Kota X adalah sebuah kota metropolitan yang padat. Di penuhi dengan rentetan apartemen mewah, jejeran gedung tinggi dan pusat industri bisnis yang berkembang pesat. Beberapa pengusaha besar, konglomerat, dan orang-orang besar lainnya memenuhi kota itu. Tempat para publik figur memulai debutnya dan para perantau memulai keuntungannya.
Sekilas— itu terlihat kota sibuk dan melelahkan.
Tepat di sebuah gedung besar, di mana perusahaan ternama berdiri. Para karyawan di dalamnya tampak sangat bekerja keras, disiplin dan bergerak cepat. Beberapa dari mereka tengah sibuk mengetikkan sesuatu di layar komputer, beberapa yang lain membawa tumpukan kertas di tangan ke mesin fotokopi dan sisanya dengan cukup teliti memahami berkas dan dokumen yang menumpuk di meja.
Di sebuah ruangan yang sudah di dominasi aura dingin seseorang. Tampak seorang pria duduk di kursi kerjanya, sedang memainkan jam pasir kecil yang ada di tangannya. Ia membalik jam pasir itu, lalu memperhatikan butir-butiran pasirnya yang sedikit demi sedikit jatuh kebawah.
Hingga beberapa menit berlalu, butiran pasir itu masih terus berjatuhan mengisi kekosongan di bawah.
Pintu terbuka, seorang pria paruh baya yang terbalut rapi dalam jas abu-abu, tanpa sungkan melangkah masuk kedalam. Rambut kepalanya hampir sepenuhnya dipenuhi uban dan sepasang kacamata tebal, menduduki batang hidungnya yang mancung.
"Papa telat sepuluh puluh menit!" Pasha memperhatikan tumpukan pasir yang sudah berada di bawah dan memasukkan benda kecil itu kedalam sakunya.
Mengangkat kepalanya kearah pria paruh baya di sana, ia memberi tatapan tanpa ekspresi berkata "Papa ingin bernegosiasi mengenai pernikahan ku?"
Kenapa menggunakan awalan kata 'negosiasi'?
Bagi keluarga pengusaha besar seperti mereka, segala keputusan harus di ambil berdasarkan perkiraan 'keuntungan dan kerugian'. Begitupun dengan pernikahan, segalanya harus penuh perhitungan. Apakah itu akan menguntungkan kedua belah pihak atau tidak? Singkatnya ini adalah pernikahan kerjasama— untuk mempererat hubungan bisnis antar konglomerat yang umumnya terjadi.
"Papa telat karena jalanan diluar macet" Shahbaz langsung mengambil tempat duduk yang nyaman di atas sofa, "Tidak menunda pekerjaan mu kan?"
Mengangkat salah satu kakinya dengan santai keatas paha, Ia memandang kearah putra semata wayangnya itu yang cukup sulit untuk diajak janji temu, "Ya, papa ingin menegosiasikan pernikahan yang sangat menguntungkan bagi keluarga kita"
Jika ia tidak mengatakan itu 'menguntungkan', maka putranya pasti akan langsung tidak tertarik. Ia menghela nafas berat, memperhatikan putranya yang dingin itu. Karakternya yang begitu, tentu terbentuk karena dirinya dan ibunya—yang kini sudah menjadi mantan istrinya.
Dulu semasa keluarga mereka masih bersatu, hanya terisi oleh kesibukan dan pekerjaan. Mereka menjalani hari dengan acuh tak acuh satu sama lain.
Putranya yang bersikap acuh tak acuh terhadapnya, tentu ia tidak dapat menyalahkannya. Ia sungguh menyesal, karena dulu sudah larut dengan semua ambisi kerja dan perusahaan. Kini ia sudah tua dan tak ada 'kehangatan' yang tersisa, dalam keluarganya yang dingin dan sudah terpecah itu.
"Tentu saja tidak! Karena aku sudah menunda semua pekerjaan ku pagi ini, khusus meluangkan waktu untuk mendengarkan negosiasi papa.." Pasha bangun dari duduknya, lalu ia berjalan kearah sofa tunggal dan duduk tepat dihadapan papanya.
