"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.
Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi. Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. "Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin. Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas. "Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?" Amora mengangkat wajahnya perlahan, mata merah dan lelah bertemu tatapan Dirga yang penuh pertanyaan. "Aku... aku merasa mual...Rasanya sakit Dirga..wuuekk wuekkk..." Dirga menghela napas, menahan sesuatu di dadanya yang entah kenapa terasa berat melihat kondisi Amora seperti ini. “Kau harus diperiksa. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi.” Amora memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam. "Aku... aku bisa sendiri." “Jangan membantah, Amora,” tegas Dirga, suaranya mengandung perintah, tapi tangannya tetap lembut membantu Amora berdiri. "Kita pergi sekarang." Amora tak lagi melawan, terlalu lelah untuk memprotes, sementara Dirga dengan cekatan menopangnya keluar dari kamar mandi, diam-diam menekan kekhawatirannya yang kian terasa nyata. __ Dirga dan Amora duduk bersebelahan di ruangan dokter Kiki yang sengaja Dirga siapkan untuk hal ini. Suasana hening di antara mereka terasa menekan. Dirga melipat tangannya di dada, tatapan matanya lurus ke depan seolah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, sementara Amora memandang tangannya sendiri, jari-jarinya saling menggenggam erat. Pintu ruang konsultasi akhirnya terbuka, dan dokter Kiki yang menangani Amora masuk ke dalam dengan senyum profesional. Ditangan Dokter Kiki ada selembar kertas yang isinya sangat ditunggu oleh Dirga dan Amora. Dokter Kiki duduk di kursinya. Ia memandang Amora dan Dirga yang ada di hadapannya, “Selamat, bapak Dirga,” ucapnya, membuat Amora langsung mendongak. “Pemeriksaannya menunjukkan hasil positif. Istri Anda sedang hamil, usia kandungannya sekitar enam minggu.” Kata-kata itu menggema di telinga Amora, membuatnya terdiam. Sementara itu, Dirga menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah, antara terkejut dan… lega. “Hamil?” gumam Amora pelan, suaranya hampir tak terdengar. Matanya menatap dokter itu dengan tatapan kosong. Pantas saja jika dirinya belum datang bulan. “Ya, Nyonya. Kondisi Anda dan janin cukup baik, tetapi mengingat tadi Anda sempat mengeluh mual dan lemas, saya sarankan lebih banyak beristirahat. Hindari stres, dan jaga asupan makanan, nanti akan saya resepkan vitamin dan asam folat untuk kandungan anda.” jelas dokter itu dengan nada ramah. Namun ada satu hal yang membuat Dirga bingung. Ia dan Amora baru menikah satu bulan, kenapa kandungan Amora sudah berjalan 6 Minggu?. "Saya dan 'istri saya' baru menikah satu bulan yang lalu, kenapa kandungannya bisa 6 Minggu?" Tanya Dirga namun membuat Dokter Kiki tersenyum. "Kenapa pak? Apa bapak cemburu kalau istri bapak selingkuh?" Dirga menatap Amora. Tatapan itu dingin dan tak terbantahkan. "Tidak pak Dirga. Masa hitung usia kandungan itu dimulai sejak hari pertama selesai datang bulan. Jadi kemungkinan besar, buk Amora sudah hamil sejak dua Minggu yang lalu, namun terasanya baru hari ini." Dirga mengangguk singkat. “Baik, kami mengerti. Terima kasih, Dokter,” jawabnya, nada suaranya datar, namun sulit menyembunyikan rasa puas yang tiba-tiba menyeruak. Saat mereka melangkah keluar dari ruang konsultasi, Amora berjalan pelan di belakang Dirga, perasaannya bercampur aduk. Dirga menoleh sekilas, berhenti sejenak untuk menunggu Amora yang tampak limbung. “Ayo pulang,” ujar Dirga singkat, nada suaranya tak hangat, tapi ada sedikit perhatian tersembunyi dalam tatapannya. Amora hanya mengangguk lemah, belum sepenuhnya memproses kenyataan baru ini—kenyataan bahwa di dalam tubuhnya kini tumbuh sebuah kehidupan yang tak pernah ia rencanakan, namun menjadi tujuan dari semua kontrak ini. ___ Amora duduk diam di kursi penumpang, tangannya memegang erat seat belt yang melingkar di perutnya. Pandangannya lurus ke jalanan, sementara Dirga mengemudi dengan