Adrian berdiri sambil bersandar di tembok pembatas balkon, tangannya sibuk memainkan ponsel sambil sesekali pandangannya melihat ke dalam kamar di mana Alya sedang bekerja. Sejak pertama melihat gadis itu Adrian seolah terkena sihir, atau mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.
Gadis itu memang tampak sederhana wajahnya cantik berbentuk bulat telur, rambut panjangnya sedikit bergelombang di bagian bawah. Terlihat sangat manis saat dikuncir dan tersisa beberapa bagian di samping kiri dan kanan dahinya. Ia merasakan debaran aneh di jantungnya saat melihat gadis itu, debaran yang sama saat ia jatuh cinta pada Natasha.
Mengingat Natasha membuat Adrian nelangsa lagi, ia kemudian melihat ke layar ponsel dalam genggamannya. Membuka kembali galeri foto yang penuh dengan gambar mereka berdua. Senyum keduanya yang merekah seolah menggambarkan jika mereka tak akan terpisahkan.
Satu foto yang paling berkesan bagi Adrian, yaitu saat mereka liburan di Raja Ampat. Mereka berdua berdiri di atas puncak dua kars, salah satu puncak pulau Wayag. Dari sana terlihat gugusan-gugusan karang yang runcing ujungnya berpadu dengan warna biru air laut yang memukau. Dengan latar pemandangan yang indah itu mereka berjanji akan selalu bersama.
Dalam foto itu Natasha tampak cantik dengan busana long floral dress warna pink dipadu dengan topi rajut warna coklat dan kacamata berbingkai putih. Senyumnya terlihat bahagia sambil memandang Adrian. Namun, siapa sangka justru bukan akhir indah yang mereka dapatkan.
Adrian menghela napas, menimbang kembali perasaannya. Apakah ini pelarian rasa karena kecewa?. Adrian kembali mengalihkan pandangannya ke kamar, gadis itu ternyata sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia lalu bergegas turun, kemudian mendapati Bibi Marina sedang bersiap untuk pergi.
"Mau kemana, Bi?" tanya Adrian.
"Ini, Den, ada beberapa bahan yang habis jadi Bibi mau ke pasar." Bibi Marina menjawab pertanyaan Adrian.
"Biar aku saja, Bi. Berikan catatannya dan suruh gadis tadi menemaniku." Adrian berkata sambil meminta catatan belanja dari Bibi Marina. Sang bibi pun memberikan catatan tadi, kemudian berlalu ke belakang untuk memanggil Alya.
Adrian mengeluarkan sendiri mobilnya dari garasi dan menolak Pak Yanto yang menawarkan diri untuk menyetir. Sedangkan Alya sudah terlihat menunggu di dekat gerbang sambil menenteng tas yang biasa dibawa Bibi Marina pergi ke pasar.
"Apa aku terlihat seperti sopir taksi?" ucap Adrian saat mendapati Alya membuka pintu belakang mobil lalu duduk di sana.
"Maaf, sa…."
"Cepat pindah ke depan!" Perintah Adrian sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Dengan mulut berdecak kesal akhirnya gadis itu menuruti perintah majikannya.
"Pakai sabuk pengamanmu!" Perintahnya lagi sambil menghidupkan mesin mobil bersiap untuk berangkat.
"Eh." Hanya itu jawaban Alya sambil kepalanya menoleh ke kursinya mencari sesuatu yang dimaksud tuannya tadi. Akhirnya ia menemukan sesuatu yang dicarinya tadi di belakang lengan kirinya, kemudian menarik tali itu lalu kebingungan bagaimana menggunakannya.
Adrian yang melihat berdecak kesal, tangannya kemudian terulur untuk membantu gadis itu memasang sabuk pengaman. Harum aroma musk terhidu Alya saat lelaki itu mendekat, dan ia kemudian memalingkan muka karena merasa malu sebab ketahuan tidak bisa memakai sabuk pengaman.
Mobil kemudian melaju menuruni jalanan perbukitan, sesekali mereka berpapasan dengan rombongan para pemetik teh. Mobil pun berbelok ke arah selatan, tujuan mereka adalah Pasar Tradisional Lawang. Sudah lama Adrian tidak bepergian dengan suasana santai seperti saat ini. Biasanya ia pergi untuk urusan pekerjaan. Terakhir liburan pun sudah empat bulan lalu dengan Natasha.
