LOGIN21+ : Hanya Untuk Dewasa Amora, seorang gadis sederhana yang bekerja sebagai karyawan pemasaran, terjebak dalam dilema besar ketika ayahnya dirawat di rumah sakit dalam kondisi koma. Dengan tunggakan biaya perawatan yang terus menumpuk dan ancaman penghentian pengobatan, Amora berada di ujung keputusasaan. Di tengah keputusannya yang buntu, Amora terpaksa meminta bantuan Dirga, CEO arogan sekaligus pria yang pernah ia kagumi diam-diam saat SMA. Namun, Dirga memberikan syarat yang mengejutkan: Amora harus menikah dengannya dan melahirkan seorang anak sebagai pewaris, tanpa adanya cinta atau komitmen yang sejati. Pernikahan itu hanyalah kontrak dingin, di mana setelah anak itu lahir, mereka akan berpisah. Dalam perjalanan pernikahan penuh batas dan aturan ini, Amora harus menghadapi sisi Dirga yang dingin, egonya yang menjulang, serta kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah bagian dari rencana besar pria itu. Di sisi lain, Amora menyembunyikan rasa sakitnya, mengorbankan segalanya demi ayahnya. Akankah kontrak ini tetap menjadi sekadar perjanjian bisnis? Atau, seiring berjalannya waktu, benih yang tak terduga mulai tumbuh di antara mereka? Kontrak Takdir adalah kisah tentang pengorbanan, takdir, dan perjuangan menemukan kembali harga diri di tengah cinta yang tidak pernah diharapkan.
View MoreUREKAI:
In the days of old, the Urekai stood out as the strongest and most powerful beings in the world.
The ancient tongue called them ‘fearsome beasts’ for:
Like werewolves, they could transform into beasts.
Like vampires, they consumed blood.
And walked among humans with no one the wiser.
The ageless, peaceful, selfless beings preferred to keep to themselves. Despite being feared and distrusted, they never responded with aggression.
They granted passage to any species wishing to enter their lands beyond the great mountain and welcomed everyone.
But five centuries ago, an unexpected species attacked the Urekais during their one night of weakness. The humans.
While protecting his people, Grand King Daemonikai lost control of his mind, going feral.
Becoming a danger to the same people whom he had given everything to protect.
Although it seemed impossible, the Urekais managed to capture their king’s beast form, imprisoning him in a secure cage, ensuring he could never escape.
But, consumed by hatred for humans, the Urekai plunged themselves into darkness.
Becoming the fearsome beasts others had always feared them to be.
Wearing their monstrosity with pride.
HUMANS:
After invading the Urekais, a mysterious virus outbreak struck.
No one knew where it came from, but many speculated their attack on the Urekais brought it on.
While most males eventually recovered after a long struggle, the virus proved fatal for the majority of females.
Survivors rarely gave birth to female children. Those left or born became scarce and sought-after commodities.
In many kingdoms, greedy fathers sold their daughters to breeding houses. Some were forced into pleasure houses, existing solely for men's enjoyment. Some faced terrible abuse in exchange for protection.
Even the wealthy and the privileged could not guarantee the safety of the females in their lives, as the mere sight of a female—be it an infant, a young girl, or an elderly woman—drew unwanted attention.
Female children faced constant danger.
They are not safe in the society.
.
.
.
PROLOGUE
HUMAN LAND: THE KINGDOM OF NAVIA.
"It's a g-girl, your highness,"
Prince Garret froze.
As he turned, looking at the palace healer, his hands resting on his exhausted wife's body, shook uncontrollably.
He had secretly arranged the delivery months ago, and now they were hidden in one of the underground rooms in the palace, where his beloved wife, Pandora, was giving birth.
"What did you just say to me?" Prince Garret hoped he heard wrong. Perhaps it had been a mistake.
Please, gods, let it be a mistake!
But the pity in the older man's face couldn't be disguised. The palace healer turned the little bundle. "The baby is a girl."
Terror crossed Pandora's face as she adjusted herself to get a closer look at her baby.
"No. Oh, the gods, please no..." She shook her head vigorously fresh tears gathering in her eyes.
Tears welled in the healer's eyes. "I'm so sorry, your highness."
"No!!!" Pandora cried out burying her face into her husband's waiting arms, sobs after sobs ripping from her throat.
Garret felt numb as he held his wife.
His first daughter, Aekeira, wasn't even four yet, and the king was already negotiating with the kingdom of Cavar to sell her to the highest bidder.
Because, apparently, Navia 'could use more funds.'
King Orestus might be Garret's brother, but he was a tyrant, and his word was law.
Now, another girl child? Two daughters?
Tears filled Garrett's eyes as he looked upon the crying bundle wiggling around in healer's arms.
The world was not safe for either of his daughters.
“I’ll raise her like a boy,” Pandora declared suddenly.
The healer's eyes widened. “Are you suggesting we keep her identity a secret?”
“Yes," Pandora affirmed, her resolve strengthening. "This child will never be seen as a girl. No one will ever find out!”
“B-but, it’s impossible to hide something like this, your majesty." The healer panicked. "The king will order our execution!"
“Then, we take the secret to our grave." Pandora's voice was fierce. "I was unable to protect my first daughter, but by the Light-gods, I will protect my second."
Too dangerous, but Garret was all for it too. This was their best chance to keep their daughter safe, and they would take it.
"As far as we are concerned, the child I bore today was a male." Pandora looked at the baby. "His name is Emeriel. Emeriel Galilea Evenstone."
Emeriel.
It's a neutral name, and also means 'Sky's Protection' in the old tongue. Garret liked it.
Fitting too, for their daughter would need all the luck and protection in the world.
"I agree," Garret spoke aloud.
With the plan fully in his mind, Garret swore the two other men in the room to secrecy.
*********
That night, Garrett and his wife, stood by the baby’s small cradle, watching their newborn sleep. Across the room, their three-year-old daughter, Aekeira, lay curled under a blanket, her tiny chest rising and falling in peaceful rhythm.
"In all my years on this earth, I’ve never seen anyone bear two female children, Garrett," Pandora whispered, voice cracking.
She glanced up at him, eyes glistening with tears. "I don’t know what this means for us... or for them."
Garrett placed a reassuring hand on her shoulder. "Maybe it means they have a great destiny to fulfill."
"Or a great sorrow in their future," Pandora's eyes drifted to their eldest, worriedly. "I’m so scared for them. How could something like this happen?"
“Perhaps you’ve been touched by the gods, my darling," Garrett said in comfort.
"I really doubt that. Why me? Why us?"
He had no answer to that.
"If that’s true," Pandora sniffled, brushing her fingers over the baby’s soft cheek, "may that god always protect my babies. We won’t always be here to do that."
Garrett pulled his wife into his arms, holding her close, fighting to hide his own worry.
Because, she was right.
What were the odds of a couple in these times bearing not just one, but two daughters?
None. Absolutely none.
As he gazed at their sleeping children, prayer rose in his heart. Whatever god you are, please... protect our angels.
Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments