"Feliz! Sayang, kamu di mana? Feliz!" Mentari mencari di lahan parkir, namun tidak menemukan anak itu. Dengan wajah dipenuhi ketakutan, Mentari kembali ke tempatnya semula, berpikir mungkin Feliz sudah berada di sana. Tidak ada.
Pengendara ojek turun dari motornya dan memandangi sekitarnya tanpa meninggalkan motor. Tidak terlihat anak kecil di jarak pandangnya.
Mentari memasuki toko dengan gusar. Pintu kaca dibukanya dengan keras, lalu dibiarkan membanting. Keringat mulai mengucur dari dahinya, pandangannya tidak fokus. Dia mengingat kaos putih dan jaket biru muda Feliz, itulah yang terus dicarinya. Dia melewati setiap rak jualan yang hanya berisi orang-orang dewasa. Saat tiba di tangga, dia memandanginya. Tidak mungkin Feliz naik ke tangga itu.
Mentari mengitari toko sekali lagi, namun Feliz masih tidak terlihat. Para pengunjung toko memandanginya sambil bertanya-tanya. Seorang wanita muda berseragam oranye mendekatinya.
"Mbak? Ada yang bisa kami bantu?"
Tak diduga Mentari dapat terlelap semalam. Dia merasa cukup puas telah menebarkan sedikit aroma balas dendam pada keluarga Argan dengan mengirimkan pesan lalu mematikan ponselnya semalam.“Apakah pantas aku melakukan hal itu?” tanya Mentari sambil berbisik pada Cahya saat menyiapkan sarapan pagi ini.Sebelum menjawab, Cahya menoleh ke samping ke arah pintu. Aman, ibu tidak terlihat. “Tidak pantas,” jawabnya tegas.Mentari terlonjak, tidak menduga jawaban kakaknya.“Sepantasnya kamu segera mematikan ponselmu saat tiba di sini semalam. Biarkan mereka menduga-duga sendiri.”Mentari terkikik. “Sempat terpikir olehku, Ka, tapi aku kuatir nanti mereka akan mencariku ke minimarket dan ke tempat lainnya.”“Itu urusan mereka. Jika mereka akan kembali selarut itu, bukankah sudah seharusnya mereka memberitahukanmu? Atau setidaknya mengangkat telepon atau membalas pesanmu. Tidak perlu mencemaskan mer
Rumah tampak gelap, tidak ada penerangan satupun, bahkan lampu teras depan padam. Dan motor Mentari tidak terlihat. Ragu, Mentari membuka pintu pagar. dia tidak memiliki pilihan lain selain masuk ke dalam. Mobil yang mengantarkannya dan Feliz pulang, sudah berlalu.Dengan bantuan penerangan dari senter ponselnya yang hanya memiliki sedikit baterai, Mentari membimbing Feliz menaiki tangga depan. Dia mengetok pintu yang tertutup rapat, namun tidak ada jawaban. Dua kali lagi dicobanya, tetap tidak ada yang membukakan pintu baginya. Sudah diduganya bahwa semua orang belum kembali.Jari-jari Mentari mencari nama Argan di daftar pesannya, lalu mengirimkan pesan. Beberapa detik berlalu, tidak ada jawaban meskipun telah bercentang dua. Ditungguinya lebih lama lagi, masih belum ada jawaban. Dia menjadi tidak sabaran. Menunggu sedetik terasa seperti sejam. Dia pun menekan tombol panggilan, tapi tidak mendapatkan respon setelah dua kali diulanginya.Dia memutuskan untuk me
Emosi Mentari berkecamuk. Dia senang akan bertemu sepupu-sepupunya hari ini, namun dia juga mencemaskan motornya. Memang terakhir kali Argan memakai motornya, tidak ada hal yang tidak diinginkan Mentari terjadi. Namun, bayangannya ketika Argan menyebabkan baret pada motornya beberapa waktu lalu, masih jelas terpampang di matanya. Argan bukan pria yang bertanggung jawab, begitulah pikir Mentari.“Bu, ayo!” ajak Feliz menarik dress panjang yang dikenakan Mentari. Satu kaki Feliz maju dengan kekuatan penuh, seolah dengan begitu dapat membuat Mentari bergerak.“Iya, Sayang, sebentar.” Mentari memastikan kembali semua perlengkapan yang diperlukannya sudah terisi dalam tas, lalu memeriksa layanan mobil online di ponselnya. Sebentar lagi tiba.“Ayo, Feliz!”Dengan riang Feliz keluar ke ruang tamu, namun segera terdiam saat melihat punggung neneknya yang telah berpakaian rapi lengkap dengan sanggul tinggi. Hal itu membuat Menta
“Maaf, Bunga, aku benar-benar tidak bisa hadir di pertemuan besok. Ada keperluan yang harus aku selesaikan,” ucap Mentari berat saat dihubungi Bunga keesokan harinya. Bunga ingin memastikan kehadiran Mentari.“Kamu sudah berjanji, Tari. Kenapa bisa tiba-tiba ada keperluan? Jangan-jangan kamu tidak diizinkan datang oleh suamimu?” Jeda sebentar, “Atau mertuamu? Dia membebanimu dengan urusan rumah tangga tidak penting?”Merasa tertohok, Mentari hanya diam. Dia ingin membantahnya, namun dia tidak pintar berbohong. Lebih tepat, diajarkan untuk tidak berbohong oleh ibunya dan dia memegangnya teguh, meskipun terkadang dia melontarkan kebohongan juga.“Lain kali aku pasti hadir. Maafkan harus bolos kali ini.”Kikikan terdengar di seberang. “Aku benar-benar kaget mendengar kamu pindah ke rumah mertuamu. Seharusnya kamu belajar dari pengalamanku. Aku sengaja membeberkan semuanya padamu, agar kamu tidak mengalami
Argan kembali ke rumah pada tengah malam hampir menjelang subu. Walaupun mengantuk, tapi Mentari masih terjaga, menunggui suaminya, lebih tepat motornya. Dia harus memastikan motornya dalam keadaan baik seperti ditinggalkannya kemarin.Saat mendengar bunyi pintu depan tertutup, Mentari segera keluar dari kamar menuju ruang tamu. Argan terlonjak melihat kemunculan Mentari di tengah remang-remangnya pencahayaan di dalam rumah. Hanya tinggal cahaya dari lampu teras memancar masuk ke dalam ruang tamu.Ingin sekali Argan membentak Mentari, sekaligus tidak ingin membangunkan kedua orang tuanya yang telah terlelap. Dengan bisikan jengkel yang tak tertangkap telinga Mentari, Argan berlalu menuju kamarnya. Sigap, Mentari menghadang Argan sambil mengulurkan telapak tangan kanannya yang terbuka.“Di motor,” ucap Argan mengerti, kemudian berlalu. Tak ingin meladeni ocehan Mentari seperti di telepon pagi tadi.Perlahan Mentari membuka pintu depan dan mengh
Berkali-kali Mentari kembali ke pekarangan depan, berharap dapat melihat motornya telah terparkir di sana dengan bantuan keajaiban. Nyatanya tidak. Malah terakhir kali Mentari kembali yang ada adalah sebuah mobil hitam yang berhenti tepat di depan gerbang masuk. Seorang wanita turun dari dalamnya. Mama.Mentari memperhatikan mama yang berusaha menganggap Mentari tidak ada di sana. Mama melewati Mentari tanpa menyapanya, masih tertinggal ekspresi marah di raut wajahnya. Setelah mama mencapai pintu, Mentari ikut masuk ke dalam.“Pa, ayo makan,” ajak mama sambil menengok ke dalam kamarnya, lalu menuju ruang makan. Kantong plastik transparan berlogo berwarna oranye yang dibawanya diletakkan di atas meja.Dari ruang tamu, Mentari dapat melihat kotak-kotak kecil dikeluarkan mama dari dalam kantong plastik. Mama keluar membeli makanan entah di mana.Papa yang keluar dari kamar berpapasan dengan Mentari yang hendak menuju kamarnya. “Ayo makan, Mentari.”“T