Mengambil remote yang ada di atas meja, ia memencet salah satu tombol dan segera kaca dinding ruangannya yang transparan, berubah menjadi hitam seperti batu pualam.
Pasha selalu menyetel ruangannya dalam keadaan seperti itu, setiap kali ia membutuhkan ruang privasi.
"Ku harap negosiasi papa kali ini tidak mengecewakan. Seperti sebelumnya— persyaratan utama ku tidak berubah" Ia mengangkat salah satu kakinya ke atas paha. Di perhatikan lebih jauh, dua orang itu memiliki beberapa kebiasaan yang sama.
"Tentu saja! Kali ini pasti akan memenuhi persyaratan utama mu"
"Kalau begitu, langsung katakan saja ke intinya!" Pasha mengeluarkan jam pasir kecilnya dari saku, lalu meletakkannya di atas meja, "Tiga puluh menit!"
"Haah..." Shahbaz memutar kedua bola matanya, menatap kesal ke arah jam pasir kecil itu. Entah bagaimana, ia merasa menyesal telah menghadiahkan benda kecil itu pada putranya, "Baik"
Shahbaz merogoh kantong jasnya, kemudian mengeluarkan tiga lembar foto perempuan. Lalu ia menatanya di atas meja secara berurutan.
"Ini adalah tiga bunga cantik yang berasal dari salah satu keluarga konglomerat ternama di kota X. Pemilik perusahaan PT. Bahtera, perusahaan yang menguasai industri kuliner saat ini, yang telah memiliki beberapa cabang di luar negeri. Sebelumnya kita tidak pernah memiliki kerjasama apapun dengan mereka, tapi melalui relasi pernikahan ini, kelak variabel-variabel itu akan terbentuk dan pastinya akan sangat menguntungkan kedua belah pihak. Keluarga ini pasti akan menjadi penyokong besar untuk bisnis mu jika kau bersedia menjalin relasi dengan mereka, bagaimana?"
Pasha menautkan sepasang alisnya, berpikir dan mengangguk. Dari penjelasan papanya itu, ia langsung mengetahui seberapa besar keuntungan yang akan ia peroleh jika berhasil memiliki relasi yang cukup kuat—'pernikahan itu' jika seandainya ia bersedia menjalinnya.
Tapi sebelum ia menerimanya, tentu ada satu syarat yang paling penting, "Di antara ketiga kandidat ini, pilih satu yang memenuhi syarat. Jika ada, maka aku akan menerimanya. Jika tidak, negosiasi kita berhenti sampai di sini saja"
Shahbaz memperbaiki kedudukan kacamata tebalnya, berdeham pelan. Beberapa kali ia gagal menjalankan negosiasi ini hanya karena persyaratan konyol putranya. Jelas persyaratan yang diajukannya itu, sangat jarang di temui dalam putri-putri keluarga konglomerat yang hidup glamor.
Tapi syukurlah, kali ini ia sungguh mendapatkan jackpot, "Masih ada waktu sekitar dua puluh menit yang tersisa"
Shahbaz menerka berapa menit waktu yang tersisa setelah melihat jam pasir kecil itu, "Berkenan untuk mendengar?"
Pasha menjatuhkan punggungnya ke kepala sofa, melipat kedua tangannya di depan dada. Ia pun menganggukkan kepalanya, mempersilahkan.
"Kalau begitu kita mulai dari bunga yang pertama" Shahbaz mendorong salah satu foto itu kearah Pasha.
Tampak dalam kertas berpotongan kecil itu, seorang wanita dewasa berambut pendek. Mengenakan setelan jas putih kasual dengan senyum dingin terukir di wajahnya yang anggun. Sekilas itu tampak seperti kecantikan angkuh yang tak tersentuh.
"Dari informasi yang ku peroleh, putri pertama keluarga mereka sudah di nobatkan sebagai penerus perusahaan. Seseorang yang baru saja memperoleh gelar master nya di Harvard, siapa yang akan meragukan kemampuannya? Jadi, semua pemegang saham, bersedia mempercayakan perusahaan besar itu ditangannya. Kurang lebih tampilan dan karakternya persis seperti dirimu. Dan yang pastinya style-nya dalam berpakaian itu kasual, sesuai seperti persyaratan mu"
"Ganti!"
