Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan

Pernikahan Kontrak Dengan Bos Arogan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-25
Oleh:  RillaTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
102Bab
4.1KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

21+ : Hanya Untuk Dewasa Amora, seorang gadis sederhana yang bekerja sebagai karyawan pemasaran, terjebak dalam dilema besar ketika ayahnya dirawat di rumah sakit dalam kondisi koma. Dengan tunggakan biaya perawatan yang terus menumpuk dan ancaman penghentian pengobatan, Amora berada di ujung keputusasaan. Di tengah keputusannya yang buntu, Amora terpaksa meminta bantuan Dirga, CEO arogan sekaligus pria yang pernah ia kagumi diam-diam saat SMA. Namun, Dirga memberikan syarat yang mengejutkan: Amora harus menikah dengannya dan melahirkan seorang anak sebagai pewaris, tanpa adanya cinta atau komitmen yang sejati. Pernikahan itu hanyalah kontrak dingin, di mana setelah anak itu lahir, mereka akan berpisah. Dalam perjalanan pernikahan penuh batas dan aturan ini, Amora harus menghadapi sisi Dirga yang dingin, egonya yang menjulang, serta kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah bagian dari rencana besar pria itu. Di sisi lain, Amora menyembunyikan rasa sakitnya, mengorbankan segalanya demi ayahnya. Akankah kontrak ini tetap menjadi sekadar perjanjian bisnis? Atau, seiring berjalannya waktu, benih yang tak terduga mulai tumbuh di antara mereka? Kontrak Takdir adalah kisah tentang pengorbanan, takdir, dan perjuangan menemukan kembali harga diri di tengah cinta yang tidak pernah diharapkan.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bagian 1

"Kami sudah bicara dengan pihak administrasi rumah sakit mbak. Kalau dalam waktu satu Minggu ke depan mbak tidak melunasi tunggakan biaya perawatan, kami terpaksa menghentikan semua hal yang berkaitan dengan perawatan ayah mbak."

Amora menatap kertas tagihan rumah sakit di tangannya dengan tatapan kosong. Angka-angka besar yang tertera di sana seolah menekan dadanya hingga sulit bernapas. Ia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas apa yang petugas administrasi itu katakan padanya. 

Ayahnya masih terbaring koma, bergantung pada alat-alat medis yang biayanya terus membengkak setiap hari. Sudah tidak ada lagi yang bisa dijual, tidak ada keluarga yang bisa diandalkan, dan penghasilannya sebagai karyawan pemasaran bahkan tidak cukup untuk membayar seperempat dari total tagihan itu.

Ingin meminjam pada kantornya, sangat tidak mungkin. karena dirinya juga baru saja bekerja sejak dua bulan yang lalu. kantor mana yang mau meminjamkan uang sebanyak ini pada karyawan yang baru bekerja dua bulan.

Amora menggigit bibir, pikirannya kacau, bingung harus mencari pinjaman dari mana lagi. Waktu terus berjalan, dan ancaman penghentian pengobatan ayahnya semakin mendekat.

Amora menjambak rambutnya. Entah sudah yang keberapa kali ia melakukan itu. Bahkan helaian rambutnya yang tercabut masih melilit di jemarinya.

Ia kembali meremas kertas tagihan itu dengan tangan gemetar, kepalanya tertunduk dalam kebingungan. Namun, di tengah kegalauannya, sebuah nama melintas di benaknya—Dirga. Bosnya di kantor, pria yang dulu pernah menjadi sosok yang diam-diam ia kagumi semasa SMA.

Sekarang, Dirga adalah CEO sukses dengan kekuasaan dan kekayaan yang tak terbatas. Tapi, Amora tahu betul seperti apa Dirga—dingin, tak tersentuh, dan selalu menjaga jarak dari semua orang, termasuk dirinya.

Tapi ia tak ada pilihan lain. Hanya Dirga yang bisa ia andalkan saat ini. Dan dalam doanya ia berharap, Dirga mau membantunya.

__

Amora berdiri di depan pintu apartemen Dirga, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya sudah tidak asing, tetapi hatinya tetap bergemuruh. Dirga—pria yang dulu menjadi pusat perhatiannya saat SMA, meski perasaannya tak pernah dibalas. Kini, mereka bertemu lagi, namun dalam situasi yang sangat berbeda. Dirga bukan hanya pria yang dulu ia kagumi, tetapi juga bosnya di kantor, meskipun untuk saat ini, mereka berdua bukan berada dalam konteks pekerjaan.

Pintu terbuka, dan Dirga muncul. Tak ada senyuman, hanya tatapan datar yang langsung menyapu Amora. Dia mengenakan pakaian santai, tetapi aura dinginnya tetap terasa.

"Ada apa?" Tanya Dirga datar.

Amora menelan ludah, merasa seolah ada jarak yang tak bisa ia jembatani meski mereka pernah mengenal satu sama lain.

"Maaf, aku tahu ini mungkin tidak tepat, tapi... aku butuh bantuanmu," ujarnya, berusaha menyembunyikan kecemasannya.

Dirga mengerutkan kening, tetapi tidak ada perubahan signifikan pada ekspresinya. "Bantuan?" tanyanya singkat, seolah tidak terlalu tertarik dengan penjelasan lebih lanjut.

