Melinda merasa bingung dan mematung di tempatnya berdiri."Melinda?" Afgan segera mendekati Melinda sambil memegang pipinya yang terasa nyeri.Melinda masih berusah merakit potongan misteri mengenai hubungan yang ada di antara Adelia dengan Afgan."Aku tidak salah dengan? Kalian ... Kalian suami istri?" tanya Melinda dengan bingung.Afgan meraih tangan Melinda, tetapi wanita itu segera menepisnya dengan kasar. Seolah-olah dia merasa ditipu oleh kedua orang yang menatapnya dengan pemikiran masing-masing."Melinda, dengarkan aku dulu," ucap Afgan dengan lembut, sementara Adelia merasa api cemburu semakin membakar dirinya."Iya, kamu tidak salah dengar! Kami adalah suami istri dan kami baru saja menikah!" seru Adelia dengan mata menantang Melinda."Pria ganteng yang ingin kamu kejar itu adalah suami sahku. Maka kamu adalah pelakor!" seru Adelia sambil keluar dari meja resepsionis. Dia merasa harus memperjuangkan pernikahan ini daripada h
Adelia kembali ke meja resepsionis untuk menjawab panggilan. [Apa katamu? Edward Ofel?] [Iya, Mrs. Smule. Apakah ada yang salah?] [Cepat kamu tunjukkan jalan ke kamar presidensial suite. Dia adalah pemilik saham perkapalan terbesar dari Ofel group. Jangan sampai dia kecewa. Lupakan pencatatan administrasi apa pun!] [Ba-baik, Mrs. Smule] Adelia hendak menutup panggilan, tetapi masih terdengar suara dari seberang. [Layani dia dengan baik, atau bila dia kecewa, maka aku harus memecatmu] [Ba-baik,] Adelia menelan salivanya dengan cepat lalu segera berlari kembali ke lobby untuk membungkuk hormat kepada Edward Ofel yang masih memandangnya dengan wajah hangat. "Maaf, Tuan Edward. Kamar Anda sudah tersedia. Sa-saya akan mengantarkan Tuan sampai ke kamar Anda," ucap Adelia dengan gusar dan canggung. Pada saat itu juga Melinda mengandeng tangan Afgan masuk ke dalam hotel. Melinda tadi berlari tanpa mengambil tas miliknya sehingga mereka kembali ke hotel setelah berdamai. Afgan meliri
Bab 18 "Maaf," ucap Edward berusaha sopan. Degh! Tiba-tiba lampu lift menyala kembali, Adelia bernapas dengan lega. "Sudah menyala," ujarnya sambil melihat ke arah Edward. "Wajahmu memerah." Edward berkata sambil tersenyum. Dia merasa Adelia cukup menarik. "Afgan adalah suamimu dan kalian baru menjalani Pernikahan Paksa?" tanya Edward tiba-tiba. Adelia diam dan memilih tidak melihat ke arah Edward. Dia menatap layar tombol lift dengan gusar, dia merasa waktu berjalan sangat lama sekali sampai akhirnya lift itu sampai ke lantai presidensial suite. Ting! Pintu lift terbuka, Adelia merentangkan tangannya dengan sikap professional lalu membungkukkan tubuhnya sambil memegang kartu lift dan menyodorkannya kepada Edward. "Silakan Tuan Edward, ini adalah kartu elektronik untuk pintu lift. Semoga Anda betah dengan pelayanan yang kami sediakan," ucap Adelia dengan bahasa baku yang sopan. Edward masuk sambi
"Bagaimana bila aku mentraktirmu makan malam?" ucap Edward memecahkan keheningan di antara mereka.Adelia kembali menghapus air mata yang mengalir dengan buru-buru."Aku ingin pulang ke rumah saja," ucap Adelia dengan lirih.Saat tiba di depan rumah Afgan, Adelia turun dari mobil dengan berat hati. Dia berterima kasih kepada Tuan Edward untuk tumpangan yang diberikan olehnya.Sesaat hendak memutar tubuhnya, Adelia baru menyadari keanehan."Bagaimana kamu bisa tahu alamat dan mengantarku ke sini?"Edward tersenyum dengan hangat, "bukankah tadi sudah sangat jelas, kamu adalah istri yang baru menikah dengan Afgan, pewaris arogan itu."Edward terkekeh dengan ucapannya sendiri."Sudah cukup lama Aku dan Afgan saling mengenal."Adelia mengangguk lalu mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Sekuriti membuka pintu gerbang tinggi tersebut dan menyapa dengan sopan."Kamu tidak mengundangku masuk untuk sekedar minum kopi?" tan
