Share

Bagian 2

Author: Rilla
last update Last Updated: 2024-10-17 00:22:52

"Me--menikah?"

Kalimat itu jatuh seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Amora membeku di tempatnya, pikirannya berputar tanpa kendali. "Melahirkan seorang anak?" bisiknya, seolah berharap ia salah dengar.  "Kamu... kamu tidak serius, kan?" tanyanya dengan suara gemetar, mencoba mencari tanda-tanda bahwa ini hanyalah gurauan yang kejam.

"Tak ada yang bercanda dari ucapanku Amora. Dan Setelah anak itu lahir," lanjut Dirga dengan nada rendah, "pernikahan kita akan berakhir. Aku hanya membutuhkan seorang keturunan, tidak lebih."

Kata-kata itu menghantam Amora seperti badai. Napasnya tercekat, dan ia hanya bisa menatap Dirga dengan ekspresi terkejut sekaligus terluka. Pria itu tidak sedikit pun memalingkan wajahnya atau menunjukkan keraguan. Ia seperti batu karang yang tidak bisa digoyahkan oleh badai emosi apa pun.

Amora masih terpaku, pikirannya berkecamuk dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Namun, Dirga tidak memberinya waktu lama untuk mencerna semuanya.

"Jika kau setuju," ucap Dirga, nada suaranya tetap dingin dan tegas, "akan ada beberapa perjanjian yang harus kau tandatangani. Perjanjian ini bersifat mengikat dan tidak bisa diubah."

Amora menatapnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba menemukan secercah empati dalam ekspresinya yang dingin. "Perjanjian?" tanyanya dengan suara serak.

"Ya," jawab Dirga tanpa ragu. "Semua sudah kuatur. Kau tidak perlu khawatir soal detailnya. Yang perlu kau lakukan hanyalah memastikan kau memahami setiap poin sebelum menandatanganinya."

Amora menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. "Dan... apa saja isi perjanjian itu?"

Dirga menyandarkan tubuhnya kembali ke sofa, memandang Amora seperti seorang pengusaha yang sedang memberikan penawaran bisnis. "Kau, dengarkan ini baik-baik. Pertama, pernikahan ini murni kontrak. Tidak ada campur tangan perasaan atau keterikatan. Setelah anak itu lahir, kita akan bercerai, dan kau tidak akan memiliki hak atas anak itu."

Amora terhenyak, tubuhnya gemetar. "Tidak memiliki hak atas anakku sendiri?" desisnya, hampir tak percaya.

Dirga mengangguk, tetap tenang. "Anak itu adalah penerus keluargaku. Hak asuhnya sepenuhnya milikku. Namun, sebagai kompensasi, aku akan memastikan kau mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk menghidupi dirimu dan keluargamu. Dengan syarat, kau tidak mencampuri hidupku atau anak itu setelah perjanjian ini selesai."

Amora hanya bisa menelan ludah. Setiap kata yang keluar dari mulut Dirga terasa seperti pisau yang menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas.

Dirga menatap Amora dengan dingin, melanjutkan penjelasannya. "Selain itu, ada beberapa hal lagi yang harus kau patuhi selama kontrak pernikahan ini berlangsung."

Amora tetap diam, namun sorot matanya mengisyaratkan ketidakpercayaan dan kegelisahan. Ia pikir hanya poin di atas yang akan Dirga berikan padanya, Namun ternyata masih banyak lagi.

Dirga menyilangkan kedua tangannya di dada, "kau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku, baik itu dalam hal pekerjaan maupun kehidupan sosialku."

Amora menggigit bibirnya, tangannya meremas ujung tas yang ada di pangkuannya. "Jadi, aku hanya sekadar—"

"Ya," potong Dirga tajam, matanya menatap lurus ke arahnya. "Hanya seorang istri di atas kertas."

Ia melanjutkan tanpa jeda. "Selanjutnya, kau tidak boleh membuat aturan atau memaksakan pendapatmu pada hidupku, begitu juga sebaliknya. Kita menjalani hidup masing-masing, dengan tujuan satu-satunya adalah menunggu anak itu lahir."

Kata-kata Dirga begitu tajam, membuat Amora merasa seolah berdiri di hadapan tembok es yang mustahil digoyahkan.

Dirga mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya semakin menusuk. "Dan segala bentuk hubungan fisik atau komunikasi yang tidak terkait dengan kontrak ini akan dihindari sebisa mungkin. Tidak ada tempat untuk hal-hal yang tidak perlu."

