai pintu masuk apartemennya, Dirga langsung melirik pintu kamar Amora dengan tajam. Ia melangkahkan kakinya tegas menuju kamar tersebut dan membuka pintunya dengan kasar. Amora menatap Dirga dengan tajam. "Kau jahat Dirga." Ucapnya pelan nyaris berbisik. "Kau sudah sepakat dengan situasi ini Amora. Karena itu kalau kau ingin cepat keluar dari sini, hamil dan lahirkan anakku." Amora kehilangan arah. Hidupnya sudah hancur. Pernikahan bahagia yang ia impikan itu hanyalah omong kosong. Justru ia menjual anaknya nanti. Sungguh perempuan gila. Amora berdiri dari duduknya, ia lalu menatap Dirga tajam. "Ayo lakukan. Kau ingin anak kan? Ayo lakukan." Amora melangkah mendekati Dirga sembari mengarahkan jemarinya pada resleting gaun santai yang ia kenakan. Sreett. Gaun itu mulai terlepas dari tubuhnya jatuh kebawah. Hawa dingin bahkan langsung menyentuh kulit Amora. Tak hanya sampai di situ, Amora juga dengan lincah melepaskan bra yang menjadi penutup dari bongkahan sintal itu dan terlepas juga. Dirga tersenyum sinis, "Kau lebih murah dari yang aku bayangkan Amora." "Tak masalah. Bagaimanapun keadaannya, kau suamiku sekarang Dirga. Bahkan aku berkeliaran di hadapanmu tanpa busana pun tak akan membuatku berdosa. Terlepas dari kontrak sialan itu, aku istrimu dan kau, suamiku." Amora benar-benar berani menentang Dirga. Sangat jauh berbeda dengan Amora sebelum pernikahan itu dilakukan. Dirga bahkan tak bisa menahan gejolak di tubuhnya saat tubuh setengah telanjang Amora kini berada sangat dekat darinya. Namun sungguh ia tak mau melakukannya sekarang. Ia masih harus melakukan sesuatu yang penting. "Pakai kembali bajumu. Aku akan menyentuhmu saat aku mau." Ucap Dirga tajam. Dirga hendak berbalik namun entah dapat keberanian dari mana, Amora justru menarik tangan Dirga membuat pria itu kembali berbalik dan dunia seperti berhenti persekian detik saat Dengan beraninya Amora mencium Dirga tepat pada bagian bibir. Berbekal dari drama yang pernah ia lihat, adegan ciuman yang panas itu harus ia praktekkan di sini. Amora memejamkan matanya dan mulai menggerakkan bibirnya untuk bermain di atas bibir Dirga. Ia sudah menjadikan dirinya murahan sekarang agar bisa cepat bertemu dengan ayahnya. Dia menggoda Dirga saat ini agar bisa cepat hamil dan melahirkan setelah itu menghilang dari kehidupan Dirga. Sementara Dirga, sekuat apapun ia menyangkal, reaksi tubuhnya tak bisa dielakkan. Malam yang panas itu akhirnya terjadi. Namun bagi Amora, malam panas itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Mahkota yang ia jaga justru lepas di bubuhan tinta perjanjian. Cinta yang ia rasakan untuk Dirga kini berubah luka. Dirga suaminya tapi bukan suaminya. Luka itu akan membekas. Malam panas ini akan menyisakan rasa sakit yang tak tahu kapan bisa disembuhkan. *****Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban