"Kenapa? Bagaimana kalau kita pulang?" bisik Erland, tangannya semakin liar menjelajah. "Kita lanjutkan pestanya di rumah. Berdua saja...""Huh!" Maureen kesal karena Erland sama sekali tidak peka kalau perutnya lapar."Bosan ya? Yuk, pulang." Bukannya berhenti, Erland malah mengecup pundak Maureen, mesra."EHM!" Tentu saja bukan hanya Maureen, tapi Reinner juga merasa terganggu dengan kelakuan Erland.Berhasil! Deheman Reinner menarik perhatian Erland. Dia menoleh, dan menatap tajam pada Reinner seakan berkata, "Apaan sih?"Maureen ikut menoleh, dan wajahnya merah padam saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Reinner."Sebaiknya kamu turuti ajakan suamimu untuk pulang, Reen. Sorry, ini demi kebaikan bersama. Aku khawatir akan terjadi hal yang diinginkan oleh Erland disini.""Rein...," desisnya, tanpa bisa melanjutkan kalimatnya. Sungguh dia malu sekali karena 'aksi' Erland di belakang punggung ternyata disadari oleh Reinner."Kamu benar, Tuan Alston. Lihat wajah istriku merah s
"Maaf. Begitu sampai, aku langsung sibuk. Rencananya besok aku akan menemuimu." Reinner membalas pelukan Maureen, tapi dengan segera melerai pelukan mereka."Datang bersama suami tercinta, hm?" tanya Reinner, menahan diri untuk memuji Maureen yang mempesona malam ini."Tuh! Orangnya disana. Aku diabaikan." Maureen mencebikkan bibir kearah Erland dan gerombolannya, seperti gadis kecil yang sedang mengadu tentang temannya yang nakal."Businessman butuh relasi. Erland sedang membangun relasi sebanyak mungkin," hibur Reinner dengan sabar, sebisa mungkin mengurangi sentuhan fisik sebanyak yang dia bisa."Relasi sih relasi. Tapi, menurutku, dia itu tidak bertanggung jawab. Dia yang mengajak, tapi dia pula yang membiarkan aku kelaparan," keluh Maureen. Hidungnya mengendus aroma gurih fish and chip bercampur jamur panggang membuat Maureen meneteskan air liur.Reinner tertawa pelan melihat ekspresi Maureen yang menggemaskan. "Jadi, sebenarnya kamu kesal karena diabaikan? Atau, karena kelaparan
"Ada apa denganmu? Kamu terpesona padaku? Aku cantik kan?" Maureen memberondong Erland dengan pertanyaan. Semuanya diucapkan gadis itu dengan sangat percaya diri. Erland berdehem beberapa kali. Dia menatap Maureen tak berkedip, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa menyembunyikan kekagumannya. "Can-cantik... cantik sekali," pujinya dengan canggung. "O'ya?" pekik Maureen girang. Hatinya seakan terbang ke luar angkasa. Kalau tidak malu, mungkin dia sudah salto atau loncat-loncat saking senangnya. Erland sangat pelit pujian. Kalau sampai dia memuji, berarti itu yang sebenarnya. "Ayo masuk!" ajak Erland, ingin menyudahi kecanggungan yang tiba-tiba menyeruak dari dalam diri. "Ayo," angguk Maureen sambil berbalik badan, dan mata Erland langsung membelalak lebar. "Sial! Harusnya aku tidak memilih baju ini untukmu!" gerutu laki-laki itu, menyalahkan diri sendiri. Meski rambut Maureen dibiarkan tergerai, ternyata masih kurang panjang untuk menutupi pungggungnya yang terbuka. Erlan
Sesaat Erland berdiri canggung. Jujur hatinya bergetar setiap melihat wanita yang sudah melahirkannya ini. "Kalau Ibuku datang berkunjung, pasti aku akan senang sekali." Suara Maureen terngiang di kepalanya, seakan mengingatkannya untuk memperlakukan Lillian dengan lebih sopan. “Terima kasih sudah datang, Nak," ucap Lillian akhirnya. Suara lembutnya menyusup masuk ke telinga Erland, lalu merasuk hingga ke dalam hatinya. Terasa hangat dan tulus. "Aku kesini karena mengantar Maureen. Kalau bukan demi dia, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki kesini," ucap Erland dengan nada tajam. Ah, lagi-lagi Erland mengeraskan hati. Dia sedikit berbohong pada Lillian, padahal Maureen tidak pernah mengusulkan untuk datang ke Oddelia House. Ini semua murni idenya karena melihat rancangan Lillian sangat pas di tubuh Maureen. Lillian tersenyum penuh pengertian, tatapannya teduh saat berkata, "Apapun alasanmu datang, aku tetap berterima kasih atas kunjungannya. "Aku ada urusan penting," jawab
"Dia mau datang kesini saja, sudah sangat bagus," ketik Lillian di ponselnya. Satu tetes air mata meluncur saat dia mengirimkan pesan pada Marco, orang yang selama ini selalu memberikan informasi tentang puteranya.Wanita itu duduk dengan anggun di ruangan yang letaknya tepat bersebelahan dengan ruang dimana Erland dan Maureen berada. Matanya tak bisa lepas dari layar CCTV besar yang menampilkan suasana ruang fitting utama. Dari layar itu, setidaknya dia bisa lebih lama melihat puteranya.Dia mengerjapkan mata supaya pandangannya tidak kabur. Tidak hanya rindu tapi juga ada haru menyesakkan dada Lillian."Ini kabar baik, Nyonya. Sepertinya Nona Maureen membawa kebaikan untuk Tuan Muda. Akhir-akhir ini, Tuan Muda juga lebih fokus bekerja dan tidak pernah pergi ke club malam," balas Marco, sekaligus menceritakan kabar baik tentang Erland. "Dia kesini sebagai pelanggan, bukan untuk menemuiku. Meski begitu aku sudah senang sekali," tambah Lillian. Sudah bertahun-tahun Erland menjauh dari
"Boleh aku menciummu?" bisik Erland dengan suara serak."Eh?" Maureen mendongak kaget. Erland adalah tipe lelaki yang melakukan apa pun sesuka hatinya, tapi sekarang dia minta ijin untuk menciumnya."Boleh?" tanya Erland lagi, menarik tubuh Maureen lebih merapat hingga tubuh bagian depan mereka saling menempel."Eeerr.. Erland?" lirih Maureen, sedikit menjauhkan badan, tapi tidak bisa karena pelukan Erland terlalu kuat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah sedikit memalingkan wajah.Kepala Erland menunduk, menghirup aroma shampoo Maureen yang lembut. Tangannya merayap di punggung Maureen yang terbuka."Oh, Erland!" pekik Maureen. Dia menarik napas, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar tak terkontrol. Gelenyar-gelenyar aneh merambati tubuhnya tanpa bisa dicegah."Kenapa? Tidak boleh?" bisik Erland didekat telinga Maureen. Tangan satunya mengarahkan wajah Maureen kepadanya dengan tangan yang lain menahan tubuh sang istri supaya tidak menjauh darinya.Selanjutnya, Erland mu