"Pasha, tapi ini—"
"Kandidat pertama tidak lulus verifikasi"
"Bagaimana bisa tidak lulus verifikasi, kau tidak lihat ini!" Shahbaz meletakkan jari telunjuknya di atas foto kandidat pertama, "Lihat style-nya itu, tidakkah caranya berpakaian itu kasual persis seperti yang kau inginkan?"
"Kasual yang ku maksud bukan dari caranya berpakaian"Shahbaz yang mendengar pernyataan itu, tak tau harus tertawa atau menangis. Ini sungguh di luar perkiraannya. Awalnya ia mengira 'kasual' yang di maksudkan putranya adalah seorang gadis cantik yang berpenampilan kasual. Tapi siapa yang menduga ternyata bukan begitu?"Lalu 'kasual' yang kau inginkan itu seperti apa?" Shahbaz jelas merasa frustasi. Ia hanya punya Pasha sebagai anak dan satu-satunya putra sebagai penerus. Tapi mengurus pernikahannya, serasa seperti mengurus pernikahan tiga orang anak."Kepribadiannya, mungkin?" Pasha terdengar ambigu."Baik, kalau begitu kita lanjut ke bunga yang kedua" Menolak untuk menyerah, Shahbaz langsung menggantikan foto itu dengan foto kandidat kedua. Ia masih berharap ada dari antara tiga kandidat itu, yang akan menarik minat putranya."Seperti yang terlihat, kandidat kedua ini cukup cantik dan feminim"Di foto itu terlihat seorang gadis cantik deng
"Ah, aku sungguh menyesal mengambil sastra Arab. Kalian tau apa? Ilmu tashrif* ku saja sejauh ini bisa dibilang masih di tingkat dasar" Hana tersenyum simpul mendengar keluhan salah satu dari temannya. Mereka baru saja keluar dari ruang yang kebetulan dosen pengajarnya sudah berumur. Di dalam sana berlangsung cukup tegang selama dua jam-an penuh. Mereka diberondong dengan berbagai macam pertanyaan dan jika tidak bisa menjawab, mereka harus berdiri. Dan nasib tidak baik itu menimpa salah satu temannya yang bernama Salsa, yang lebih sering di panggil Chaca. "Tadi itu sungguh memalukan" Salsa meremas kepalanya frustasi, membuat tatanan kerudungnya sedikit berantakan. "Tidak masalah, kita kan masih belajar. Jika mengenai tashrif, aku pun sejauh ini masih terbalik-balik ketika men-tashrifkannya. Apa lagi yang terdiri dari empat huruf dan di tambah huruf illat* nya lagi" Yang berbicara kali ini adalah Miftah. Pecinta balaghah*. Hal yang membuatnya memantapkan hati mengambil sastra Arab u
"Papa bercanda?" Suara sendok dan garpu yang di banting ke piring, memecah keheningan ruang makan. Keira rasanya seperti baru saja mendengarkan guntur di siang hari. Apa itu— ia akan menikah? Di usia semuda ini? Dan atas pilihan Mak comblang?Ini sudah abad ke berapa, tapi kenapa papanya masih berpikir se-kuno itu?"Malam" Ratna baru saja pulang lembur, dengan pakaian kerjanya ia mendatangi ruang makan dan mendapati suasana terlihat tegang, "Ada apa ini?"Hana menoleh sekilas pada kakak tertuanya yang tampak kebingungan. Tidak berkata apa-apa, ia hanya mendesah pelan."Harusnya kak Ratna dulu dong yang menikah. Umurnya yang sudah hampir kepala tiga itu masih saja lajang dan hanya tau bekerja. Tapi kenapa malah aku yang mau dinikahkan?" Bebel Keira, dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya."Lagian papa hidup di abad apa sih hari gini masih pake Mak comblang? Pokoknya Keira gak setuju" Tentang Keira tegas, "Keira itu masih muda pa, baru dua
"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan."Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi."Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur denga
