“Apakah ada kabar terbaru dari suamimu?” tanya Hartono pada Kemala, putrinya.
“Belum, Yah.” Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan dengan air muka sedih.
“Sebenarnya kalian ada masalah apa hingga suamimu pergi tanpa pamit,” selidik Hartono, pria itu duduk di kursi kayu di ruang tamu anaknya. “Kalian bertengkar?” Lagi-lagi Kemala hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun.
Pria tua itu menarik napas sambil menengadah melihat langi-langit rumah putrinya yang dihiasi sarang laba-laba. “Bahkan kamu tidak merawat rumahmu dengan baik. Ayah tahu dia suamimu, tapi akan sangat merugi jika kamu terus saja meratapi nasib seperti ini.”
Kemala tertunduk malu atas kritik yang dilontarkan sang ayah padanya. Bagaimana mungkin dia tidak hancur, orang yang selama ini lebih dia utamakan daripada ayahnya, seketika menghilang tanpa kabar. Terlebih pria itu pergi tanpa ada masalah berarti.
“Coba lihat, laba-laba saja tak pernah putus asa meskipun rumahnya kita hancurkan berulang kali. Jadi, mengapa kita sebagai manusia yang berakal dan berilmu harus hancur hanya karena suatu hal,” sindir Hartono.
Kemala merasa tertampar hebat oleh kalimat terakhir Hartono. Mungkin benar, selama hampir satu bulan Kemala hanya membuang-buang waktu meratapi kesialan yang menimpanya. Seolah waktu terhenti, tak ada pencapaian apapun yang diperolehnya. Dan sejak hari itu, Kemala bertekad untuk bangkit.
_______
“Mala, masih ingat dengan diriku?” Suara seorang wanita menyapanya melalui panggilan seluler.
Beberapa kali Kemala menebak nama beberapa teman yang dia kenal. Ternyata suara itu milik seorang teman lamanya. Pada akhir pembicaraan, tiba-tiba wanita itu menyinggung soal Herdian. “Ternyata kamu pindah ke daerah Tegal Besar ya, aku sempat melihat Herdian di sana.”
Apakah Kemala tidak salah mendengar? Temannya itu bilang bahwa dirinya melihat Herdian di daerah sekitar tempat tinggalnya. Padahal sebelumnya mereka tidak punya kerabat ataupun sanak keluarga di daerah tersebut. Anehnya lagi, wanita yang tak lain merupakan teman kuliahnya itu juga mengatakan hal lain. “Sekarang aku kan udah tahu nih, kalau kamu tinggal di dekat rumah aku. Masa kamu gak ada mengundang aku hadir di pestamu?”
Undangan? Pesta? Kemala sama sekali tidak mengerti apa yang tengah temannya katakan padanya sejak tadi. Tanpa menampik semua yang dikatakan teman lamanya, Kemala tetap bersikap tenang. Dia sama sekali tidak panik apalagi gelisah.
“Baiklah, Kemala. Sampai jumpa, tolong beri kabar kalau undangan untukku sudah siap,” pungkas wanita yang sedang dalam panggilan telepon dengannya.
“Oke. Bye!”
Kemala yang sekarang berbeda dengan Kemala yang dulu. Kemala yang dulu, hanya bisa pasrah, menangis dan lemah. Namun kini sudah berubah, Kemala menjadi wanita tangguh yang tegar. Semua berkat kalimat pedas Hartono padanya. Sebuah kritik yang membangunkan semangatnya. Sehingga dia mampu terlepas dari belenggu pernikahan kejam yang ia jalani.
Saat ini, Kemala tengah disibukkan oleh berbagai kegiatan positif yang digelutinya. Dari seorang ibu rumah tangga biasa, Kemala membuat dirinya mandiri dengan membuka bisnis kecil yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Namun tidak mudah baginya untuk sampai di titik ini.
Satu hal yang membuat Kemala sangat bersyukur atas kesibukannya saat ini. Dia berhasil membuang jauh-jauh pikiran tentang Herdian Hadinata. Suami yang meninggalkannya dua bulan yang lalu.
Apakah sebaiknya aku mendatangi tempat itu? Kemala bertanya pada dirinya sendiri setelah mendengar banyak tentang Herdian. “Iya. Aku harus pergi. Aku harus datang ke tempat itu!” Secara refleks dia mengatakan apa yang tengah ia pikirkan, tatkala seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
“Ada apa?” tanya seorang pria tua yang baru saja memasuki rumahnya.
“Maaf, Mala hanya sedang tidak fokus,” ucapnya pada Hartono. “Tidak ada apa-apa, Yah!” Kemala memutar badan menghadap kepada Hartono yang baru saja memasuki rumah. “Ayah sudah makan? Makan bareng Kemala, yuk! Kebetulan, tadi Kemala beli makanan kesukaan ayah.”
Keduanya pergi ke ruang makan sederhana di rumah Kemala. Ayahnya, Hartono memang tinggal tak jauh dari rumah tempat tinggalnya. Sesekali pria berumur enam puluh tahun itu mengunjunginya di waktu senggang. Ibu Kemala sudah lama meninggal, sejak Kemala masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Beliau meninggal akibat kanker yang dideritanya.
