Share

Pernikahan Suami di Rumah Mertua
Pernikahan Suami di Rumah Mertua
Penulis: Winda Siscaa

Mempelai Prianya Adalah Suamiku

 “Apakah ada kabar terbaru dari suamimu?” tanya Hartono pada Kemala, putrinya.

“Belum, Yah.” Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan dengan air muka sedih.

“Sebenarnya kalian ada masalah apa hingga suamimu pergi tanpa pamit,” selidik Hartono, pria itu duduk di kursi kayu di ruang tamu anaknya. “Kalian bertengkar?” Lagi-lagi Kemala hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun.

Pria tua itu menarik napas sambil menengadah melihat langi-langit rumah putrinya yang dihiasi sarang laba-laba. “Bahkan kamu tidak merawat rumahmu dengan baik. Ayah tahu dia suamimu, tapi akan sangat merugi jika kamu terus saja meratapi nasib seperti ini.”

Kemala tertunduk malu atas kritik yang dilontarkan sang ayah padanya. Bagaimana mungkin dia tidak hancur, orang yang selama ini lebih dia utamakan daripada ayahnya, seketika menghilang tanpa kabar. Terlebih pria itu pergi tanpa ada masalah berarti.

“Coba lihat, laba-laba saja tak pernah putus asa meskipun rumahnya kita hancurkan berulang kali. Jadi, mengapa kita sebagai manusia yang berakal dan berilmu harus hancur hanya karena suatu hal,” sindir Hartono.

Kemala merasa tertampar hebat oleh kalimat terakhir Hartono. Mungkin benar, selama hampir satu bulan Kemala hanya membuang-buang waktu meratapi kesialan yang menimpanya. Seolah waktu terhenti, tak ada pencapaian apapun yang diperolehnya. Dan sejak hari itu, Kemala bertekad untuk bangkit.

_______

“Mala, masih ingat dengan diriku?” Suara seorang wanita menyapanya melalui panggilan seluler.

Beberapa kali Kemala menebak nama beberapa teman yang dia kenal. Ternyata suara itu milik seorang teman lamanya. Pada akhir pembicaraan, tiba-tiba wanita itu menyinggung soal Herdian. “Ternyata kamu pindah ke daerah Tegal Besar ya, aku sempat melihat Herdian di sana.” 

Apakah Kemala tidak salah mendengar? Temannya itu bilang bahwa dirinya melihat Herdian di daerah sekitar tempat tinggalnya. Padahal sebelumnya mereka tidak punya kerabat ataupun sanak keluarga di daerah tersebut. Anehnya lagi, wanita yang tak lain merupakan teman kuliahnya itu juga mengatakan hal lain. “Sekarang aku kan udah tahu nih, kalau kamu tinggal di dekat rumah aku. Masa kamu gak ada mengundang aku hadir di pestamu?”

Undangan? Pesta? Kemala sama sekali tidak mengerti apa yang tengah temannya katakan padanya sejak tadi. Tanpa menampik semua yang dikatakan teman lamanya, Kemala tetap bersikap tenang. Dia sama sekali tidak panik apalagi gelisah.

“Baiklah, Kemala. Sampai jumpa, tolong beri kabar kalau undangan untukku sudah siap,” pungkas wanita yang sedang dalam panggilan telepon dengannya.

“Oke. Bye!”

Kemala yang sekarang berbeda dengan Kemala yang dulu. Kemala yang dulu, hanya bisa pasrah, menangis dan lemah. Namun kini sudah berubah, Kemala  menjadi wanita tangguh yang tegar. Semua berkat kalimat pedas Hartono padanya. Sebuah kritik yang membangunkan semangatnya. Sehingga dia mampu terlepas dari belenggu pernikahan kejam yang ia jalani.

Saat ini, Kemala tengah disibukkan oleh berbagai kegiatan positif yang digelutinya. Dari seorang ibu rumah tangga biasa, Kemala membuat dirinya mandiri dengan membuka bisnis kecil yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Namun tidak mudah baginya untuk sampai di titik ini.

Satu hal yang membuat Kemala sangat bersyukur atas kesibukannya saat ini. Dia berhasil membuang jauh-jauh pikiran tentang Herdian Hadinata. Suami yang meninggalkannya dua bulan yang lalu.

Apakah sebaiknya aku mendatangi tempat itu? Kemala bertanya pada dirinya sendiri setelah mendengar banyak tentang Herdian. “Iya. Aku harus pergi. Aku harus datang ke tempat itu!” Secara refleks dia mengatakan apa yang tengah ia pikirkan, tatkala seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

“Ada apa?” tanya seorang pria tua yang baru saja memasuki rumahnya.

“Maaf, Mala hanya sedang tidak fokus,” ucapnya pada Hartono. “Tidak ada apa-apa, Yah!” Kemala memutar badan menghadap kepada Hartono yang baru saja memasuki rumah. “Ayah sudah makan? Makan bareng Kemala, yuk! Kebetulan, tadi Kemala beli makanan kesukaan ayah.”

Keduanya pergi ke ruang makan sederhana di rumah Kemala. Ayahnya, Hartono memang tinggal tak jauh dari rumah tempat tinggalnya. Sesekali pria berumur enam puluh tahun itu mengunjunginya di waktu senggang. Ibu Kemala sudah lama meninggal, sejak Kemala masih duduk di bangku kuliah semester akhir. Beliau meninggal akibat kanker yang dideritanya.

Dan sejak menikah dengan Herdian, Kemala tinggal di rumah yang mereka beli dengan KPR. Di sebuah komplek perumahan yang juga masih satu kelurahan dengan rumah Hartono. Sekarang Kemala memanfaatkan rumahnya juga untuk bisnis kecil-kecilan. Dia menerima berbagai pesanan kue.

“Yah, nanti bawa ini untuk teman nonton televisi di rumah.” Kemala menyodorkan sebuah bungkusan berisi brownies kesukaan ayahnya. 

“Gara-gara kamu jualan kue, ayah jadi lebih sering makan kue daripada nasi,” goda pria tua itu terhadap putrinya.

Gelak tawa pun menyelimuti mereka. Kemala sangat menyayangi Hartono. Sebab hanya dialah satu-satunya keluarga Kemala. “Yah...” Kemala ragu untuk mengatakannya, “Eng ... Kemala akan pergi ke Tegal Besar besok, ke rumah teman. Nanti sebelum pergi, aku akan mengantarkan makanan untuk Ayah.”

“Tidak perlu repot-repot, ayah bisa beli di warung depan rumah.”

“Tidak apa. Obat Ayah juga habis, bukan? Nanti sekaligus Mala beli obatnya juga ya, Yah.”

“Baiklah kalau kamu memaksa, ayah juga tidak ingin membuatmu sedih.

Setelah mengantarkan makanan dan obat untuk ayahnya, Kemala melajukan motornya ke alamat yang ia dapatkan dari teman lamanya. Beberapa saat mencari, akhirnya dia menemukannya. Namun jika benar rumah itu yang ia tuju, mengapa terlihat sedang ada acara penting? Sebuah tenda berdiri kokoh di jalan perumahan tepat di depan rumah yang menurut temannya adalah tempat tinggal Herdian.

“Apakah aku salah alamat?” Kemala bermonolog sendirian.

Seketika dia teringat kata 'pesta' yang dikatakan teman lamanya dalam panggilan telepon. Langkahnya seakan tak mau berhenti. Dia tetap saja mendekat ke rumah tersebut meskipun ada keraguan di dalam hatinya. Sepertinya acara pernikahan, ada sebuah foto pengantin yang dicetak seukuran banner di depan pintu masuk.

“Mas Dian,” gumam Kemala, dia menatap lekat wajah pengantin pria yang ada pada foto berukuran besar di hadapannya.

“Apakah anda teman mempelai pria?” tanya seorang wanita bersanggul Jawa yang bertindak sebagai penerima tamu.

Kemala mengangguk. Kemudian wanita itu menyodorkan sebuah buku tamu tebal ke hadapan Kemala agar diisi. Setelah mengisi buku tamu, Kemala memasuki tenda. Dan benar saja, kedua mempelai telah duduk di hadapan penghulu. Ternyata acaranya baru akan dimulai.

Meskipun dalam hatinya sangat kacau, Kemala tetap bersikap tenang. Dia tidak ingin membuang energi untuk meluapkan emosinya. Dia hanya berharap untuk dapat berbicara empat mata dengan pengantin pria yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Acara demi acara telah dilalui, para tamu bersalaman pada kedua mempelai untuk menyelamatinya, tak terkecuali Kemala. “Selamat menempuh hidup baru, Mas. Semoga pernikahanmu selalu diliputi kebahagiaan.” Kemala melempar senyum cantiknya kepada Herdian yang tengah panas dingin karena berhadapan dengan Kemala.

“Ada apa, Mas? Apakah kamu kenal wanita ini?” tanya wanita yang merupakan pengantin wanitanya.

Herdian semakin salah tingkah, berbanding terbalik dengan sikap Kemala yang tampak tenang dari luar tapi mendidih di bagian dalamnya. Kemala beralih kepada wanita berkebaya pengantin berwarna putih di samping Herdian. Dia mengulurkan tangannya, “Perkenalkan saya adalah istri sah dari suamimu!”

Tentu saja bukan itu yang dilakukan Kemala, dia tidak selemah itu untuk mempersingkat hukuman bagi Herdian. Semua kalimat tadi hanya ada di dalam pikirannya. Tidak benar-benar terjadi.

“Selamat berbahagia, saya teman lama Mas Herdian.” Itulah kalimat yang dilontarkan Kemala pada kenyataannya. Mempelai wanita pun menyambut ucapan selamat dari Kemala. Air mukanya masih terlihat bingung sebab selama mengenal Herdian, dirinya belum pernah mengenal Kemala.

Herdian pun tak kalah panik dari istri yang dinikahinya hari ini. Dia menatap siluet Kemala yang berangsur-angsur menghilang di balik tirai tenda berwarna biru itu. Antara ingin menyusul Kemala dan tidak. Herdian merasa bingung. Sementara Kemala mengutuki dirinya sendiri karena dia tak punya nyali untuk bersikap brutal di acara pernikahan suaminya. Namun di dalam hatinya berjanji, ia akan memastikan mereka semua merasakan penderitaan yang dia rasakan.

“Kupastikan kamu akan menyesal, Mas!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
gaya jau lahi njing, sok2an berdrama. mampuslah kau diselingkuhi krn kebanyakan drama tolol. otak kau sampah semua isinya itu makanya ditinggal suami.
goodnovel comment avatar
Kemala 13
ada nmaku kk kemala
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status