Amora merasakan ketegangan di udara. "Ayahku koma di rumah sakit... dan aku... aku tidak bisa membayar biaya pengobatannya. Mereka bilang, jika tidak segera dilunasi, mereka akan menghentikan perawatan." Suaranya mulai tercekat. "Aku tidak tahu harus pergi ke siapa lagi, Dirga. Aku... aku butuh bantuanmu."

Dirga tetap terdiam sejenak, menilai Amora dengan tatapan kosong, Amora merasakan panas di wajahnya, tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. "Aku... tidak tahu siapa lagi yang bisa aku minta tolong. Aku hanya... butuh bantuanmu sekarang."

Dirga menghela napas pelan, lalu melangkah mundur, membuka pintu sedikit lebih lebar. "Masuk." Titahnya.

Amora melangkah masuk ke dalam apartemen Dirga, terkesan dengan kemewahan yang mengelilinginya. Ruangan luas, dengan lantai marmer mengkilap dan lampu gantung kristal yang memberikan kesan dingin dan elegan. Setiap detilnya terasa begitu terjaga, sama seperti Dirga—pria yang kini menjadi bosnya, namun di sini, mereka hanya dua orang yang terikat kenangan masa lalu yang jauh berbeda.

Dirga melangkah lebih dulu dan mengisyaratkan Amora untuk duduk di sofa kulit hitam yang terletak di tengah ruang tamu. Amora duduk dengan gugup, menahan perasaan cemas yang semakin menggerogoti dirinya.

Dirga duduk di sofa yang ada di seberang meja yang masih berhadapan dengan Amora, tatapannya tajam dan dingin, seperti seorang bos yang tidak terpengaruh oleh apa pun. "Jadi, kamu datang ke sini untuk meminta bantuan?" suaranya terdengar datar, tanpa sedikit pun ekspresi.

Amora menunduk, mencoba mengumpulkan keberanian. Amora mengangguk takut. "Aku sungguh tak tahu lagi harus meminta bantuan siapa Dirga." Ucapnya.

Dirga mendengus, ekspresinya tak berubah. "Kamu pikir aku akan membantu hanya karena kita pernah satu sekolah?" katanya dengan nada meremehkan. "Aku menerima kamu bekerja bukan karena kita kenal dulu, Amora. Jangan coba memanfaatkan momen ini."

Amora merasa tubuhnya kaku, setiap kata Dirga seolah menusuk, membuatnya merasa kecil. "Aku hanya... butuh bantuan, Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini jika ayahku meninggal Dirga." Ucapnya lirih, suaranya tenggelam dalam keheningan yang berat.

"Dan Kamu pikir aku peduli dengan kondisimu saat ini? Sekarang Kamu bawahanku Amora, bukan teman satu sekolah lagi."

Jawaban Dirga membuat Amora semakin terpuruk. Hidup sendiri tanpa ayahnya saat ini menjadi momok paling menakutkan baginya. Ia tak mau itu terjadi dalam hidupnya.

Amora kembali menatap Dirga. Namun saat ia ingin buka suara Kembali, geraknya dihentikan karena ponsel Dirga yang tiba-tiba berbunyi.

Dirga langsung berdiri dari duduknya dan beranjak sedikit menjauh dari Amora.

Amora melirik ke arah Dirga. Kenangan bagaimana ia dulu menyukai Dirga secara diam-diam kembali terkenang di memorinya. Dan menerima kenyataan jika sekarang posisi Dirga adalah bosnya di kantor membuat Amora merasa kecil. Perasaan yang dulu ia punya untuk Dirga seketika memilih untuk bersembunyi dan mengunci diri di sudut hatinya yang paling dalam. Semuanya akan terasa sulit jika perasaan itu saat ini masih ada.

Amora menghela nafas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya jika keberadaannya di sini hanya demi pengobatan ayahnya.

Dirga kembali ke ruang tamu setelah menerima telepon, langkahnya tenang namun berwibawa. Dia duduk di sofa di hadapan Amora, menyilangkan kaki dengan sikap santai, namun tatapannya tetap tajam dan tak terbaca. Suasana ruangan itu terasa semakin dingin, seolah memantulkan sikap Dirga yang tak terjangkau.

Amora menatapnya dengan penuh harap, meski ketegangan menggantung di udara. Napasnya sedikit tertahan ketika Dirga membuka mulut untuk berbicara.

"Aku akan membayar semua tunggakan biaya rumah sakit ayahmu," kata Dirga dengan nada datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi.

Mata Amora melebar. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Benarkah?  Dirga, ini bukan sebuah lelucon kan? Ini, Dirga, terima kasih banyak, aku—"

"Tapi," potong Dirga cepat, suaranya lebih rendah namun tetap penuh otoritas, "ada satu syarat."

Amora terdiam, merasa sesuatu yang besar akan segera terjadi. Jantungnya berdegup lebih kencang. "Syarat apa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Dirga menatap lurus ke arahnya, matanya seperti berlian yang dingin dan tajam. "menikahlah denganku dan lahirkan seorang anak untukku."

*****

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
102 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status