Dan sejak menikah dengan Herdian, Kemala tinggal di rumah yang mereka beli dengan KPR. Di sebuah komplek perumahan yang juga masih satu kelurahan dengan rumah Hartono. Sekarang Kemala memanfaatkan rumahnya juga untuk bisnis kecil-kecilan. Dia menerima berbagai pesanan kue.
“Yah, nanti bawa ini untuk teman nonton televisi di rumah.” Kemala menyodorkan sebuah bungkusan berisi brownies kesukaan ayahnya.
“Gara-gara kamu jualan kue, ayah jadi lebih sering makan kue daripada nasi,” goda pria tua itu terhadap putrinya.
Gelak tawa pun menyelimuti mereka. Kemala sangat menyayangi Hartono. Sebab hanya dialah satu-satunya keluarga Kemala. “Yah...” Kemala ragu untuk mengatakannya, “Eng ... Kemala akan pergi ke Tegal Besar besok, ke rumah teman. Nanti sebelum pergi, aku akan mengantarkan makanan untuk Ayah.”
“Tidak perlu repot-repot, ayah bisa beli di warung depan rumah.”
“Tidak apa. Obat Ayah juga habis, bukan? Nanti sekaligus Mala beli obatnya juga ya, Yah.”
“Baiklah kalau kamu memaksa, ayah juga tidak ingin membuatmu sedih.
Setelah mengantarkan makanan dan obat untuk ayahnya, Kemala melajukan motornya ke alamat yang ia dapatkan dari teman lamanya. Beberapa saat mencari, akhirnya dia menemukannya. Namun jika benar rumah itu yang ia tuju, mengapa terlihat sedang ada acara penting? Sebuah tenda berdiri kokoh di jalan perumahan tepat di depan rumah yang menurut temannya adalah tempat tinggal Herdian.
“Apakah aku salah alamat?” Kemala bermonolog sendirian.
Seketika dia teringat kata 'pesta' yang dikatakan teman lamanya dalam panggilan telepon. Langkahnya seakan tak mau berhenti. Dia tetap saja mendekat ke rumah tersebut meskipun ada keraguan di dalam hatinya. Sepertinya acara pernikahan, ada sebuah foto pengantin yang dicetak seukuran banner di depan pintu masuk.
“Mas Dian,” gumam Kemala, dia menatap lekat wajah pengantin pria yang ada pada foto berukuran besar di hadapannya.
“Apakah anda teman mempelai pria?” tanya seorang wanita bersanggul Jawa yang bertindak sebagai penerima tamu.
Kemala mengangguk. Kemudian wanita itu menyodorkan sebuah buku tamu tebal ke hadapan Kemala agar diisi. Setelah mengisi buku tamu, Kemala memasuki tenda. Dan benar saja, kedua mempelai telah duduk di hadapan penghulu. Ternyata acaranya baru akan dimulai.
Meskipun dalam hatinya sangat kacau, Kemala tetap bersikap tenang. Dia tidak ingin membuang energi untuk meluapkan emosinya. Dia hanya berharap untuk dapat berbicara empat mata dengan pengantin pria yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Acara demi acara telah dilalui, para tamu bersalaman pada kedua mempelai untuk menyelamatinya, tak terkecuali Kemala. “Selamat menempuh hidup baru, Mas. Semoga pernikahanmu selalu diliputi kebahagiaan.” Kemala melempar senyum cantiknya kepada Herdian yang tengah panas dingin karena berhadapan dengan Kemala.
“Ada apa, Mas? Apakah kamu kenal wanita ini?” tanya wanita yang merupakan pengantin wanitanya.
Herdian semakin salah tingkah, berbanding terbalik dengan sikap Kemala yang tampak tenang dari luar tapi mendidih di bagian dalamnya. Kemala beralih kepada wanita berkebaya pengantin berwarna putih di samping Herdian. Dia mengulurkan tangannya, “Perkenalkan saya adalah istri sah dari suamimu!”
Tentu saja bukan itu yang dilakukan Kemala, dia tidak selemah itu untuk mempersingkat hukuman bagi Herdian. Semua kalimat tadi hanya ada di dalam pikirannya. Tidak benar-benar terjadi.
“Selamat berbahagia, saya teman lama Mas Herdian.” Itulah kalimat yang dilontarkan Kemala pada kenyataannya. Mempelai wanita pun menyambut ucapan selamat dari Kemala. Air mukanya masih terlihat bingung sebab selama mengenal Herdian, dirinya belum pernah mengenal Kemala.
Herdian pun tak kalah panik dari istri yang dinikahinya hari ini. Dia menatap siluet Kemala yang berangsur-angsur menghilang di balik tirai tenda berwarna biru itu. Antara ingin menyusul Kemala dan tidak. Herdian merasa bingung. Sementara Kemala mengutuki dirinya sendiri karena dia tak punya nyali untuk bersikap brutal di acara pernikahan suaminya. Namun di dalam hatinya berjanji, ia akan memastikan mereka semua merasakan penderitaan yang dia rasakan.
“Kupastikan kamu akan menyesal, Mas!”
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b