Udara dingin pukul lima pagi tak menyurutkan niat Alya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu berjibaku dengan kegiatan mencuci baju sebanyak dua ember cat besar, belum lagi cucian piring sisa makan semalam yang menumpuk. Pekerjaan seperti ini sudah menjadi sarapan sehari-hari.
Namanya Alya Kharisma, gadis berusia sembilan belas tahun ini sudah menjadi seorang piatu sejak kelas enam SD. Ibunya meninggal karena penyakit demam berdarah. Ia lalu tinggal berdua dengan Banu, ayahnya, yang bekerja di pabrik pengolahan teh. Menginjak kelas tujuh SMP sang ayah membawa pulang seorang perempuan bernama Rima untuk dijadikan ibu sambung bagi Alya.
Sejak saat itu kehidupan Alya yang tenang mulai berubah. Rima memperlakukan Alya layaknya di sinetron sebagai seorang ibu tiri yang kejam, tak peduli meski ada sang ayah. Sang ayah juga seperti kerbau yang dicocok hidungnya, menuruti semua perkataan istri keduanya itu.
Namun, hari ini Alya lebih bersemangat dari biasanya, karena hari ini ia akan mulai bekerja menggantikan Bibi Marina. Bibi Marina memang saudara jauh ibunya, selama ini ia yang membantu biaya sekolah gadis itu tanpa sepengetahuan ayahnya. Sejak kedatangan Rima, gaji ayahnya dipegang seluruhnya oleh wanita itu. Bahkan untuk biaya sekolah Alya pun tidak diberikannya. Tak ayal setiap hari Alya harus bekerja paruh waktu di tempat Paklik Tomo membuat kerajinan dari bambu.
Bibi Marina yang mengetahui itu lalu meminta Alya berhenti bekerja dan fokus bersekolah, ia berjanji akan menanggung biaya sekolahnya dengan catatan Alya harus bekerja menggantikan dirinya di villa keluarga Hadinata saat sudah lulus nanti. Tepat pukul tujuh Alya menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya. Setelah mengemas beberapa pakaian dalam tas, karena Bibi Marina menghendaki ia tinggal di villa.
"Rapi amat pagi-pagi begini, mau kemana?" tanya Rima dengan tatapan menyelidik dari atas ke bawah.
"Mau kerja." jawab Alya pendek sambil memakai sepatunya.
"Oh, mau kerja jadi babu kayak saudara ibumu itu toh." ucap Rima mengejek sambil menghempaskan pantatnya di kursi.
"Baguslah, setidaknya berkurang satu jatah memberi makan anak orang. Pekerjaan itu memang cocok buatmu." ejek perempuan itu lagi.
"Enggak apa-apa jadi babu ketimbang jadi benalu yang sukanya menggerogoti inangnya. Tante enggak lupa kan kalau selama ini menumpang di rumah kami." Alya menjawab tak kalah pedasnya sembari menekankan kata menumpang, membuat muka ibu tirinya geram karena marah.
Alya segera beranjak pergi setelah mengucapkan kata-kata itu tanpa memperdulikan teriakan ibu tirinya yang penuh umpatan dan segala nama binatang. Gadis itu mengayuh sepedanya menuju villa tempat Bibi Marina bekerja. Sepanjang perjalanan bibirnya tak berhenti menggumamkan nyanyian. Selain merasa bahagia karena punya pekerjaan sendiri, ia juga berusaha menutupi kesedihan hatinya karena ulah ibu tirinya. Ayah yang dulu ia banggakan pun kini sudah tak bisa diharapkan lagi.
Setelah tiga puluh menit mengayuh sepeda sampailah Alya di depan sebuah villa mewah dengan dua lantai, gadis itu menunggu di depan pagar yang menjulang tinggi setelah memencet bel. Seorang penjaga berpakaian hitam keluar dari posnya dan membuka gerbang itu untuk Alya. Setelah mengatakan tujuannya, Alya masuk ke dalam dengan diantar penjaga tadi. Rupanya, Bibi Marina sudah menunggu Alta di depan pintu dapur.
Bibi Marina lalu menjelaskan apa tugas Alya selama bekerja disini yaitu menyiapkan kebutuhan pemilik villa. Ia juga boleh membantu memasak kalau pemilik rumah sedang ada keperluan di luar. Di villa ini memang ada tiga orang ART yang bertugas membersihkan villa, sedangkan Bibi Marina bertugas memasak merangkap kepala ART.
Setelah menerima arahan dari Bibi Marina Alya menuju ke lantai atas tempat majikannya berada. Kata sang bibi majikannya tadi sudah bangun dan meminta seseorang membantunya di atas. Alya berjalan menuju kamar yang berada di ujung tangga yang ternyata kamar Adrian, kemudian mengetuknya. Karena tidak ada jawaban setelah mengetuk berkali-kali gadis itu membuka pintu kamar. Ia lalu berinisiatif membersihkan kamar yang terlihat berantakan.
Alya terkejut karena tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan dari kamar mandi, gadis itu menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan kulit yang putih dan hanya memakai handuk yang melilit di pinggang. Mulutnya menganga karena baru kali ini ia melihat pria setampan ini. Wajahnya yang bersih dengan hidung mancung dan bibir tipis mirip aktor Adipati Dolken. Air yang menetes dari rambutnya yang sedikit basah membuat wajahnya terlihat segar.
"Ma-maaf Tu-tuan. Saya kira tidak ada orang." ucap Alya dengan gugup dan takut.
"Siapa kamu?" tanya lelaki itu dengan sorot mata yang tajam.
"Sa-saya pegawai baru Tu-tuan." Alya menjawab dengan takut dan lirih, "Saya ambilkan baju ganti ya, Tuan." Tanpa menunggu persetujuan lelaki itu Alya membuka lemari di hadapannya. Diambilnya kaos lengan panjang berwarna hijau botol juga celana khaki warna coklat. Ia merasa udara di luar cukup dingin makanya mengambil baju tersebut dan meletakkannya di atas kasur.
"Ini baju ganti Anda, Tuan," ucap Alya sambil tetap berdiri di dekat ranjang. Sedang Adrian yang sedari tadi hanya melihat tingkah gadis di depannya sambil menyandarkan punggung di pintu dan kedua tangan menyilang di dada.
"Apa kamu akan berdiri di situ terus kalau aku ganti baju?" Tanya Adrian dingin.
Alya yang menyadari keadaan langsung bergerak dengan salah tingkah meninggalkan kamar. Ia kemudian berlari menuju ke dapur.
Adrian berniat memilih sendiri baju yang akan dikenakannya, tapi saat menoleh ke ranjang dan melihat pakaian yang dipilihkan gadis itu membuat ia mengurungkan niatnya.
Alya dan Bibi Marina tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja ketika Adrian turun, ia berjalan dengan tenang menuju meja makan. Ia mengambil sepotong sandwich yang sudah tersedia di meja lalu memakannya. Sedang Alya berdiri di tak jauh di sampingnya sambil menuang susu yang sudah dipanaskan ke dalam teko. Adrian berniat mengambil ponsel yang diletakkan di saku celananya. Namun, gerakan Adrian yang tiba-tiba membuatnya menyenggol tangan Alya. Membuat panci susu yang dipegang gadis itu terlepas, setengah dari isinya tertumpah di meja dan mengenai tangan Adrian.
Keduanya memekik bersamaan, yang satu karena kaget sedang yang lainnya karena kepanasan. Bibi Marina yang berada di dekat kompor langsung tergopoh mendekati mereka. Diambilnya selembar tisu untuk membersihkan tangan tuannya, sedang Alya mengambil serbet untuk lap meja dari tumpahan susu.
"Maaf, Tuan," ucap Alya sambil tangannya mengelap meja.
"Kamu nggak bisa hati-hati?" Tanya Adrian dengan muka merah menahan marah.
"Maaf, Tuan, tadi saya terkejut karena gerakan Tuan." Alya mencoba membela diri.
"Tapi setidaknya kamu bisa berdiri sedikit lebih jauh, kan,"
"Ma-maaf, Tuan."
Adrian seketika meninggalkan meja makan menuju ke kamar mengganti bajunya yang basah di bagian lengan.
"Bukan aku yang salah kok," gumam Alya sambil membersihkan bekas tumpahan susu di meja dan kursi.
"Dasar orang aneh, mentang-mentang kaya bisa seenaknya saja." Alya masih tetap mengomel, kali ini sambil mengepel lantai di bawah meja.
"Kalau kerja itu yang bener!" Ujar Adrian sambil melangkah menuruni tangga dan sudah mengganti bajunya yang basah.
"Setelah ini kamu bersihkan kamarku." Lelaki itu berbicara sambil berjalan ke atas lagi. Alya hanya mengangguk meski lelaki itu tak melihatnya.
Selesai membersihkan dapur Alya bergegas menuju lantai atas untuk membersihkan kamar milik tuannya sambil membawa peralatan bersih-bersih. Mulut gadis itu menganga sesaat setelah membuka pintu. Dilihatnya baju-baju berserakan di ranjang, padahal lelaki itu hanya perlu mengganti baju saja.
"Dasar orang aneh." Gumam Alya sambil menata kembali kamar yang lebih mirip kapal pecah itu.
Adrian menatap wajah Alya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, tangannya sedari tadi tak pernah lepas menggenggam tangan Alya. Raut wajahnya terlihat gembira setelah mendengar diagnosis dari dokter tadi. Beberapa saat kemudian tubuh Alya mulai bergerak, mata wanita itu mulai terbuja perlahan. "A-aku dimana?" Wanita itu bingung karena tidak mengenali ruangan tempatnya berbaring saat ini. "Kita di rumah sakit, Sayang," ucap Adrian sambil mencium tangan Alya. Alya kemudian mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Kamu hamil, Sayang, kamu hamil. Kita akan segera punya anak." lanjut Adrian sambil tak henti mencium tangan istrinya, setitik air mata luruh di pipinya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ayah. "Aku hamil?" tanya Alya lirih, ia juga senang dan tanpa terasa ikut meneteskan air mata. Satu tangannya meraba perutnya yang masih rata, ia tidak menyangka di rahimnya ada janin yang tumbuh hasil buah cinta mereka. "Ak
Adrian dan Natasha, keduanya sama-sama terkejut saat tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dengan cepat Natasha melepaskan tangannya dari leher Adrian."Ma-maaf, Pak Adrian, sa-saya hanya mau melapor kalau semuanya sudah siap." Maya, sekretaris Adrian melaporkan kesiapan konferensi pers yang akan dilakukan Adrian, wajahnya tampak terkejut melihat pemandangan di dalam ruangan bosnya itu."Oke, Maya, terima kasih." Adrian bernapas lega, karena kehadiran Maya membantunya lepas dari ulah Natasha."Aku ada urusan, bisa kau pergi sekarang?" Adrian sengaja mengusir Natasha.Wanita itu kembali mendekati Adrian, tetapi lelaki itu telah lebih dahulu berdiri dan sengaja menghindar.
Pukul sepuluh malam Adrian mengajak Alya untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Sebenarnya Alya menolak karena kasihan dengan Kakek Hadinata. Namun, melihat suasana hati Adrian yang tidak cukup baik setelah kejadian makan malam tadi, ia akhirnya menyetujui ajakan Adrian."Jadi, kalian memilih meninggalkan kakek sendirian lagi," ucap pria tua itu saat keduanya berpamitan untuk pulang."Aku butuh ketenangan kalau Kakek menginginkan segera punya cucu." ucap Adrian enteng dan mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Alya.Kakek Hadinata memandang dua orang yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat. Ia tahu cucunya sengaja menghindar dari dirinya."Kalau itu akan membuatmu berhasil dalam waktu dekat, silahkan," ucap pria itu sambil menekan kata berhasil."Tunggu saja." Adrian segera berbalik dan melangkah meninggalkan kakeknya. Sedang Alya yang bingung harus berbuat apa l
Acara gathering sudah berakhir, Adrian melanjutkan pekerjaannya sedangkan Alya menemani Kakek Hadinata pulang ke rumah atas permintaan pria tua itu. Mereka berdua sedang berbincang di halaman belakang."Adrian lahir dan tumbuh di rumah ini, dia anak yang periang dan lincah." Kakek Hadinata memulai percakapan sambil berdiri menghadap tanaman mawar putih. Alya berdiri di samping pria tua itu sambil mendengarkan pria itu bercerita tanpa berniat menyela."Setelah kepergian Ayahnya akibat kecelakaan itu dia jadi berubah, agak susah diatur."Alya bisa membayangkan kehidupan seorang anak, apalagi anak laki-laki saat kehilangan seorang ayah. Mungkin rasanya seperti kehilangan arah, sama dengan dirinya saat ditinggal sang ibu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin, merasa puas dengan penampilannya kali ini. Rok span dengan panjang di bawah lutut berwarna hitam dipadu dengan blouse berwarna emas dengan model balon di lengannya. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajah ditambah lipstik warna peach, terlihat segar dan cantik.Di luar kamar Adrian tengah sibuk memberi arahan kepada anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria itu juga sudah tampak rapi dengan setelan jas berwarna hitam.Alya keluar dari kamar dan mendekati Adrian, kegugupan tampak jelas di raut wajahnya."Kamu sudah siap?" tanya Adrian saat ia menyadari kehadiran Alya."Sudah, tetapi aku merasa sedikit gugup." Alya berkata sambil menautkan kedua tangannya.Adrian memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu melangkah mendekati Alya kemudian memeluknya seolah memberi kekuatan pada wanita itu."Kamu tidak perlu cemas, a