Refleks Adrian memukul setir kala mengingat Natasha kembali, membuat Alya terlonjak kaget.
"Ah, maaf." Adrian lupa jika saat ini ia tak sendirian di mobil.
"Ada masalah, Tuan?" Tanya Alya hati-hati.
"Bukan urusanmu!" Adrian menjawab dengan ketus.
"Dih, siapa juga yang peduli." Gumam Alya. Dan ternyata pria di sebelahnya ini mendengar lalu memberikan tatapan tajam pada gadis itu. Alya yang melihat dari ekor matanya hanya mengedikan bahu lalu berpura-pura sibuk melihat ke luar jendela.
Suasana pasar tradisional Lawang tidak begitu ramai saat mereka tiba di sana karena memang bukan musim liburan. Pasar Lawang merupakan salah satu obyek wisata bagi warga dari dalam dan luar Kota Malang. Alya berjalan menuju kios di lantai bawah untuk membeli sayuran dan bumbu dapur sesuai catatan, sedangkan Adrian mengikutinya dari belakang.
Adrian menilai gadis itu cukup pandai memilih sayur dan buah, juga piawai dalam menawar harga. Mereka lalu naik ke lantai dua mencari bahan pokok kering, singgah dari satu kios ke kios lain. Alya berjalan di depan sedang Adrian berada di belakang gadis itu sambil membawa tas berisi belanjaan dari lantai bawah.
Saat hendak berbelok ke kios sembako mereka ditarik dua wanita berseragam warna hijau. Di bagian dada sebelah kanan tertulis nama salah satu produk herbal terkenal. Mereka dibawa menuju sebuah kios dengan lampu yang sangat terang. Di dalamnya ada sudah ada seorang wanita dengan seragam yang sama, juga tiga pasang suami istri, terlihat dari badan si wanita yang ketiganya tengah hamil.
"Maaf menunggu bapak-bapak ibu-ibu. Kita mulai ya kelas senam hamil nya. Buat bapak dan ibu yang baru saja masuk bisa bergabung dengan yang lain." Seorang wanita yang berada di dalam ruangan tadi mulai melakukan instruksi.
"Tapi, Bu. Kami bukan …"
"Ndak apa-apa, Bu. Selain buat ibu hamil senam ini juga bagus buat pasangan yang sedang melakukan program kehamilan." Wanita tadi memotong ucapan Alya sembari menuntun Alya dan Adrian menuju satu matras berbentuk lingkaran.
Adrian dan Alya pasrah saja menuruti perkataan wanita tadi. Mereka kemudian memulai kegiatan senam hamil. Para istri duduk bersila di matras berbentuk lingkaran tadi, sedang para suami berdiri dengan bertumpu pada lutut di belakang istri. Kemudian memijat pundak istri, dilanjutkan dengan posisi berdiri berhadapan dan saling berpegangan tangan lalu jongkok bersamaan.
Ketika posisi memeluk perut membuat keduanya sama-sama canggung dan berharap acara dadakan ini cepat selesai. Sesi senam diakhiri dengan promo produk herbal yang mereka jual. Karena sudah kesal akhirnya Adrian mengajak Alya keluar ruangan.
"Maaf, saya permisi dulu. Putra saya sudah menangis di rumah." Bohong Adrian pada petugas wanita tadi lalu menyeret Alya meninggalkan ruangan.
"Cara marketing yang buruk!" Umpat Adrian saat mereka sudah berada di luar.
"Kamu juga kenapa diam saja." Ia menyalahkan Alya yang menurutnya hanya diam saja.
"Lho, bukannya, Tuan tahu sendiri kan saya tadi sudah mencoba menjelaskan." Ucap Alya membela diri.
"Tapi, kan, kamu bisa lebih ngotot lagi jelasinnya." Adrian tetap menyalahkan Alya, bahkan sampai keduanya berada di tempat parkir, melupakan beberapa belanjaan yang belum dibeli.
"Tuan sendiri kenapa dari tadi diam aja?" Balas Alya tak terima karena pria ini menyudutkannya dari tadi.
"Tadi kan aku juga sudah buat alasan biar kita bisa keluar. Sudah kita pulang saja!" Bentak Adrian sambil membuka pintu mobil dan menutupnya dengan keras.
