Dia masih tetap dalam diamnya, meski Rich berkali-kali memanggil namanya, Jovanka belum juga membuka mata. Rich yang sudah sangat khawatir pun tak bisa membiarkan Jovanka seperti ini di villa. Gadis itu butuh pertolongan."Siapkan pakaiannya, cepat! Dia harus dibawa ke rumah sakit," perintahnya pada pelayan. Rich sangat kalut dan berdiri, bersiap akan keluar. Dia tak mungkin menyaksikan mereka mengganti pakaiannya dengan yanng baru."Aku tidak mati, Tuan Cullen, aku tak butuh dokter. Tinggalkan saja aku, aku ingin sendiri."Tiba-tiba gadis itu berbicara membuat Rich terhenti di dekat pintu. Dia berbalik, melihat Jovanka yang masih setia dengan mata tertutup. Tapi bukankah baru saja dia berbicara?Telinganya tidak salah kan? Gadis iru baru saja berbicara dan memanggilnya dengan sebutan 'Tuan'. Rich tidak mungkin mengigau saat dirinya sadar seratus persen. Tapi, kenapa mata Jovanka masih tertutup rapat?"Jovanka, apa kau berbicara barusan?" tanya Rich, dia pandangi wajah gadis itu se
Rich tidak kembali ke rumah malam itu. Mengingat keadaan Jovanka yang tidak stabil membuatnya tetap diam di villa untuk mengawasi sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Toh, Cataline pergi mengunjungi keluarganya, jadi tak akan ada masalah jika pun dia tak pulang ke rumah.Ketika pagi datang, Rich sudah rapi dengan pakaian kantor. Malam tadi dia menyuruh beberapa helai diantarkan ke villa, karena tak sempat pergi berganti. Dia duduk di meja makan dengan menu sarapan yang sudah disiapkan, tapi Rich belum menyentuhnya sama sekali."Dia belum bangun?" tanya Rich, saat pelayan yang pergi mengecek Jovanka sudah datang lagi."Sudah, Tuan, tapi tampaknya Nona Jovanka belum mau turun. Dia berkata akan sarapan setelah Anda pergi.""Kenapa?" Alis Rich mengerut. "Dia tak mau melihatku di sini?" tanyanya kemudian."Maaf, Tuan, Nona Jovanka tidak mengatakan yang lainnya."Menggerdik bahu, Rich mulai menikmati sarapannya. Dia tak ingin berdebat dan memaksa Jovanka, sehingga gadis itu menjadi tak nya
"Angkat wajahmu, Jovanka!"Dia memberi semangat pada dirinya, saat memasuki halaman kampus yang luas. Jovanka sudah berjanji akan mengubah dirinya yang menyedihkan. Dia membalas tatapan orang-orang padanya, tak akan bida biarkan terus menunduk saat bertemu dengan orang lain. "Pagi, Nona Spencer!" seru Jovanka tidak terlalu keras, raut wajah dan senyumnya cukup untuk menunjukkan bahwa Jovanka bersemangat.Sarah Spencer tidak menjawab sapaan sahabatnya. Dia justru dibuat bingung oleh Jovanka yang sangat berbeda hari ini.Jika biasanya dia datang ke kampus dengan lemas dan duduk tak berekspresi, hari ini bibir Jovanka tersenyum manis. Meski tidak begitu lebar, sungguh itu sangat manis sampai Sarah berpikir itu bukan Jovanka. "Hari apa ini? Apakah hari ulang tahunmu?" tanya Sarah, tapi kemudian dia ingat Jovanka bukan orang yang peduli dengan hari ulang tahun."Tidak. Kenapa? Kau ingin memberiku kado?"Oke! Anggap lah mungkin dia tengah berbahagia. Tapi apa yang dia katakan tadi? Kado?