Setelah kepergian Adrian, Natasha tertawa bahagia. Ia merasa usahanya untuk memisahkan Adrian dan Alya akan berhasil."Ada gunanya juga koin ini." Natasha memandangi koin pecahan lima ratus rupiah yang tadi ia letakkan di meja. Ia sengaja menggunakan benda itu untuk membuat tanda merah seperti bekas ciuman di leher dan juga dadanya.💗💗💗Adrian semakin frustasi karena tidak kunjung menemukan Alya, ia menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Kepalanya berpikir kira-kira kemana perginya Alya, kepalanya mendongak ke atas menatap bintang-bintang yang berkilauan seolah mengejeknya.Adrian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, yang ia dapati hanya kelap-kelip lampu jalanan. Pria itu segera beranjak saat matanya menatap sebuah gedung di hadapannya, ia baru ingat kalau belum memeriksa bekas apartemen yang ia tinggali sebelumnya.Segera Adrian memacu mobilnya kesana, dan
Alya mematut dirinya di cermin, celana pensil berwarna krem dengan paduan blouse warna putih tampak cantik di badannya. Ia menyapukan bedak tipis-tipis di wajahnya, menambahkan blush on berwarna peach lalu mengoleskan lipstik warna nude. Alya lalu beranjak dari meja riasnya setelah dirasa penampilannya sudah cukup sempurna. Mengambil ponsel yang ditinggalkannya di atas kasur dan mengecek jam, sudah waktunya Adrian pulang kerja.Alya kemudian menunggu suaminya pulang di sofa ruang tamu sambil memainkan handphonenya. Sesekali Alya menengok ke depan, barangkali Adrian sudah pulang dan ia yang tidak mendengar suaranya. Tetapi nihil, garasi masih tetap kosong dan Adrian memang belum pulang.Satu jam, dua jam, bahkan sampai menjelang malam Adrian belum datang juga. Bahkan Alya sengaja melewatkan makan malam agar dia bisa mengajak Adrian makan nasi Padang. Entah kenapa seharian ini Alya begitu ingin makan nasi Padang. Apalagi ketika membayangkan sa
Adrian merasa kepalanya pusing, setelah kepergian Natasha pria itu dihadapkan dengan masalah perusahaan. Dimulai dari investor yang beberapa waktu lalu ia temui ternyata batal untuk menjalin kerjasama dengan perusahaannya. Belum lagi masalah internal di bagian keuangan yang salah menginput data. Bisa dipastikan perusahaan mengalami kekacauan.Untungnya masalah bisa segera diatasi, meski begitu Adrian berencana untuk melakukan evaluasi kerja lebih cepat untuk semua karyawannya.Waktu sudah semakin sore, sudah waktunya untuk pulang kerja. Adrian masih membereskan berkas-berkas di mejanya saat ia mendengar bunyi pintu diketuk lalu kemudian dibuka."Masih lembur, Bos." tanya David sambil memasuki ruangan Adrian."Sebentar lagi mau pulang, ada apa?" Adrian menjawab pertanyaan David sambil tetap melanjutkan aktivitasnya."Hari ini sungguh melelahkan, bagaimana kalau kita mi
"Apa! Hamil?" Alya tak percaya dengan usulan yang diutarakan oleh Adrian. Pria itu sendiri hanya terkekeh melihat reaksi Alya, ia pun meninggalkan wanita itu menuju ke kamar setelah sebelumnya sempat mengacak rambut Alya.Alya berdecak sebal melihat kelakuan Alya, tetapi kemudian dia meraba perutnya. Ia ingat jika sempat memikirkan hal yang serupa beberapa waktu lalu. Dan sekarang Adrian berkata seperti tadi, meski dirinya tahu jika pria itu berkata dengan nada bercanda.Alya melamun hingga beberapa saat sambil tetap memegangi perutnya. Ia tak menyadari jika Adrian sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas yang rapi dan bersiap untuk berangkat kerja. Melihat Alya yang tak segera beranjak dari duduknya, pria itu memeluknya dari belakang."Masih ada waktu untuk membuatmu bisa hamil." Bisik Adrian di telinga Alya yang membuat perempuan itu tersipu."Ish, kamu kira bisa segampang itu. Yang sudah me