Ayudhia menelan kenyataan pahit setelah mengetahui jika dia hanya putri pengganti di keluarganya. Kembalinya sang putri kandung membuat posisi Ayudhia tersingkir, kasih sayang dan cinta keluarganya memudar, lalu puncaknya Ayudhia terusir dari rumah yang dia tinggali selama dua puluh enam tahun ini karena kelicikan putri kandung keluarga Ardhana. Sakit hati dan kecewa membawa Ayudhia pada pria kaya raya bernama Arlo Radjasa, seorang presdir perusahaan besar. Menawarkan kerjasama bisnis untuk Arlo, Ayudhia malah mendapat tawaran kontrak pernikahan yang mencengangkan. Keputusan apa yang akan Ayudhia ambil? Menerima tawaran kontrak pernikahan dan membalas perbuatan keluarga yang sekarang membuangnya, ataukah Ayudhia memilih pasrah menerima nasibnya?
view more“Jangan bakar itu! Itu milikku, Fiona!”
Teriakan Ayudhia pecah di halaman belakang rumah keluarga Ardhana. Dia berlari, lututnya tergores tanah saat terjatuh untuk menyelamatkan kertas-kertas sketsanya yang terbakar. Tetapi, api sudah lebih dulu menelannya. Ujung-ujung lembaran itu berubah abu dalam hitungan detik.
Di hadapannya, Fiona berdiri anggun dengan wajah datar dan senyum kecil di sudut bibir. “Maaf, aku pikir itu cuma kertas bekas. Tapi, kamu bisa gambar ulang, ‘kan? Kalau kamu memang benar yang buat.”
Suara Fiona terdengar ringan, seolah dia sedang bercanda. Tetapi, Ayudhia tahu betul bahwa gadis di hadapannya ini tahu persis apa yang dia lakukan.
Lima tahun lalu, Fiona tiba-tiba datang ke rumah ini.
Gadis itu berdiri di depan gerbang besar dengan wajah yang mirip Sonia, nyonya Ardhana, dan membawa bukti serta hasil tes DNA yang menunjukkan bahwa dia adalah putri kandung keluarga Ardhana yang selama ini hilang sejak masih bayi.
Awalnya semua terkejut. Bahkan tidak percaya. Namun, setelah semua ‘bukti’ itu dibentangkan, reaksi Sonia dan Dimas, suaminya, tidak bisa disangkal. Sonia dan Dimas langsung memeluk Fiona dengan air mata dan tawa. Euforia yang hanya terjadi saat seseorang ‘pulang ke rumahnya.’
Sementara Ayudhia hanya bisa berdiri diam di sudut ruangan. Bingung dan tidak mengerti.
Karena di hari itu juga dia baru tahu bahwa dirinya yang selama ini dipanggil ‘putri’, ternyata bukan siapa-siapa. Justru Ayudhia lah si anak adopsi yang diambil untuk menggantikan posisi Fiona yang menghilang.
Saat itu, mungkin karena merasa kasihan pada Ayudhia, mereka bilang tidak akan berubah. Bagaimana pun juga Ayudhia telah bersama mereka sejak 26 tahun yang lalu.
Sonia memeluk Ayudhia dan berkata, “Kamu tetap anak mama.” Samuel, kakak laki-laki, ikut tersenyum sambil mengusap kepalanya. Dimas juga sempat mengangguk.
Dan Fiona bersikap baik, menyebut Ayudhia ‘saudara’ dengan suara manis. Tetapi lambat laun Ayudhia tahu, itu semua hanya topeng. Fiona perlahan-lahan mengikis posisi Ayudhia di rumah ini.
Membuat perlakuan keluarga Ardhana seiring waktu berubah terhadap Ayudhia.
Puncaknya terjadi saat Fiona secara diam-diam mengambil salah satu desain Ayudhia dan menyimpannya di kamarnya sendiri. Ketika Ayudhia menuduh, Fiona menangis. Dan kemudian Ayudhia yang ditampar.
Seperti hari ini.
“Kamu tahu sketsa itu milikku ....” Suara Ayudhia gemetar, matanya memerah. “Itu sketsa lomba. Aku sudah bekerja keras berhari-hari dan kamu bakar semuanya!”
“Cukup, Ayudhia!”
Suara Samuel meledak dari belakang Ayudhia. Wajahnya merah padam. Dalam satu langkah cepat, dia menghampiri dan menampar wajah Ayudhia keras-keras hingga kepala gadis itu terpelanting ke samping.
Ayudhia terhuyung, darah mulai merembes dari sudut bibirnya.
“Kamu pikir kami percaya omonganmu?! Fiona adik kandungku. Dia yang pasti berkata jujur. Sementara, kamu itu cuma—” Samuel tak melanjutkan untuk beberapa saat, seperti ada sesuatu yang menahan Samuel untuk melanjutkan ucapannya. Tapi Ayudhia tahu sisa kalimat itu.
“Kamu itu cuma anak angkat.”
Fiona menunduk pelan, berpura-pura sedih. “Kak, jangan terlalu kasar. Ayudhia cuma bingung. Dia belum bisa terima kenyataan dan menerima fakta bahwa karya itu milikku.”
Ayudhia menatapnya tajam, tetapi tersirat kemarahan dan luka di dalamnya.
Sedang Fiona, saat mata Samuel tak memandang, menoleh dan tersenyum pada Ayudhia. Senyum penuh kemenangan.
Kali ini, Ayudhia sudah tidak menahan apa pun lagi. Sudah cukup penderitaan yang dialami Ayudhia sejak Fiona datang ke rumah ini. “Yang sebenarnya belum bisa menerima kenyataan ini aku atau kalian?” Ayudhia mendengus, tertawa mengejek. “Jelas-jelas adik kesayangan ini tidak bisa membuat sketsa sama sekali, tapi kalian—”
Plak!
Sekali lagi, Samuel menampar Ayudhia. Kini, kedua pipi Ayudhia merah.
“Jangan menghina Fiona! Kamu harus ingat, dia baru kembali, sedangkan kamu hidup nyaman di keluarga ini. Itu tidak sebanding dengan penderitaan yang Fiona alami.”
‘Tidak sebanding,’ katanya.
Mendengar kata-kata Samuel, Ayudhia kini tertawa keras. Begitu keras hingga ujung matanya menitikkan air mata.
Tawa keras Ayudhia yang tidak berhenti membuat Samuel tertegun.
Tidak lama, Sonia dan Dimas datang menghampiri mereka. “Ayudhia, cukup kamu membuat onar di rumah ini!” teriak Sonia. Sedang Dimas hanya diam.
Ayudhia berhenti tertawa melihat Sonia dan Dimas. Hatinya sakit dan giginya gemeletuk menahan emosi di dada. Dimas sebenarnya tahu bahwa Ayudhia lah yang membuat sketsa-sketsa ini, tetapi pria itu hanya diam. Tidak membela Ayudhia, tapi tidak juga menyalahkan Fiona.
Dan itu yang paling menyakiti hati Ayudhia.
Ayudhia mengusap bibirnya yang berdarah. Suaranya rendah, tapi tajam. “Kalau aku yang membuat onar kenapa kalian tidak mengusirku?”
Samuel mengerutkan dahi. “Kalau begitu keluar dari rumah ini sekarang! Kamu memang tidak tahu terima kasih!”
Fiona yang menyaksikan pemandangan itu di tempatnya tersenyum tipis. Namun, ia masih belum puas jika Ayudhia masih bisa berdiri.
Fiona berlari ke arah Samuel memeluk kakaknya cepat, berpura-pura ingin menenangkan Samuel. “Kak, tidak boleh mengusir Ayudhia. Bagaimana pun juga Ayudhia telah bersama kalian lebih lama daripada aku.”
Fiona dengan wajah sendu dan mengiba kemudian menatap Sonia dan Dimas.