tenang. Suasana hening itu begitu menyesakkan, hingga akhirnya Dirga memulai pembicaraan. "Aku harap kau mulai paham sekarang, Amora. Apa pun yang terjadi, kau harus menjaga kandungan itu baik-baik." Amora melirik Dirga sekilas, namun tak mengatakan apa pun. "Dokter bilang kondisimu cukup baik, tapi aku tidak ingin ada risiko sekecil apa pun. Demi anak ini, kau harus menjaga dirimu. Jangan keras kepala." Amora menunduk, menggigit bibirnya sendiri. Ia ingin membalas, tetapi suara Dirga terdengar terlalu tegas untuk dibantah. "Aku sudah tahu tanggung jawabku Dirga. Kau tak perlu mengulanginya lagi dan lagi." Dirga meliriknya sekilas, tatapannya datar. "Bagus kalau kau mengerti. Mulai sekarang, apa pun yang kau lakukan, pikirkan dampaknya untuk anak ini. Aku tak peduli apa yang kau rasakan, yang terpenting adalah dia. Dia keturunan yang akan menjadi bagian dari hidupku nantinya." Amora menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. "Bagaimana dengan aku, Dirga? Apakah aku hanya alat bagimu?" Dirga menghela napas berat. "Kau tahu perjanjian kita, Amora. Kau setuju dengan semua ini. Anak ini adalah prioritas utamaku. Kalau itu berarti kau harus merasa sedikit repot dengan ini, maka terimalah. Toh aku sudah memberimu fasilitas terbaik untuk pengobatan ayahmu." Amora meremas lebih kuat tali seat belt tersebut, merasa hatinya seperti tertusuk. "Aku sudah tahu jika ini demi anak ini. Aku juga ingin dia tumbuh dengan sangat baik agar ia bisa lahir dengan selamat. Setelah itu aku akan pergi." Dirga tetap memandang jalan dengan ekspresi keras. "Memang itu yang seharusnya kau lakukan Amora." Amora terdiam, tak ada gunanya memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas sejak awal. Namun, di dalam dirinya, luka itu semakin dalam, seperti lubang yang terus membesar tanpa ada yang bisa menghentikannya. Amora memalingkan wajahnya ke luar jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Udara dingin dari pendingin mobil seolah membekukan hatinya. Dirga masih fokus mengemudi, tak sedikit pun menoleh ke arah Amora. Dirga kembali memecah keheningan, suaranya lebih pelan namun tetap dingin. "Aku akan meminta Bik Susi untuk memperhatikan kebutuhanmu. Jangan coba-coba membebani dirimu dengan pekerjaan atau hal-hal yang tak perlu. Amora mendengus kecil, setengah sarkastik. "Lagi-lagi demi anakmu, kan?" Amora merasakan ada sesuatu yang berat di dadanya, perasaan tak dihargai yang terus-menerus menghantui. Namun ia tahu, membalas Dirga hanya akan menjadi debat tanpa akhir. Ia memilih untuk tetap diam, membiarkan perasaan itu terkubur dalam. Saat mobil akhirnya memasuki kompleks apartemen, Amora menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Sementara Dirga memarkir mobil tanpa banyak bicara, Amora berbisik pada dirinya sendiri, "Mungkin aku hanya harus belajar menerima. Semua ini bukan tentang aku... tapi tentang anaknya." "Amora, aku ingin memastikan kau akan mematuhi semua perjanjian kita." Suaranya tenang namun penuh tekanan saat mereka keluar dari mobil. Amora berhenti melangkah di depan lift, menatap pantulan dirinya di pintu logam. "Aku sudah tahu itu, Dirga. Kau tak perlu terus mengingatkanku." "Bagus kalau kau mengerti." Ia menekan tombol lift, berdiri beberapa langkah di belakang Amora. "Mulai sekarang, kau tidak akan kekurangan apa pun. Semua kebutuhanmu akan terpenuhi." Amora melirik sekilas, merasa semua kata-kata Dirga dingin dan tanpa emosi. "Demi anakmu, kan? Aku tak perlu ragukan itu. Mungkin jika aku mati setelah melahirkan anakmu ini, kau tak akan peduli padaku.." Dirga tak menjawab. Bukan karena itu tak bisa, namun karena kalimatnya tercekat di tenggorokannya. Lift berbunyi dan pintu terbuka. Mereka masuk tanpa melanjutkan pembicaraan. Amora berdiri di sudut, mencoba menahan perasaan getir yang terus menggerogoti hatinya. Ketika mereka sampai di apartemen, Dirga membuka pintu dan melangkah masuk lebih dulu. Ia berhenti di ruang tamu, menatap Amora dengan sorot mata yang sulit diartikan. *****Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban