Kemala yang sedari tadi merasakan sesak di dalam hatinya, tak lagi bisa menahan lebih lama. Di balik tenda biru yang megah, ia menangis dalam diam. Namun diingatnya kembali perkataan Hartono, dia pun menegaskan sekali lagi dalam hatinya, “Tak ada alasan untuk menangis, hidupku terlalu berharga untuk meratapi nasib sebagai istri yang dicampakkan.”
Wanita berpenampilan anggun itu bersiap untuk menyalakan mesin motor maticnya. Pipinya yang basah sudah mengering, bahkan riasannya pun telah dia perbaiki. Sungguh, ia tidak ingin terlihat menyedihkan walaupun sebenarnya memang hancur.
“Rupanya ada tamu istimewa toh,” sapa seorang wanita yang suaranya terdengar tidak asing di ruang dengar Kemala.
Sebenarnya sempat kaget tapi untungnya Kemala segera dapat mengendalikan diri. Sehingga ia bisa bersikap tenang. Tanpa menampakkan rasa marah apalagi sedih.
Wanita ular itu mencibir dengan pandangan sinis kepada Kemala, “Hari gini masih aja bawa motor butut.”
Kemala masih diam dengan ekspresi datar, siapa yang tahu jika di dalam hatinya sangat bergejolak. Namun ia tak akan membuang energi untuk membalas perkataannya. Sesekali Kemala tersenyum tanpa melihat wajah licik yang membuatnya sangat muak.
Kemudian wanita itu memberi kode pada salah seorang kerabatnya sambil berkata, “Cepat bungkuskan semua jenis makanan yang ada di dalam. Saya tidak mau jika kami dicap sebagai orang SUSAH.”
Kemala masih tak mengatakan apapun. Sampai orang yang diutus benar-benar datang membawakan kantong plastik berisi beberapa bungkus makanan, Kemala sama sekali tak mengubah posisinya sedikit pun. Tetap di atas motor matic bututnya.
“Langsung berikan saja, saya tidak sudi bersentuhan dengan wanita pembawa sial seperti dia, takut nular miskinnya,” ketusnya, “Kasihan sekali dia pasti belum pernah makan makanan seenak itu.” Wanita paruh baya itu sengaja menyindirnya, sementara orang suruhannya menggantungkan bungkusan plastik di salah satu stir motor Kemala karena ia tak kunjung menerimanya.
“Maaf, saya harus kembali untuk memeriksa persediaan makanan di dalam,” pamit wanita yang dimintanya membungkuskan makanan untuk Kemala, ia pun malas melayani wanita yang merasa paling benar itu.
“Ya sudah, silahkan! Kalau mereka tanya, bilang saja saya masih ada urusan.” Wanita pembawa makanan pun pergi.
Dengan panjang lebar, wanita bernama Yana itu berceloteh membanggakan diri. Semua kalimat yang dikatakannya hanya berisi kesombongan sekaligus hinaan untuk Kemala. Seolah hanya dirinya yang paling mampu.
“Permisi, Bu! Saya minta sedekah, saya sudah dua hari belum makan. Saya tidak punya pekerjaan.” Seorang tua renta menghampiri mereka berdua dengan suara agak gemetar.
Wanita tua itu tampak benar-benar lapar. Melihatnya membuat Kemala merasa iba. Kemudian disodorkannya bungkusan berisi makanan yang ada di salah satu stir motornya seraya berkata, “Nek, ini untuk nenek. Semoga bermanfaat.”
Melihat Kemala bersikap seperti itu, wanita sombong itu pun melotot ke arahnya sambil berkacak pinggang. Dia merasa sangat marah dan kesal karena Kemala memberikan makanan yang diberikannya kepada orang lain. Bahkan menurutnya nenek tua itu tak pantas mendapatkannya.
Mungkin kemarahannya yang sedang memuncak tak lagi dapat ia kontrol sehingga terlontar kalimat yang tidak pantas dari lidah tajamnya, “Hey, nenek tua! Kalau mau makan kerja, jangan meminta-minta! Najis saya melihatmu di sini. Enyahlah! Kamu membuat saya ingin muntah.”
“Astaghfirullah hal adziim ...,” ucap Kemala lirih, dilihatnya sosok tua yang tengah menjauh pergi dari hadapan mereka.
