Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.
Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.
“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.
Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”
Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Apakah ada kabar terbaru dari suamimu?” tanya Hartono pada Kemala, putrinya.“Belum, Yah.” Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan dengan air muka sedih.“Sebenarnya kalian ada masalah apa hingga suamimu pergi tanpa pamit,” selidik Hartono, pria itu duduk di kursi kayu di ruang tamu anaknya. “Kalian bertengkar?” Lagi-lagi Kemala hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun.Pria tua itu menarik napas sambil menengadah melihat langi-langit rumah putrinya yang dihiasi sarang laba-laba. “Bahkan kamu tidak merawat rumahmu dengan baik. Ayah tahu dia suamimu, tapi akan sangat merugi jika kamu terus saja meratapi nasib seperti ini.”Kemala tertunduk malu atas kritik yang dilontarkan sang ayah padanya. Bagaimana mungkin dia tidak hancur, orang yang selama ini lebih dia utamakan daripada ayahnya, seketika menghilang tanpa kabar. Terlebih pria itu pergi tanpa ada masalah berarti.“Coba lihat, laba-laba saja tak pernah putus asa meskipun rumahnya kita hancurkan berulang kali. Jadi, meng
Kemala yang sedari tadi merasakan sesak di dalam hatinya, tak lagi bisa menahan lebih lama. Di balik tenda biru yang megah, ia menangis dalam diam. Namun diingatnya kembali perkataan Hartono, dia pun menegaskan sekali lagi dalam hatinya, “Tak ada alasan untuk menangis, hidupku terlalu berharga untuk meratapi nasib sebagai istri yang dicampakkan.” Wanita berpenampilan anggun itu bersiap untuk menyalakan mesin motor maticnya. Pipinya yang basah sudah mengering, bahkan riasannya pun telah dia perbaiki. Sungguh, ia tidak ingin terlihat menyedihkan walaupun sebenarnya memang hancur. “Rupanya ada tamu istimewa toh,” sapa seorang wanita yang suaranya terdengar tidak asing di ruang dengar Kemala. Sebenarnya sempat kaget tapi untungnya Kemala segera dapat mengendalikan diri. Sehingga ia bisa bersikap tenang. Tanpa menampakkan rasa marah apalagi sedih. Wanita ular itu mencibir dengan pandangan sinis kepada Kemala, “Hari gini masih aja bawa motor butut.” Kemala masih diam dengan ekspresi
Sesampainya di rumah, Kemala segera masuk lalu mengunci dirinya di dalam kamar. Sebenarnya dia tak tahan dengan sikap Yana serta mengutuki perbuatan Herdian. Namun itulah kenyataan yang harus dihadapinya sekarang. Suami yang dua bulan lamanya tiba-tiba menghilang ternyata menikahi wanita lain. Dan dia menghadiri pernikahan terkutuk itu dengan keadaan sadar. Di dalam kamar berukuran 3x3 meter itu dia menangis sejadi-jadinya. Dalam tangisan itu dia menyesal atas semua yang terjadi antara dirinya dan Herdian. Mengapa dia tidak dapat mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan suaminya. Seharusnya dialah yang paling mengerti bukan Yana. “Mas, mengapa kamu melakukan ini padaku!” pekiknya dalam hati, sambil membuka lembar demi lembar album foto pernikahannya. Angannya melayang jauh ke beberapa tahun silam saat malam pertama mereka. Di hari dan bulan yang sama, mereka melangsungkan pernikahan secara sederhana di rumah orang tua Kemala. “Saya terima nikah dan kawinnya, Kemala Larasati Bin
Baik Kemala ataupun Yana masih tidak saling berbicara sejak beberapa detik yang lalu. Kemala sedang mengamati gerak gerik Yana sementara mertuanya itu sedang berpikir keras untuk membalas semua hinaan yang terlontar dari mulut wanita yang masih berstatus menantunya itu. Sebenarnya Kemala bisa saja mengusirnya tetapi ada hal yang ingin Kemala ketahui dari Yana. Selain itu rumah yang ditempati Kemala, sebagian uangnya dari pemberian Yana kepada Herdian yang saat itu hanya milik Kemala. “Sebaiknya aku bersiap,” gumamnya sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Kemala beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, sebelum itu dia membawa masuk tiga kotak kue ke dalam kamarnya lalu menguncinya. Agar Yana tak bisa merusak pesanan kuenya sepeninggal Kemala. Wanita cantik itu selalu menyambut pelanggannya atau siapapun tamu yang datang dengan penampilan yang bersih dan rapi. Itulah salah satu ajaran yang ditanamkan oleh ibunya sejak ia kecil. Untuk me