Lampu kamar rumah sakit menyala redup, hanya menyisakan cahaya kekuningan yang menyorot wajah pucat Maureen di atas ranjang. Selang infus menempel di tangannya, menyalurkan cairan bening tetes demi tetesReinner duduk di kursi dekat ranjang, menatap sosok itu dengan mata yang sulit terpejam. Jemarinya meremas pelan rambut di tengkuknya, berusaha menenangkan diri yang nyaris meledak oleh rasa khawatir.Tadi dokter menyuntikkan obat penurun demam karena suhu tubuh Maureen sempat tinggi. Sekarang teman tersayangnya itu kembali terlelap setelah sadar hanya beberapa menit.Tatapan Reinnee lekat pada wajah tidur Maureen. Ada guratan sedih di wajah cantik itu.“Reen… kamu kenapa?” bisiknya khawatir, suaranya parau. Dia menyentuh punggung tangan Maureen, lalu mengecupnya dengan lembut.Beberapa saat Reinner diam hingga satu hembusan napas panjang lolos dari bibirnya. Dia sudah menghubungi Erland berkali-kali, tapi Erland hanya menjawab singkat."Maaf. Tolong jaga dia."Tiba-tiba terdengar de
Suara roda kereta yang bergesekan dengan besi rel terdengar seperti musik panjang yang mengiringi perpisahannya dengan Erland. Semakin jauh kereta melaju, lubang di hatinya kian membesar. Maureen duduk diam di dekat jendela, menatap kosong pada pemandangan yang tampak berkejaran diluar sana. Ekspresinya muram. Wajahnya pucat."Lucu sekali. Aku datang kesini untuk honeymoon, tapi yang terjadi malah...," Maureen menghembuskan napas panjang. Dadanya terlalu sesak untuk melanjutkan monolog batinnya.Dia menundukkan kepala. Kedua tangannya mengepal di pangkuan, meremas ujung bajunya erat-erat seperti orang sedang menahan sesuatu yang luar biasa perih. Air mata kembali mengalir."Kami tidak mungkin bersama...," rintihnya dalam hati.Kereta terus melaju, bergerak tanpa henti. Terasa seperti memaksa Maureen meninggalkan masa lalu, meski tidak ingin.Tiba-tiba, tangis seorang anak kecil memecah keheningan gerbong. Suara itu melengking, membuat beberapa penumpang menoleh. Maureen ikut mendongak
Suasana lobi hotel Marquisse sedang tidak terlalu ramai karena memang tidak dalam rangka hari libur.Di balik meja resepsionis, Lourdes berdiri tegak dengan wajah serius. Dia berusaha tampak profesional meski pikirannya sibuk memikirkan seputar insiden one night stand semalam.Telepon di meja berbunyi. Suara yang familiar langsung terdengar begitu Lourdes menyapa. "Hai, Lou. Ini aku."Lourdes langsung menegakkan punggung. Itu suara Ben, temannya yang bekerja sebagai salah satu karyawan bagian IT di hotel ini.“Halo, Ben. Sudah dapat?” tanyanya pelan, berusaha menjaga volume suaranya agar tak menarik perhatian orang-orang yang ada disekitarnya.Suara di seberang terdengar tergesa. “Cek ponselmu. Aku baru kirim sesuatu. Kamu bisa lihat sendiri.”"Tunggu," jawab Lourdes, langsung memeriksa ponselnya dan membuka kiriman yang dimaksud oleh Ben.Seketika alis Lourdes berkerut saat membuka file kiriman temannya. “Ini..."“Data yang kamu minta. Rekaman CCTV dari lantai resto dan koridor kamar
"Kadang kala sebuah perjalanan harus selesai lebih cepat karena suatu alasan," Maureen menjawab pertanyaan Lourdes dengan penuh makna, "tidak ada yang salah dalam kasus ini. Terima kasih atas pelayanan yang bagus di hotel ini." Ucapan itu seperti batu besar di lempar ke danau yang tenang. Maureen sudah tahu kejadian itu. Seketika batin Lourdes bergejolak. Emosinya membuncah. Empatinya sebagai sesama wanita mencuat tajam. Lourdes menggigit bibirnya, menatap Maureen seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi dia tidak berani. Khawatir hubungan Erland dan Maureen makin runyam saat dia salah bicara. "Hey! Wajahmu jangan seperti itu. Aku jadi tidak tega meninggalkanmu," canda Maureen seperti pada teman sendiri. Sama seperti Erland, hati kecilnya mengatakan Lourdes bukan wanita jahat. Air mata merebak tanpa bisa dibendung. Lourdes membungkukkan tubuh dalam-dalam. Air matanya menetes, jatuh ke lantai. "Maafkan saya, Nyonya. Apapun yang ada dalam pikiran anda tentang saya. Saya minta maaf,"
"Ya. Aku setuju," ucap Maureen sambil tersenyum getir.Erland menunduk lesu, bahunya lururh seperti pahlawan kalah perang. Sama-sama terluka, Maureen berinisiatif memeluk Erland yang berlutut .Dia mengusap kepala Erland dengan sayang. "Aku tau, kamu akan melakukan ini. Aku bangga kepadamu. Kamu adalah laki-laki yang baik, Erland," bisiknya, berusaha menenangkan dua hati yang sedang berantakan - hati Erland dan hatinya sendiri.Tidak menjawab, Erland memejamkan mata sambil mengepalkan kedua tangan erat-erat."Aku ingin terus bersama wanita yang aku cintai. Kenapa tidak bisa?" protesnya dalam hati.Meski begitu, yang keluar dari mulutnya tidak sama."Bagaimana denganmu kalau aku menikahinya?" desah Erland putus asa.Maureen mempererat pelukannya sebelum akhirnya dia menjawab sambil tersenyum."Aku akan pergi. Jangan khawatir. Aku baik - baik saja," dia mengusap kepala Erland dengan lembut, berusaha meyakinkan kalau dia tidak bohong, "Dan, aku akan selalu baik - baik saja," tambahnya pe
"Erland... kamu," panggil Maureen, suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar. Dia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.Perasaan ngeri menyergap begitu kuat, menyesakkan dada. Tubuhnya bergetar hebat, sementara matanya terasa memanas.Maureen mengerjapkan mata berulang kali, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di sana."Ya Tuhan... andai saja aku boleh memohon. Tolong aku. Jangan biarkan aku mengalami ini," doanya dalam hati. Dia merasa tidak sanggup melalui semua ini—tapi harus."Maureen..." suara serak Erland memecah keheningan, "peluk aku. Please..."Erland merentangkan tangan, memohon dengan sungguh-sungguh pada Maureen—wanita cinta pertamanya.Detik ketika tangan itu terentang, detik itu pula Maureen menghamburkan diri ke pelukan Erland. Suaminya. Lelaki yang dia cintai lebih dari siapa pun.Air mata akhirnya mengalir dengan deras. Kedua tangannya memeluk Erland kuat-kuat, seakan ini adalah pelukan terakhir mereka.Erland membalas pelukan itu sama eratnya. Tangannya me