"Halo, Kate, kau sudah tiba di rumah keluargamu?" Setelah mempertimbangkan banyak hal, Rich akhirnya mengangkat panggilan itu. Dia akan mencari alasan jika pun Cataline sudah mengetahui Jovanka memeriksakan kehamilan di sana. Toh, Rich bisa berpura tidak tahu dan membuat alasan lainnya. Tapi jika dia sampai mengabaikan telepon, Cataline pasti mengomel dengan berbagai pertanyaan penuh tuduhan. "Hai, Honey," jawab Cataline di ujung telepon, tampaknya dia sangat senang. "Ya, aku sudah tiba sejak subuh tadi, tapi maaf baru bisa menghubungimu. Aku sangat lelah, aku tidur sangat lama di samping ibuku." Syukurlah, tampaknya Cataline tidak tahu apa-apa tentang Jovanka, jadi Rich sedikit lega. Dia berlari menuju ruangan dokter di mana mereka merencanakan bayi tabung saat itu. "Rich, kau sedang di mana? Aku mendengar kau seperti terburu-buru." "Oh, ya, begitulah." Rich gugup sejenak, tahu saja istrinya kalau dia tengah berlari. "Sebenarnya aku akan makan siang dengan klien, aku sudah terla
"Rich, kau...""Apa yang kau lakukan di sini, Kate?" Rich memotong perkataan istrinya. Terlalu lama, Cataline masih mematung dengan mulut yang tak juga sampai kata-katanya. Dia tidak sabar ingin tahu kenapa istrinya itu ada di ruangan dokter."Bukankah tadi kau berkata di rumah keluargamu? Kenapa kau ada di sini?" sambung Rich tak sabar."Honey, aku..." Masih terlihat gugup, Cataline menghampiri suaminya. "Sebenarnya aku-" Dia sangat bingung mencari alasan, sampai harus memutar otak. "Rich, sebenarnya aku tidak pergi ke rumah orang tuaku. Aku tengah melakukan program agar bisa segera mengandung, seperti yang kukatakan malam itu."Lolos. Kate akhirnya bisa memberikan alasan pada suaminya. Dia pasang wajah menyedihkan itu untuk mencari simpatik dan rasa iba dari Rich."Aku tahu kau masih tak bisa melupakan janin kita, jadi aku ingin segera mengandung. Aku tidak ingin membuat kau sedih, jadi aku merencanakan ini sendiri. Tadi malam... aku menginap di sini, benar kan, Dokter?" ucapnya, m
"Kate... apa yang kau bicarakan?" "Bayi itu tak boleh lahir, Rich. Kita harus menggugurkannya, apa kurang jelas ucapanku?"Cataline akan pergi mencari Jovanka, tapi Rich menghentikannya."Tidak, Kate, kita tak bisa melakukannya." Wajah Cataline pun merah padam dan dia membentak Rich dengan marah."Kau ingin memiliki anak dari gadis itu? Rich, bagaimana bisa kau tidak memikirkan perasaanku?"Kenapa Cataline menjadi marah padanya? Dokter di depan mereka lah yang melakukan kesalahan, seharusnya Cataline membentak dokter yang tak tahu malu itu.Oke, dia cukup paham perasaan Cataline, tapi di sini juga ada perasan Rich yang seharusnya Cataline jaga."Aku tidak mau, Rich. Aku tidak rela gadis itu membesarkan anakmu. Mari kita gugurkan kandungannya agar tak ada pengganggu yang mengusik hidup kita!"Semakin dia mendengarkan perkataan Cataline, semakin Rich marah pada dokter yang membuat masalah ini menjadi berantakan."Aku akan membuat kau menanggung akibat perbuatanmu. Meski kau pergi ke
Sampai bosan Jovanka menunggu di dalam mobil Rich, pria itu belum juga terlihat batang hidungnya. Dia terus melihat ke pintu keluar Rumah Sakit."Kenapa dengannya? Bukannya dia ingin bayinya lahir sehat? Kenapa dia menyuruhku turun sebelum melakukan pemeriksaan?"Aneh. Kata itu yang terlintas di pikiran Jovanka, oleh sikap Rich kali ini. Dia ingin bayi yang sehat tapi tidak mengizinkan Jovanka pergi memeriksakan kandungan. Setelah sekian lama, akhirnya orang yang dia pikirkan terlihat di ujung sana. Rich berjalan cepat menuruni tangga Rumah Sakit. Tapi, wajahnya terlihat tegang seperti tengah menahan amarah.Perasaan Jovanka tidak melakukan kesalahan, dan mereka sudah sepakat untuk menjalani kerja sama ini dengan baik. Lantas, apa lagi kali ini yang membuatnya marah? Banyak pertanyaan di benak Jovanka, yang tak mampu dia keluarkan saat pria itu duduk di sebelahnya."Ke villa," titah Rich, mobil yang mereka tumpangi pun mulai bergerak.Takut-takut Jovanka melirik pria itu di sebelahn
"Rich, mari bicara."Ketika Rich memasuki kamar, Cataline sudah berdiri menunggunya. Matanya sembab, tampaknya Cataline menangis sejak lama. Rich ingat istrinya meraung di ruangan dokter saat dia pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin, Cataline masih menangis sampai dia tiba di rumah, terlihat dari jejak air di bulu matanya yang lentik."Jangan hanya diam. Bukankah kau yang berkata kita akan membicarakan ini di rumah?" kata Cataline lagi, mendesak Rich yang diam mematung."Aku sudah mengatakannya Cataline, aku tidak sanggup membunuh janinku sendiri."Napas berat Cataline terdengar bersama wajahnya yang kembali menunjukkan amarah. Rich sudah menduga istrinya akan mengamuk seperti tadi."Apa susahnya? Itu masih sangat kecil bahkan bentuknya belum jelas terlihat, kenapa kau tidak bisa? Rich, pikirkanlah nasib rumah tangga kita dengan kehadiran bayi itu. Aku tidak akan pernah menerimanya!"Lihat, Cataline kembali berapi-api. Kepulangannya ke rumah bukan untuk memperdebatkan tentang bayi i