Amora memalingkan wajahnya, mencoba menguasai emosinya. Jelas bagi Dirga bahwa wanita itu sedang bergulat dengan luka yang tidak ia tunjukkan.

Dirga kembali menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Kau harus paham, Amora. Ini murni perjanjian bisnis. Jika kau setuju, maka semua ini akan berjalan lancar. Jika tidak..." Ia mengangkat bahunya sedikit. "Kau tahu di mana pintunya."

*****

Amora sudah kembali berada di rumah sakit, tepatnya di ruang ICU tempat ayahnya di rawat. Hatinya kembali hancur tatkala ia mengingat takdir hidupnya yang berantakan seperti ini.

Amora berdiri di samping tempat tidur ayahnya, tangannya menggenggam jemari ayahnya yang dingin. Ia menatap wajah yang terpejam itu dengan perasaan sesak yang sulit diungkapkan.

"Hai ayah, apa kabar?..." Amora berbicara perlahan, suaranya serak. "Ayah, Kapan kau akan membuka matamu? aku rindu." Amora mengusap air matanya yang terjatuh. "Ayah, Ayah kenal Dirga kan? Ayah masih ingat dia nggak? Dulu, saat masih SMA, Amora sering cerita tentang Dirga sama ayah kan? Pasti sekarang ayah nggak tahu kalau Dirga sekarang sudah sukses. Dia jadi bos Amora sekarang ayah. Tapi yah," Suara Amora tercekat. Dadanya terasa sakit saat ia ingin melanjutkan kalimatnya. "Tapi sekarang, semuanya berbeda Yah. Keputusanku ini benarkan Yah? Aku bener kan?." Amora tertunduk sebentar lalu kembali menatap ayahnya.

Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Dia bilang padaku, Jika dia akan melunasi semua biaya rumah sakit Ayah. Tapi dia meminta sebuah syarat padaku. Dia,..... Maafkan aku ayah. Maafkan aku." Amora berdiri sedikit dari duduknya lalu menunduk untuk mencium kening ayahnya itu. "Aku tidak tahu apakah Ayah bisa mengerti kenapa aku melakukan ini," lanjutnya dengan suara bergetar. "Tapi ini satu-satunya cara untuk membuat Ayah tetap hidup. Aku... aku akan melakukannya. Untuk Ayah."

Ia menggenggam tangan ayahnya lebih erat, mencium punggung tangan itu dengan lembut. "Aku berharap ini semua benar, bahwa aku membuat keputusan yang tepat. Tapi jika Ayah bisa bangun dan melihat aku, aku hanya ingin Ayah tahu, aku melakukannya untuk kita berdua."

*****

Amora menatap pintu apartemen Dirga dengan tatapan kosong. Takdirnya akan ditentukan setelah ia masuk ke ruangan yang ada di balik pintu ini. Perjanjian itu akan berlaku setelah ia menginjakkan kaki di dalam sana.

Ia kembali menghela nafas berat. Entah yang keberapa kalinya ia melakukan itu, yang jelas ia merasakan sesak di dadanya yang tak kunjung selesai.

Tapi inilah konsekuensi yang harus dia hadapi. Ia tak ingin kehilangan ayahnya. Jadi apapun akan ia hadapi setelah langkahnya masuk ke dalam.

Amora mengangkat jemarinya sedikit bergetar. Ia menekan bel apartemen Dirga dan tak lama pintu terbuka memunculkan Dirga dengan raut wajah yang sama, Datar namun menawan.

"Maaf aku sedikit terlambat dari Yang Kau minta. Aku harus berpamitan terlebih dahulu dengan ayahku." Ucapnya dengan suara sedikit bergetar.

"Masuklah!"

Hanya satu kata itu yang Dirga ucapan sebelum pria itu kembali masuk ke dalam. Amora melangkahkan kakinya masuk ke apartemen Dirga, dan saat pintu tertutup di belakangnya, ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Semua yang pernah ia miliki, impian, kebahagiaan, bahkan kebebasannya, terasa lenyap begitu saja. Mulai detik itu, ia harus menjalani peran sebagai istri kontrak seorang pria yang hanya melihatnya sebagai alat untuk memenuhi ambisinya.

Dengan hati yang telah mati rasa, Amora bertekad mengubur segala perasaan dan menjalani hari-harinya sebagai sosok yang tak lagi memiliki dirinya sendiri. Karena mulai saat ini, tubuhnya dan hidupnya akan ada dalam genggaman Dirga.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan    102 (Tamat)

    Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan

  • Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan    101

    Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan

  • Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan    100

    Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha

  • Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan    99

    Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera

  • Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan    98

    Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me

  • Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan    97

    Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status