Arlo terdiam mendengar cerita sang ayah. Melihat tatapan amarah saat Aksa bercerita, lalu menatap Bams yang diam seolah membenarkan, Arlo tidak pernah tahu sisi sang ayah yang sangat penyayang kepada anak-anaknya, memiliki sisi yang menyeramkan.“Jika bukan karena mamamu, mungkin hari itu aku benar-benar menghabisinya dan tidak akan pernah ada teror di hari ini.” Aksa tersenyum getir, lalu dia kembali bicara. “Sepertinya pengampunan tetap diberikan hidup, tak cukup untuknya. Bukannya sadar atas semua kesalahan, dia malah berniat kembali menyakiti keluargaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menyerahkan nyawanya. Dia tidak tahu, siapa yang sedang dia hadapi.”Arlo terdiam sesaat. Menatap sang ayah yang terbakar amarah setelah menceritakan kejadian sembilan belas tahun lalu, Arlo mencoba untuk menenangkan. “Dulu Papa yang melindungiku, sekarang biarkan aku yang melindungi kalian.”Mendengar ucapan Arlo, semua tatapan kini tertuju pada Arlo.“Aku tidak ingin Papa atau Mama terluka. Suda
Aksa tersenyum miring melihat ketakutan di mata pria yang ada di hadapannya saat ini. Melangkah mendekat ke arah pria yang sudah melukai putranya, Aksa berhenti tepat di depan Dito, membuat pria ini mendongak untuk menatapnya.“Kamu tidak bisa membunuhku. Kamu akan dipidana karena menggunakan senjata api!” Dito mencoba memukul mundur niat Aksa, tetapi itu malah membuat Aksa semakin tersenyum mencemooh padanya.Aksa tersenyum saat menoleh senjata yang ada di tangannya sebelum kembali menatap Dito yang sudah ketakutan, lalu berkata, “Asal kamu tahu saja, aku mendapatkan senjata ini secara legal.”Bola mata Dito membulat sempurna, dia sampai meneguk ludah kasar.Melihat ketakutan di mata Dito, Aksa tersenyum miring. Mengulurkan tangan ke samping pada Bams yang mengambil pistolnya, Aksa berkata, “Tenang saja, kamu beruntung hari ini karena aku tidak akan menggunakan senjata untuk menyakitimu.”Aksa memberikan tatapan yang begitu tajam sampai menusuk ke tulang, aura wajahnya begitu gelap m
Arlo menatap Bams yang melirik Aksa, dia semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi, yang membuat pria itu mendendam pada mereka.Menyadari putranya mencurigai sesuatu, Aksa menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan. “Mungkin ini kesalahanku, tapi ini takkan aku lakukan jika dia tidak melukaimu.”Mendengar apa yang Aksa katakan, Arlo menegakkan badan. Dengan tatapan penuh rasa penasaran, Arlo bertanya, “Jadi, apa yang sudah Papa lakukan padanya?”Aksa lagi-lagi membuang napas kasar, dia diam sesaat lalu kembali menceritakan apa yang terjadi sembilan belas tahun lalu.“Saat itu ….”Di rumah sakit.Alina menangis menjadi-jadi saat melihat Arlo sudah berwajah sangat pucat, apalagi Arlo kehilangan banyak darah yang membuatnya sampai tak sadarkan diri.“Katakan padaku, dia akan baik-baik saja, ‘kan? Putraku akan baik-baik saja.” Alina meraung pilu melihat putranya sedang mendapat pertolongan dari dokter begitu tiba di UGD rumah sakit.Aksa memeluk erat tubuh Alina, matanya memerah,
Di mobil yang membawa Dito.Dito menoleh pada wanita yang duduk di sampingnya. Dia memperhatikan penampilan wanita yang tak lain Fiona, kening Dito berkerut dalam, kenapa wanita ini mau membantunya kabur.Duduk dengan tenang di samping Dito, Fiona menoleh pria tua itu dengan senyum tipis di wajahnya sebelum berkata, “Untung saja aku datang tepat waktu, kamu hampir saja tertangkap jika aku tidak berhenti.”Dengan kening berkerut semakin dalam, Dito menatap aneh pada Fiona lalu bertanya, “Siapa kamu?”Fiona tersenyum angkuh saat dia kembali menoleh pada Dito. “Aku adalah seseorang yang bisa membantumu.”Kedua alis Dito berkerut sampai bertautan, dengan tatapan bingung dia bertanya, “Apa maksudmu? Dan apa alasanmu mau menolongku tadi?”“Aku hanya mau membantumu, tentu saja untuk sama-sama menguntungkan. Aku tahu, apa yang kamu mau,” ucap Fiona dengan nada suara yang begitu meyakinkan.Mendengar apa yang dikatakan Fiona, Dito malah tersenyum mencibir. “Memangnya kamu tahu apa tentangku? J
Dito mematung dengan tatapan bingung, sampai dia kembali menoleh ke para pria yang mengejarnya, membuatnya panik dan dia kembali mendengar suara.“Cepat masuk!”Tanpa pikir panjang, Dito segera masuk ke dalam mobil mewah itu. Begitu pintu tertutup, mobil itu melaju dengan sangat cepat.Anak buah Theo dan anak buah Bams terlambat mengejarnya. Mereka kurang cepat dan hanya bisa melihat mobil yang membawa Dito melesat di jalanan raya sampai menghilang dari pandangan.“Siapa kalian, apa maksud kalian mengejarnya?” tanya anak buah Bams tak terima buruan mereka lepas.Memicingkan mata, anak buah Theo yang berkemeja hitam, lantas berkacak pinggang, sambil mengangkat dagu berkata, “Kalian sendiri? Kami tahu kalian sejak tadi mengawasinya, atau jangan-jangan kalian bodyguardnya? Kalau benar, kalian dalam masalah.”Anak buah Bams tertawa, lalu berkata, “Kalian yang menghalangi tugas kami.”Kalimat itu disalahartikan oleh anak buah Theo, geram karena sasaran mereka kabur, anak buah Theo bersiap
Di sebuah rumah kecil.Dito duduk di meja kecil dengan ponsel di tangannya. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, seringainya begitu menakutkan dengan tatapan begitu gelap.Dia baru saja menonaktifkan ponselnya setelah membalas pesan Ayudhia. Dia lalu meletakkan ponsel ke dalam saku mantel, lalu meneguk air di gelas sebelum berdiri dari duduknya.“Sayang sekali, gadis baik itu harus kujadikan tumbal karena bertahan di Radjasa, yang terpenting aku sudah memperingatkannya. Jika mau menyalahkan, salahkan keluarga Radjasa yang sudah membuatku menjadi seperti ini.”Setelah mengatakan itu, seringai jahat terbit di wajahnya.Dito melangkah dengan kaki pincangnya menuju pintu rumah. Mengawasi sekitar dan merasa kalau aman, dia keluar dari rumah, lalu segera mengunci kembali rumah yang hanya dia singgahi saat malam hari, lalu dia tinggalkan dari pagi hingga petang.Dito melangkah pelan menuju jalan raya yang tak jauh dari rumah tempatnya tinggal. Dia harus mulai menjalankan rencananya untuk ba