"Dasar pria aneh." Umpat Alya lirih sambil memasuki mobil dan duduk di samping kemudi.
Mobil melaju meninggalkan pasar, keduanya sama-sama hening. Bibir Alya mengerucut sambil matanya menatap keluar jendela. Pikirannya penuh dengan umpatan dan kata-kata kasar terhadap lelaki yang duduk di sampingnya. Padahal jelas-jelas tadi dia sudah mencoba menjelaskan pada wanita berseragam itu jika mereka bukan suami istri.
Apalagi waktu senam hamil tadi, pipinya pasti sudah terasa merah karena malu. Belum lagi pas posisi tangan Adrian melingkar di pinggang, juga alasan aneh yang dibuat lelaki itu dengan mengatakan putra mereka yang menangisi. Membuat Alya dengan cepat menggelengkan kepalanya jika mengingat kejadian tadi.
"Kamu kenapa?" Tanya Adrian yang kaget melihat gadis di sebelahnya yang tiba-tiba menggelengkan kepala.
"Eh," balas Alya dan menyadari apa yang barusan ia perbuat.
"Jangan mikir macam-macam kamu ya, kamu kira saya kesenengan." ucap pria itu dengan nada dingin.
Alya hanya menjawab dengan helaan napas, ia tidak berniat membalas ucapan majikannya. Bagi gadis itu mengelak atau tidak tetap dirinya yang akan disalahkan. Wajah boleh tampan tapi kelakuan mengenaskan.
Adrian menghempaskan tubuhnya di ranjang, ia merasa lelah hari ini. Bukan lelah secara fisik tapi lebih pada pikirinnya. Ia mengingat lagi kejadian di pasar tadi yang begitu tiba-tiba, hingga tak menyadari bahwa ia bersikap seperti orang bodoh. Namun, ia kemudian tersenyum kala mengingat momen senam hamil tadi. Dimana ia bisa leluasa memandang wajah Alya dari dekat.Wajah yang entah mengapa bisa membuat hatinya bergetar, lalu aroma jasmin yang sempat terhidu tatkala ia melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Adrian menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menghalau rasa dan pikiran aneh yang berkelindan di kepala. Ia kemudian bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.Puluhan panggilan tak terjawab dari David, asisten pribadinya. Ia mengumpat kesal, mengingat jika sebelumnya ia berpesan tak ingin diganggu untuk bebe
Mobil yang dikendarai Adrian dan Alya melaju menyusuri jalanan berbukit menuju ke rumah Alya, mereka berdua saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Alya dengan pikirannya tentang sang ayah sepeninggalnya nanti, sedangkan Adrian sibuk dengan debaran di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Untuk menyembunyikan kecanggungan diantara keduanya Adrian menyalakan musik dari radio tape di mobilnya yang mengalunkan lagu berjudul 'Sempurna' dari Gita Gutawa.Kau begitu sempurnaDi mataku kau begitu indahKau membuat dirikuAkan selalu memujamuDi setiap langkahkuKu kan s'lalu memikirkan dirimu
Adrian dan Alya sudah bersiap untuk berangkat setelah mereka menyelesaikan sarapan, barang-barang yang akan mereka bawa pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Alya yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dahulu di dapur khusus pembantu sedang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka saling memeluk dan meminta maaf."Bi, maafin Alya ya, dan terima kasih atas bantuan Bibi selama ini." Ucap Alya sambil mencium tangan Bibi Marina lalu memeluknya."Iya sama-sama, Nduk. Bibi juga minta maaf kalau ada salah sama kamu." Ucap Bibi Marina sembari mengelus puncak kepala gadis itu.Alya tak kuasa menahan lelehan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Bibi Marina adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah kepergian ibunya. Ia biasa berkeluh kesah dengan wanita itu tentang Aya
Matahari telah menampakkan sinar keemasannya di ufuk timur, semburat warna jingga dan merah perlahan menghilang. Alya telah bangun sejak pukul lima pagi tadi, setelah membersihkan rumah terlebih dahulu dan memasukkan baju kotor ke mesin cuci ia mulai berkutat di dapur.Adrian mencium harum aroma nasi goreng saat keluar dari kamarnya, perutnya langsung berbunyi nyaring. Masakan gadis itu membuatnya berselera makan dan ia jadi mudah lapar, padahal sebelumnya hampir tak pernah ia makan secara teratur. Ia berjalan menuju dapur, nasi goreng ampela ati dan kerupuk udang sudah siap di meja makan."Selamat pagi, Tuan." Alya menyapa sambil meletakkan piring berisi telur mata sapi setengah matang."Pagi, kalau begini caranya perutku akan semakin gendut." Adrian menggumam sambil