Begitu mendengar ucapan Fiona, Ayudhia dapat melihat sedikit perubahan di raut wajah Dimas.
Dimas menghela napas, dan akhirnya dia mengeluarkan suaranya. “Ayudhia, selama ini kami sudah cukup sabar dengan kelakuan dan sikapmu. Kami membesarkanmu tapi ini balasannya.” Dimas menatap Ayudhia dalam, ada sebersit kekelaman juga kekecewaan yang melintasi mata Dimas, tetapi kalimat Dimas berikutnya menusuk hati Ayudhia lebih dalam.
“Kami menyesal pernah menyayangimu dan telah mengangkatmu jadi bagian keluarga Ardhana.”
Saat malam hari.Arlo dan Ayudhia sudah sama-sama beristirahat. Ayudhia tidur dengan posisi miring memunggungi suaminya. Dia tidur dengan sangat nyenyak, sampai tiba-tiba telinganya mendengar suara Arlo yang merintih dengan racauan pelan.Ayudhia membuka kelopak matanya perlahan sebelum membalikkan tubuhnya dengan pelan ke arah sang suami berbaring.Ketika tatapannya tertuju ke wajah Arlo yang basah karena keringat dengan ekspresi gelisah yang tersirat jelas di wajah suaminya, Ayudhia bangkit setengah berbaring untuk membangunkan Arlo.Ayudhia ingin menyentuh lengan Arlo, tetapi dia lebih dulu melihat bibir Arlo bergerak dengan suara lirih dan samar-samar terdengar di telinga Ayudhia.Tak bisa mendengar dengan jelas, Ayudhia mendekatkan telinga ke bibir Arlo agar bisa mendengar apa yang Arlo igaukan.Saat telinganya sudah berada begitu dekat, dia mendengar jelas suara rintihan Arlo diikuti panggilan ‘Ma, Pa, Ay’.Menjauhkan telinga dari bibir Arlo, Ayudhia langsung menatap pada Arlo y
Arlo menatap begitu serius, menunggu jawaban Ayudhia.Ayudhia menatap bergantian pada Arlo dan Theo, sebelum dia membalas, “Waktu aku menemui pengemis itu di depan butik Mama, aku memberikan roti dan air kepadanya. Saat itu, aku melihat punggung tangan kanannya ada bekas luka lebar, kupikir bukan apa-apa, mendengar ceritamu, jadi kurasa benar itu penculik yang menyakitimu.”Arlo menegakkan badan, ternyata yang Ayudhia ingat soal pertemuan dengan pengemis, dia sempat berharap Ayudhia ingat dengan kejadian penculikan mereka.“Aku pikir dia benar-benar pria tua yang malang, ternyata dia pria yang kejam. Menyesal aku memberi minum pada pria jahat itu!” gerutu Ayudhia pada akhirnya.Theo masih berdiri, melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi wajah menggelap. “Jadi, sudah dipastikan kalau benar pria itu ada maksud. Dia pasti sedang memantaumu.”Arlo hanya diam, wajahnya kembali memucat.“Jika sudah begini, kita memang harus waspada, ‘kan? Apalagi pengemis itu seolah membayangi ki
Ayudhia mendengar nada panggilan sudah terputus. Dia menatap panik pada suaminya yang masih pucat tetapi bisa-bisanya berkata tidak apa-apa.Menatap istrinya yang cemas, dengan nada suara pelan, Arlo berkata, “Aku benar-benar baik-baik saja, Ay.”“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik saja, huh? Lihat wajahmu, pucat seperti orang tipes, ditambah tanganmu saja gemetaran begini, kamu masih bilang kalau kamu baik-baik saja?” omel Ayudhia.Setelah mengomel, mata Ayudhia tiba-tiba berkaca-kaca, bahkan kini ujung matanya mulai mengeluarkan buliran bening yang menetes begitu saja.“Aku tuh cemas lihat kamu begini, bagaimana bisa kamu bilang kalau baik-baik saja,” omel Ayudhia lagi.Melihat Ayudhia bicara dengan suara tertahan karena menahan tangisnya, Arlo begitu terkejut sampai berkata, “Kenapa sampai nangis begitu? Aku benar-benar tidak kenapa-napa.”Air mata Ayudhia semakin meluncur deras, menghapus pelan wajahnya yang basah, dia berkata, “Bagaimana aku tidak nangis kalau lihat kamu begini