"Maaf pak, saya tidak bisa minum itu" Tolak Hana sopan. Anggur yang sudah difermentasi itu tak lagi halal untuk di minum. Hana melambaikan tangannya ke atas, memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita pun berjalan mendatangi meja, "Ada yang bisa saya bantu nona Hana?" Staf tersebut tentu mengenal Hana. Putri bungsu dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Putri konglomerat yang dikenal religius dan menarik diri dari publik. Seringkali gadis cantik itu datang ke restoran, mentraktir kedua sahabatnya makan di sana. Biar begitu Hana tetap tampil rendah hati dan tidak sombong. "Tolong, secangkir teh chamomile" Hana mengelus perut datarnya. Tidak tau kenapa nyeri menstruasinya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Pelayan wanita itu sempat melihat keganjilan dari rona wajah cantik Hana yang tampak agak memucat. Ia awalnya ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Hanya merasakan aura dingin Pasha yang mendominasi sekitar, ia tak tahan untuk segera pergi meninggalkan meja. "Maaf p
"A-aku..""Ayo ke rumah sakit" Seperti kau memiliki barang yang berharga. Melihat ada kesalahan sedikit saja, kau tak tahan untuk segera membawa barang itu ke tempat perbaikan."Tidak perlu" Hana dengan cepat menggelengkan kepalanya menolak.Kesal karena melihat Hana yang tak menurut, tanpa basa-basi lebih jauh. Pasha langsung membopong gadis kecil itu ke atas pundaknya. Hana sontak meronta, apa-apaan pria ini?"Pak, apa yang anda lakukan? Anda bukan mahram saya" Jerit Hana histeris. Mengundang berbagai pasang mata tertuju kearah mereka."Cepat turunkan saya!" Hana dengan keras memberontak untuk turun. Tapi nyeri dalam perutnya, membuat Hana tak punya kekuatan yang besar untuk melakukannya.Pasha menolak menurunkan Hana, terus membopongnya keluar dan memasukkan gadis kecil itu kedalam mobilnya. Hana di dalam sana sudah menangis deras, tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Nyeri dalam perutnya sungguh sangat tidak tertolong.Mendeng
Hana membuka matanya ketika samar-samar sinar matahari pagi mendominasi wajahnya. Terdengar suara tarikan tirai yang di geser. Hana menoleh dan mendapati seorang perawat baru saja menyingkap tirai jendela. Hana rasanya seperti baru terjaga dari mimpi. Ia tidak akan pernah mengira ada hari dimana ia dilarikan ke rumah sakit hanya karena kram menstruasi. Mengingat kejadian semalam, rasanya Hana ingin menangis karena malu. "Pagi, anda sudah bangun?" Sapa perawat cantik itu ramah. "Pagi, Sus" Hana mengangguk sopan, "Ya, baru saja" "Ah, kakak lelaki anda baru saja pergi membeli sarapan. Ia berpesan pada saya jika anda bangun untuk meminta anda menunggunya" "Kakak lelaki?" Hana mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan ia punya kakak laki-laki? Ia hanya punya dua orang kakak perempuan. "Em" Perawat itu mengangguk dan tersenyum, "Kalau begitu saya permisi" Setelah kepergian perawat itu, Hana tanpa sengaja menoleh kearah sofa yang ada
Pasha mendorong pintu kaca transparan itu dan masuk kedalam minimarket untuk membeli pembalut wanita seperti yang di sarankan dokter berkacamata tadi. Mendatangi salah satu karyawati yang duduk di meja kasir, tanpa sungkan Pasha berkata, "Saya butuh pembalut wanita"Beberapa saat karyawati itu terperangah, sempat terpesona dengan pria tampan di depannya, "Ah, sebentar!"Wanita itu pun keluar dari meja kasir dan menyuruh salah satu rekannya yang lain untuk berganti jaga. Sebelum wanita itu pergi mengambil barang yang diinginkan Pasha, wanita itu berbalik untuk bertanya, "Apa ada ukuran khusus? Sayap atau non-sayap?"Tampak sepasang mata elang Pasha berkedip tiga kali tak mengerti, "Siapkan saja semuanya"Karyawati itu mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Sepertinya itu adalah kali pertama pria tampan itu membeli benda seperti ini, "Baik"Di rumah sakit, Hana baru saja menelpon kakak keduanya untuk segera datang ke rumah sakit membawakan pakaian