"Terima kasih atas pemberiannya, Tuan. Tapi kenapa harus sebanyak ini ?" Alya mengutarakan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di hatinya. Mereka telah sampai di apartemen saat hari sudah menjelang sore."Aku hanya tidak ingin orang menilaimu kampungan, anggap saja itu bonus. Jadi kau harus bekerja dengan giat dan menuruti semua perintahku." Adrian kemudian berlalu menuju kamarnya.Alya tetap merasa tidak enak hati, pasalnya barang-barang yang dibeli untuknya hari ini setara dengan satu tahun gajinya. Mau menolak pun percuma, karena Adrian termasuk tipe orang yang tidak suka dibantah. Gadis itu kemudian membawa barang-barang itu ke kamar, ia lalu membersihkan diri di kamar mandi sebelum menyiapkan makan malam.Makan malam telah siap, dan mereka berdua seperti biasa makan da
Alya bangun lebih pagi hari ini karena semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya. Ia masih berpikir bahwa semua ini salah, tetapi ia tidak bisa berbuat apapun. Gadis itu mendekati jendela dan menyibak tirainya, diluar langit masih terlihat gelap dengan bintang yang saling berkerlip meski suara kokok ayam terdengar bersahutan. Matanya memanas teringat akan ibunya, andai wanita itu masih ada tentu ia tak akan gelisah seperti ini.Gadis itu memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tahu bahwa keputusan menerima pernikahan pura-pura ini salah. Namun, ia mempunya pemikiran lain. Ia menerima imbalan yang diberikan Adrian, gadis itu berniat mengubah nasibnya. Ia akan menggunakan uang itu nanti sebagai modal memulai kehidupan baru di tempat lain. Setelah kontrak pernikahan mereka selesai, gadis itu berencana pergi jauh meninggalkan kota ini dan memulai usaha baru, dimana tak
Hingar-bingar pernikahan cucu di keluarga Hadinata telah berakhir, runah bergaya klasik modern itu kembali pada rutinitasnya semula. Bibi Marina sudah pulang beberapa saat setelah pesta selesai. Ia tidak bisa meninggalkan villa terlalu lama. Meski sedikit terkejut dan tidak menyangka tentang pernikahan ini, tetapi wanita itu memberi wejangan pada Alya bagaimana bersikap sebagai seorang istri. Ia juga berpesan pada gadis itu untuk lebih menjaga sikap karena ada nama besar Hadinata yang harus ia bawa mulai dari sekarang.Mama Merline Wijaya juga sudah meninggalkan Indonesia beberapa jam yang lalu. Sama halnya dengan Bibi Marina, sebelum pergi wanita yang masih terlihat cantik itu juga memberikan beberapa wejangan untuk Alya. Ia juga memberitahu bagaiman sifat putranya yang harus dipahami gadis itu dan apa makanan kesukaannya. Wanita itu juga berharap agar keduanya tidak menunda memberinya
Setelah menyelesaikan sarapan pagi dan berpamitan yang sedikit drama dengan Kakek Hadinata Alya dan Adrian akhirnya meninggalkan rumah besar itu. Kakek Hadinata sebenarnya berat melepas mereka kembali ke apartemen."Kalian yakin benar-benar ingin meninggalkan pria tua ini?" Tanyanya saat keduanya bersiap hendak pergi."Kek, please. Sudah kubilang kami ingin privasi." Adrian sebenarnya merasa bersalah juga, tapi jika tetap disini bisa-bisa kebohongan pernikahan mereka akan terbongkar."Baiklah, tapi lekas beri Kakek kalian ini cicit. Sekarang pergilah!" Pria tua itu meninggalkan mereka dan mengambil sebuah buku besar di meja dan membawanya ke kursi yang berada di balkon kamarnya.Mereka berdua meninggalkan pria tua itu, dalam hati Adrian berjanji jika waktunya sudah tepat ia akan membahagiakan sang kakek. Bagaimanapun juga pria tua itu orang yang paling berarti dalam hidupnya. Dua buah koper sudah dim