Sama seperti pagi sebelumnya, Adelia sampai di hotel tempatnya bekerja dengan langkah lesu. Bagaimana pun dia harus tetap bekerja agar dapat melunasi hutang sang ayah yang masih belum lunas walau sudah menerima mahar yang cukup banyak.Mendengar instruksi dari CEO-nya bawah ada rapat kerja, Adelia langsung menuju ruangan tempat para hotelliers biasanya di-briefing untuk rapat tersebut.Adelia memasuki ruangan rapat dengan langkah ragu. Sudah ada beberapa karyawan di sana dan juga CEO, Mrs. Smule.Tanpa curiga, dia melihat sekeliling ruangan, mencari tempat duduk. Ketika pandangannya jatuh pada sosok duduk di tengah-tengah kursi rapat, hatinya hampir berhenti berdetak. Ada rasa terkejut yang begitu mendalam menghantamnya ketika menyadari bahwa orang itu adalah Afgan, suami yang membencinya."Afgan!?"Dia memandangnya dengan mata terbelalak, bibirnya terkatup rapat mencoba menahan kejutan dan kecemasan yang melanda hatinya.Pandangan mer
Melinda mengatakan dengan suara manja yang sengaja diperkeras agar dapat di dengar oleh orang lain juga, selain Adelia.Karyawan dan hotelier yang lain hanya tersenyum karena mereka tahu, Adelia adalah tokoh yang ingin diganggu Melinda, sehingga mereka memilih diam sebagai sikap professionalisme dalam bekerja.Melinda berkata dengan sombong, membuat Adelia kesal. Apalagi ketika tahu jika pemilik hotel itu adalah suaminya sendiri.Selain Melinda, belum ada yang tahu bahwa Afgan, sang pemilik hotel yang ganteng tetapi arogan itu adalah suaminya. Adelia mengepalkan tangannya erat-erat.Namun, Adelia tak bisa apa-apa karena pernikahan mereka pun rahasia, tak diketahui oleh orang-orang."Apa maumu, Melinda?" Suara Adelia terdengar meninggi. Tatapan tajam dilayangkan kepada Melinda.Mrs. Smule dan Afgan sudah selesai berbicara dan mereka kembali ke ruang rapat untuk mengambil berkas yang tertinggal.Merasakan suasana mencekam dari kedua wan
"Sayang, aku akan menjemputmu nanti sore sepulang kerja, maaf bila tidak dapat menemanimu makan siang."Suara yang dikenalinya membuat Adelia mulai merasa kesal lagi. Dia memilih berpura-pura tidak melihat. Adelia tahu bahwa Afgan dan Melinda sedang menuju ke arahnya."... tapi, aku ingin sekamar denganmu." Ucapan manja dari Melinda membuat darah Adelia semakin mendidih.Dengan ketus, dia keluar dari meja resepsionis dan sengaja melewati depan kedua sejoli yang membuatnya jijik itu dengan membawa sebuah kotak kardus yang berisi cukup banyak dokumen di tangannya."Kalian membuatku jijik. Pergilah mencari kamar bila tidak tahan lagi!" Adelia lalu melirik ke arah Afgan yang terlihat mulai terpancing amarah di matanya."Sebagai pemilik hotel, tentunya kamu mempunyai hak atas semua kunci kamar, hati-hati !" Adelia mendekati Afgan lalu setengah berbisik,"Pilih kamar yang tidak punya kamera pengintai!"Usai mengatakan demikian, Adelia terkekeh lalu
Adelia memandang Edward dengan tatapan penasaran. "Mengapa harus menginap sampai akhir pekan dan apa yang ingin kamu buktikan?" tanya Adelia.Edward memberikan senyuman hangat lalu menyeka sisa air mata di pipi Adelia dengan jempolnya."Aku tidak suka lihat wanita secantik kamu harus menangis seperti ini. Bagaimana bila aku menghiburmu dengan mentraktirmu makan malam? Hmm, kamu berhutang dua cangkir kopi untukku, bukan?"Edward memangku tangannya di dagu dengan tatapan hangat, membuat hati Adelia mulai berdebar. Dia berusaha menyimpan rasa canggungnya dengan membawa kardus karton menuju ke gudang.Edward membantu Adelia memasukkan kardus yang tadi dipegangnya ke dalam gudang. "Bagaimana dengan tawaranku? Jam berapa kita akan makan malam?"Adelia masih merasa tidak nyaman bila harus pulang di malam. Selama ini, pandangan Afgan kepadanya sudah sangat tidak baik, bagaimana bila dia masih pulang malam juga? Hal itu sudah pasti akan membuat Afgan lebih