Dalam benaknya, Kemala menyimpan kemarahan yang semakin menumpuk pada wanita di hadapannya. Dasar wanita iblis, tidak pernah bersimpati pada nasib orang lain. Bahkan dirinya selalu merasa lebih baik. Padahal selalu ada langit di atas langit. Dan yang pantas untuk sombong hanyalah Allah, bukan manusia.
“Mengapa kamu memberikannya kepada nenek tua renta itu? Dia tidak pantas makan makanan seperti itu.” Masih berkacak pinggang, “Kamu selalu tidak pernah menghargai pemberian orang lain. Sudah miskin, sombong.” Hinaan demi hinaan menghujam relung hati Kemala.
Dengan sikap yang tenang, Kemala pun menimpali perkataan wanita di hadapannya, “Tak ada yang tak pantas atas apa pun. Anda tidak berhak menghakimi atau menentukan siapa yang pantas dan tidak. Justru menurut saya andalah yang patut dikasihani daripada nenek tua tadi.”
“Tidak kusangka kamu berani berbicara seperti ini padaku, kamu lupa siapa aku,” sinisnya. “Dasar wanita pembawa sial!” umpatan serupa sudah sering terlontar dari mulut busuknya.
“Tentu saja saya tidak lupa. Bukankah anda wanita terhormat yang paling kaya, paling benar sekaligus paling menyedihkan.” Wajah wanita itu merah padam, setelah merasa dipuji oleh Kemala lalu seketika itu pula ia direndahkan.
Dada wanita itu menjadi kembang kempis akibat menahan emosi. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Kemala dapat membalas perkataannya. Sebab yang dia tahu Kemala hanya bisa diam dan menangis. Ternyata wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah Kemala yang berbeda.
Dan dia pun mengamati sikap Kemala sejak baru memasuki tenda hingga detik ini. Wanita muda itu dengan tegar dan sangat percaya diri melangkah hingga menyelamati kedua mempelai dengan sikap tenangnya. Tak tampak kemarahan apalagi kesedihan pada wajahnya. Entah bagaimana dia melakukannya. Bahkan mungkin wanita lain tak akan sanggup melihat tenda megah itu apalagi masuk ke dalamnya.
Namun Kemala berbeda. Wajah cantiknya tetap terangkat tanpa rasa takut. Dalam hatinya, wanita bersanggul dengan kebaya berwarna hijau itu menjadi kagum walaupun dia enggan menampakkannya pada Kemala. Dia tidak ingin Kemala merasa menang.
“Aku tidak pernah salah. Dia yang salah karena dia tidak pernah membawa keberuntungan.” Berkali-kali wanita berkebaya itu meyakinkan dirinya sendiri di dalam hatinya bahwa apa yang ia lakukan benar.
Sementara Kemala tanpa berkedip, masih mengamati setiap detail wajah licik di hadapannya. “Aku tahu kamu terkejut, ternyata Kemala yang kamu kenal tidak selemah yang kamu kira,” batin Kemala.
Kemala tak ingin membuang waktu, dia pun kembali menaiki motor lalu menstarternya, hal yang tadi sempat dia urungkan. Sekali lagi dia menoleh ke arah wanita licik yang masih mematung di sebelah kiri motornya, “Selamat berbahagia, Ibu. Semoga kali ini menantumu tidak menjadi PEMBAWA SIAL.” Sambil tersenyum sinis lalu ia pun berkata lagi, “Oh ya, saya belum bercerai dengan putra kesayangan Ibu. Jadi saya masih istri sahnya. Bahkan saya bisa menuntut Herdian karena berani menikah secara diam-diam tanpa ijin dari saya. Sepertinya bukan saya yang lupa tapi Ibu yang mulai pikun dengan status saya. Ups ... maaf, faktor ‘u’ tidak pernah salah.”
Bagai disambar petir, wajah Yana semakin memerah. Dia tak lagi bergeming hingga Kemala pergi meninggalkannya seorang diri. Amarah pun tak lagi mampu memerintah otaknya untuk mengungkapkan rasa kesalnya. Dia seperti sedang bermimpi buruk di siang bolong.
“Kamu berani sekali, Kemala. Akan kusuruh putraku agar segera menceraikanmu. Dasar jalang pembawa sial!” makinya dalam hati, "Kamu tak akan pernah menduga apa yang bisa kuperbuat padamu setelah ini."
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b