Ayudhia menoleh ke pintu ruang makan, tatapannya tertuju ke sana, menunggu suaminya yang juga tak kunjung datang.Kening Ayudhia berkerut samar, dia mulai penasaran, siapa yang menghubungi suaminya, sampai Arlo begitu lama menerima panggilan itu.“Kenapa dia lama sekali, aku sudah lapar,” keluhnya.Ayudhia mengembuskan napas pelan. Dia akhirnya bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu ruang makan, lalu mencari keberadaan Arlo yang dia temukan di ruang tengah.Melangkah mendekat dengan senyum mengembang di wajah, Ayudhia menyadari kalau suaminya yang kini berdiri memunggungi dirinya sekarang ini sedang gemetaran.Ayudhia menghampiri dengan cepat, saat tangan menyentuh lengan Arlo, Ayudhia memanggil, “Arlo.”Saat Arlo menoleh padanya, Ayudhia tersentak melihat wajah pucat Arlo. Menangkup pipi Arlo dengan kedua tangan, Ayudhia menatap panik saat bertanya, “Ada apa? Siapa yang menghubungimu? Kenapa kamu gemeteran begini?”Ayudhia langsung memeluk Arlo, tangannya mengusap-usap lembut p
Setelah bicara dengan Bams. Aksa pergi ke kamar menemui Alina yang sejak tadi di dalam. Dia menghampiri Alina lalu bergabung dengan sang istri yang sudah menatapnya sejak tadi.Menatap suaminya dengan penuh antusias, Alina segera bertanya, “Bagaimana? Bams kasih informasi apa?” Aksa menceritakan apa yang tadi Bams katakan, termasuk soal satu penculik yang belum ditemukan setelah keluar dari penjara.Mendengar cerita Aksa, Alina meremat jemarinya. Tatapannya begitu cemas dengan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan dari raut wajahnya.“Bagaimana ini? Kok bisa penculik itu hilang gitu aja?”Aksa mengembuskan napas kasar. Dia juga mulai mencurigai ada yang tak beres dan semakin waspada.Menatap Alina yang cemas, Aksa meraih telapak tangan Alina dan menggenggamnya erat saat dia berkata, “Bams sudah bergerak untuk mencari penculik itu, aku juga sudah memintanya mengecek informasi soal pengemis yang kamu ceritakan waktu itu.”Alina dibuat terkejut dengan ucapan Aksa. “Apa ada kemungkian
Pria pincang dengan satu mata cacat yang dicurigai Arlo sebagai pengemis mencurigaan, kini sedang melangkah pelan memasuki warung makan yang ada di area pasar tradisional. Mengedarkan pandangan sebelah matanya yang masih berfungsi normal, pria itu menjatuhkan tatapan pada seorang pria lain yang sedang menyantap makanan di sana. Pria itu melangkah menghampiri, begitu sampai di meja tempat orang yang dicarinya sedang makan, pria itu langsung mendudukkan tubuhnya. “Dito?” Pria yang sedang makan itu terkejut melihat temannya itu. “Beberapa hari tak terlihat setelah bebas, sekarang kamu muncul di sini,” kata pria dengan seluruh rambut dipenuhi uban itu. Sebelum kembali memasukkan makanan ke mulut, dia kembali bertanya, “Ada apa menemuiku?” Dito, pria pincang dengan satu mata cacat itu tersenyum tipis, setelahnya dia berkata, “Sepertinya kamu menjalani hidup dengan sangat damai setelah keluar dari penjara.” “Memangnya mau apa lagi, hidup tetap harus berjalan walau kita mantan narapidana
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments